Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKITAR tiga jam Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring berada di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Selasa dua pekan lalu itu, menteri yang belum genap tiga bulan menjabat ini merasa perlu menyambangi komisi tersebut. Ini berkaitan dengan kontroversi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (penyadapan) yang digarapnya. Di sana, kepada pimpinan KPK, Tifatul menjelaskan ”visi dan misi” perihal perlunya rancangan seperti itu.
Langkah Tifatul ”meluncurkan” Rancangan Peraturan Penyadapan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia memang tak mulus. Sejumlah pihak curiga munculnya rancangan itu tak lepas dari upaya melemahkan KPK. ”Pemerintah hanya mencari-cari alasan untuk mengurangi kewenangan KPK,” kata anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho.
ICW melihat rancangan itu jelas bakal merontokkan taring KPK. Ini antara lain bisa dilihat dari adanya pasal yang menyebutkan penyadapan hanya boleh dilakukan setelah bukti permulaan yang cukup ditemukan dan harus memperoleh penetapan ketua pengadilan lebih dulu.
Ketentuan ini, menurut peneliti ICW, Febri Diansyah, bertentangan dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selama ini, ujarnya, KPK bisa melakukan penyadapan saat perkara dalam tahap penyelidikan. Jika rancangan ini disahkan, artinya penyadapan itu hanya boleh di tingkat penyidikan.
ICW mencatat ada sebelas aturan lain dalam rancangan ini yang ”berbahaya” jika dikaitkan dengan semangat memberantas korupsi. Misalnya, seperti yang disebut dalam pasal 18, dengan alasan untuk melindungi kepentingan umum, Jaksa Agung bisa meminta pencabutan izin penyelenggara sistem elektronik. Ketentuan ini subyektif dan bisa disalahgunakan. Jaksa Agung yang tidak nyaman dengan sebuah penyadapan, ujar Febri, bisa mencabut izin penyelenggara. Febri menilai pembentukan rancangan seperti ini sangat mengada-ada, karena secara internal KPK telah memiliki aturan. ”Mestinya itu saja yang diaudit,” katanya.
Menurut ICW, dengan kondisi praktek mafia peradilan yang masih marak, kelak Peraturan Penyadapan bisa diselewengkan. Proses izin atau penetapan, misalnya, berpotensi menjadi ”dagangan” oknum ketua pengadilan. Belum lagi jika KPK, misalnya, suatu ketika akan menyadap hakim dan ketua pengadilan yang diduga melakukan korupsi. ”Apakah izinnya akan keluar?” ujar Febri. Demikian pula kelak jika yang akan disadap itu adalah Menteri Komunikasi, Jaksa Agung, atau pihak yang memegang penuh izin penyadapan. ”Jadi, beleid ini juga berpotensi menghambat penyelidikan,” kata Febri.
Yang juga menjadi sorotan adalah keberadaan Pusat Intersepsi Nasional dalam mekanisme perizinan penyadapan. Menurut Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resources Center Uli Parulian Sihombing, Pusat Intersepsi sangat rawan disalahgunakan rezim berkuasa untuk menekan lawan politiknya.
Uli juga mencurigai ngototnya Tifatul mengegolkan rancangan tersebut. Sebab, rancangan ini memang memberikan porsi dominan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Jika rancangan ini disahkan, Menteri Komunikasi antara lain berwenang mengetahui pelaksanaan intersepsi, membuat aturan standar spesifikasi teknis alat dan perangkat penyadapan, membuat aturan sertifikasi dan uji laik operasi alat dan perangkat intersepsi, serta menjatuhkan sanksi.
Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Departemen Komunikasi dan Informatika Gatot S. Dewa Broto mengakui banyak suara pro-kontra terhadap munculnya Rancangan Peraturan Penyadapan. Namun ia menolak jika dikatakan rancangan itu untuk melemahkan KPK. ”Ini justru memperkuat KPK,” katanya.
Gatot mengakui, dari pertemuan dengan pimpinan KPK pada Selasa dua pekan lalu itu, ada perbedaan sudut pandang melihat Rancangan Peraturan Penyadapan. Namun, ujar Gatot, intinya, KPK sepakat perlunya ada aturan penyadapan. ”Yang pasti, aturan seperti ini dibutuhkan KPK,” ujar Gatot.
Menurut dia, pada 2006, departemennya bersama KPK sebenarnya telah menyusun Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11/PER/M.KOMINFO/2/2006 tentang Teknis Penyadapan. ”Aturan itulah yang digunakan KPK hingga saat ini,” ujarnya. Hanya, belakangan, peraturan menteri ini dianggap lemah karena acuannya Undang-Undang Telekomunikasi, bukan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. ”Karena itu, kini ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah,” katanya. ”Dasar penyusunan ini amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 31, yang mewajibkan penyusunan tata cara penyadapan.”
Gatot mengakui memang ada beberapa poin krusial dalam rancangan tersebut. Departemennya, kata dia, menghendaki ada penetapan ketua pengadilan, sementara KPK beranggapan perlu ada perlakuan khusus karena yang ditangani kejahatan luar biasa. ”Sehingga, menurut KPK, tak bisa menunggu penetapan ketua pengadilan, yang membutuhkan waktu.”
Gatot menegaskan, penetapan pengadilan diperlukan agar hasil penyadapan kelak tidak dipermasalahkan. Demikian juga dengan pembentukan Pusat Intersepsi Nasional. Menurut dia, tujuan adanya Pusat Intersepsi adalah agar proses dan mekanisme penyadapan jelas dan ada yang mengawasi.
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Wicipto Setiadi mengaku, sampai kini, lembaganya masih melakukan harmonisasi atas rancangan peraturan tersebut. Kendala harmonisasi atas rancangan ini, ujar Wicipto, adalah adanya soal penyadapan itu di dalam berbagai undang-undang. ”Kami mencoba bersepakat dengan berbagai undang-undang yang berbeda itu.”
Ketua Mahkamah Konstitusi Mohammad Mahfud Md. menilai aturan tentang penyadapan dalam bentuk peraturan pemerintah tidak tepat. Menurut dia, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua uji materi tentang penyadapan, yakni yang diajukan Mulyana W. Kusumah dan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, penyadapan hanya boleh diatur lewat undang-undang.
Dasar pemikirannya, ujar Mahfud, hak untuk tidak disadap adalah hak privasi, hak asasi manusia. Undang-Undang Dasar Pasal 28-J ayat 2, ujarnya, menyatakan hak asasi manusia hanya bisa dibatasi dengan undang-undang. Putusan uji materi tentang penyadapan KPK, menurut Mahfud, juga menyebutkan soal penyadapan lebih lanjut harus diatur undang-undang. ”Hal yang prinsipiil seperti ini tak cukup diatur sebuah peraturan pemerintah.”
Menurut dia, peraturan pemerintah seyogianya hanya mengatur sebuah undang-undang. ”Peraturan pemerintah tidak bisa mengatur banyak penyadapan di banyak undang-undang, seperti pada rancangan peraturan penyadapan itu,” kata Mahfud, ”karena latar belakang dan tujuannya berbeda.”
Soal penyadapan memang tersebar di berbagai undang-undang. Ada di dalam Undang-Undang Kepolisian, Undang-Undang Kejaksaan, Undang-Undang Badan Intelijen, dan Undang-Undang Imigrasi. Menurut Mahfud, mestinya setiap peraturan pemerintah hanya untuk satu undang-undang. ”Tapi rancangan peraturan penyadapan ini memukul rata semua penyadapan,” katanya.
Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin, sependapat dengan Mahfud. Menurut dia, penyadapan harus diatur dengan undang-undang, bukan dengan peraturan pemerintah, karena ketentuan Mahkamah Konstitusi mengharuskan demikian. ”Kalau muncul dengan peraturan pemerintah, walau isinya benar pun, tetap salah.”
Perlawanan atas munculnya Peraturan Penyadapan tampaknya akan makin keras. Menurut Febri, selain menggalang dukungan publik untuk menolak Rancangan Peraturan Penyadapan, ICW berancang-ancang mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung jika rancangan itu disahkan.
Ramidi, Pramono
Rawan di Sana-Sini
JIKA kelak diterapkan, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyadapan ini dipastikan bakal menyulitkan kerja Komisi Pemberantasan Korupsi menyikat koruptor. Sejumlah pasal peraturan ini pun rawan ”dibelokkan”. Inilah pasal krusial itu.
Pasal 3 ayat 1 (b)
Syarat-syarat intersepsi adalah telah memperoleh bukti permulaan yang cukup.
Pasal 3 ayat 1 (d)
Syarat-syarat intersepsi adalah telah memperoleh penetapan Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 3 ayat 2
Permintaan penetapan Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan intersepsi harus dilakukan dengan menyampaikan berkas.
Pasal 3 ayat 3
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri dikeluarkan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sesudah permintaan diterima oleh Pengadilan Negeri.
Pasal 1 (juga pada Pasal 4, 5, 10, 21)
Pusat Intersepsi Nasional adalah lembaga yang dibentuk dan dikelola oleh pemerintah yang berfungsi sebagai gerbang terpadu yang melakukan pengawasan, pengendalian, pemantauan, dan pelayanan terhadap proses intersepsi agar proses intersepsi berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 4 ayat 1
Permintaan pelaksanaan intersepsi disampaikan kepada penyelenggara sistem elektronik melalui Pusat Intersepsi Nasional secara tertulis dan/atau secara elektronik sesuai dengan peraturan pemerintah ini.
Pasal 5 ayat 6
Hasil intersepsi rekaman informasi sebagaimana disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum yang melakukan permintaan intersepsi melalui Pusat Intersepsi Nasional.
Pasal 10 ayat 4
Pusat Intersepsi Nasional bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas Intersepsi Nasional.
Pasal 11
1) Dewan Pengawas Intersepsi Nasional beranggotakan menteri, Jaksa Agung, Kapolri, dan pimpinan instansi lainnya yang berwenang melakukan intersepsi.
Pasal 16
1) Penyelenggara sistem elektronik yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 9; dan Pasal 15 dikenai sanksi administratif.
Pasal 18
Atas permintaan Jaksa Agung, dalam keadaan yang penting dan mendesak serta untuk melindungi kepentingan umum, menteri dapat langsung menghentikan sementara kegiatan penyelenggara sistem elektronik atau mencabut izin yang dimiliki penyelenggara sistem elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo