Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersangka pembunuhan satu keluarga di Bekasi, Hari Aris Sandigon Simamora:
Reka ulang peristiwa pembunuhan satu keluarga di Bekasi digelar maraton tim penyidik Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Tersangka kasus itu, Hari Aris Sandigon Simamora, memperagakan 62 adegan rekonstruksi di Bekasi dan Garut, Jawa Barat. Mengenakan baju tahanan oranye, pada hari pertama dia merekonstruksi adegan saat memasuki rumah korban di Jalan Bojong Nangka, Kota Bekasi, hingga menghabisi empat penghuninya. Hari kedua, pria 23 tahun itu melakukan reka ulang pelariannya hingga akhirnya digulung polisi.
Hari membunuh secara keji keluarga Daperum Nainggolan (polisi sebelumnya menyebut Diaperum), yang tak lain kerabatnya sendiri. Dia menghabisi Daperum dan istrinya, Maya Ambarita, serta dua anak mereka, Sarah, 9 tahun, dan Arya, 7 tahun, Senin malam dua pekan lalu. Tiga hari dalam pelarian, Hari dicokok saat hendak mendaki Gunung Guntur, Garut. ”Saya sakit hati sama mereka,” ujarnya saat ditemui Adam Prireza dari Tempo di ruangan Kepala Unit I Subdirektorat Reserse Mobil Polda Metro Jaya, Kamis pekan lalu.
Hari tampak menitikkan air mata ketika menyinggung aksinya menghabisi sang keponakan. Selama satu setengah jam wawancara dengan Tempo, ia tak jarang mengungkapkan penyesalannya.
Bagaimana ceritanya Anda datang ke rumah korban?
Saya datang ke rumah itu karena diundang kakak sepupu saya, Maya Ambarita, yang minta tolong ditemani belanja baju di Pasar Tanah Abang untuk perayaan Natal keluarga di Medan. Sudah tiga kali gagal. Senin malam, saya datang karena belanjanya keesokan harinya.
Kenapa Anda datang malam hari?
Kakak sepupu saya bilang datang saja malam supaya tidak ketahuan iparnya. Rumah itu milik abang dari suaminya. Daperum tinggal di sana agar bisa mengurus kontrakan dan warung milik kakaknya, yang bekerja sebagai manajer perusahaan rokok. Suaminya tidak suka kalau keluarga dari istrinya datang atau menginap di rumah mereka.
Ipar kakak sepupu Anda tinggal di rumah itu?
Ia tinggal tak jauh dari rumah yang ditempati kakak sepupu.
Sedekat apa hubungan Anda dengan keluarga korban?
Ibu saya itu adiknya ibu Maya Ambarita. Sama suaminya saya tidak dekat. Bahkan saya tak menyimpan nomor telepon selulernya.
Kenapa bisa seperti itu?
Keluarga suami kakak sepupu saya itu orang berada. Beda dengan keluarga kami yang cuma petani di kampung. Beda derajat. Jadi saya datang kalau ada acara keluarga dari kakak sepupu saya. Salah satunya arisan keluarga. Kalau tak diundang, ya, saya tidak datang. Pernah dulu pengalaman datang ke sana tanpa diminta kakak. Suaminya itu omongannya sudah macam-macam dan tak menyenangkan karena menganggap beda derajat.
Anda sendiri bekerja di mana?
Saya bekerja di pabrik elektronik di kawasan Delta Silikon VI, Cikarang, Jawa Barat. Saya cuma tamatan salah satu SMA di Rokan Hulu, Riau. Keluarga saya di sana. Saya kerja di pabrik itu buat mengumpulkan modal membuka bengkel kendaraan.
Sejak kapan Anda merantau ke Bekasi?
Setelah tamat SMA pada 2014, saya langsung ke Bekasi ikut keluarga kakak sepupu yang lain, yang buka bengkel otomotif di sana. Saya awalnya tinggal di rumah dia. Setelah itu, saya tinggal di rumah kontrakan di Cikarang, Jawa Barat.
Saat malam kejadian, Anda berangkat dari rumah kontrakan?
Iya. Dari sana saya tiga kali naik angkutan umum. Karena macet, butuh waktu empat jam sampai ke sana.
Bagaimana ketika itu sambutan Daperum?
Dia tidak tahu saya malam itu datang. Saya masuk lewat pintu samping. Sebagian ruangan di rumah itu sudah gelap. Keponakan saya yang memergoki saya datang. Mereka teriak gembira, ”Uda datang... Uda datang.” Saya memang dipanggil Uda oleh mereka. Sedangkan suami kakak sepupu justru mengatakan seperti ini, ”Jangan dibuka pintunya. Kenapa datang tidak bilang-bilang?” Tapi kakak sepupu menjelaskan kepada suaminya tentang maksud kedatangan saya.
Apa yang terjadi setelah itu?
Sikapnya (Daperum) masih tidak menyenangkan dan ketus. Saya mulai emosi karena sudah bermacet-macetan datang ke rumah itu tapi sambutannya tak menyenangkan.
Anda sempat disuruh tidur di dapur oleh Daperum?
Kakak sepupu saya sebenarnya sudah menggelar kasur di depan televisi. Dia menawari saya mau tidur di kasur itu atau di kamar bareng keponakan. Saya pilih tidur di depan televisi. Saat saya mau duduk di sana, suami kakak sepupu langsung bilang, ”Kamu kenapa duduk di sana. Di belakang saja. Kamu itu tak berguna.”
Apa yang Anda lakukan kemudian?
Saya lalu beranjak ke belakang dan memainkan handphone di sana. Saya melihat linggis di bawah wastafel. Setelah itu, saya gelap mata dan bertekad menghabisi dia.
Setelah mengambil linggis, Anda langsung menghampiri Daperum?
Ya. Saat itu dia belum tidur, masih menonton televisi. Kakak sepupu saya tidur di sampingnya. Dari belakang, saya pukul kepalanya tiga kali. Dia langsung pingsan. Tak ada teriakan sama sekali. Saya juga pukul kepala kakak sepupu saya tiga kali saat dia masih tidur. Kemudian saya tusuk leher mereka sebanyak tiga kali dengan linggis. Saya juga menghabisi kakak sepupu karena panik takut ketahuan.
Bagaimana dengan keponakan Anda?
Mereka tidur di kamar. Pada saat saya menghabisi kakak sepupu dan suaminya, tiba-tiba dua keponakan saya ke luar kamar. Mereka melihat saya membunuh kedua orang tuanya. Salah satunya bertanya kenapa ibunya diperlakukan begitu.
Anda langsung menghabisi mereka?
Tidak. Saya suruh mereka masuk kamar dan kembali tidur (mata Hari berkaca-kaca). Setelah meletakkan linggis di sofa, saya menemui mereka di kamar. Saya dihantui ketakutan kalau dua ponakan saya itu bercerita kepada orang lain tentang apa yang dialami orang tuanya.
Itu alasan Anda menghabisi mereka?
Tidak ada pilihan lain. Ketika berbaring di tengah-tengah mereka yang sedang tidur, saya mulai berpikir untuk meng-habisi keduanya. Saya mencium kening mereka dulu, lalu mengelus-ngelus kepalanya. Saya minta maaf lebih dulu. Setelah itu, muka mereka saya tutupi seprai dan saya cekik mereka satu per satu sampai keduanya kehabisan napas. Mereka sedikit meronta. Setelah mereka tewas, saya langsung terdiam dan menangis.
Setelah itu, Anda langsung melarikan diri?
Saya membersihkan dulu darah di linggis. Saya lalu ambil empat handphone, kunci mobil Nissan X-Trail, dan uang Rp 2 juta untuk bensin. Saya pergi menuju rumah kontrakan di Cikarang. Sebelum sampai sana, saya buang linggis di pintu air Delta Mas, Cikarang. Keesokan harinya, saya titipkan mobil di rumah kos teman saya. Saya kasih Rp 400 ribu untuk penjaga kos sebagai upah titip mobil.
Bagaimana ceritanya Anda ditangkap di Gunung Guntur?
Satu hari setelah peristiwa itu, saya melihat banyak berita di Internet tentang pembunuhan satu keluarga di Bekasi. Saya panik. Lalu muncul di pikiran saya untuk menenangkan diri di Gunung Guntur. Saya sebelumnya sering ke sana. Saat itu juga saya putuskan berangkat ke sana menggunakan bus.
Apa yang ada di benak Anda setelah ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan itu?
Saya menyesal. Saya ingin bertobat. Walaupun awalnya saya berniat tidak mengakui perbuatan itu meski dipukuli delapan orang sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo