Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Travel gelap masih tetap diminati meski minim jaminan keselamatan.
Polisi diminta merazia travel gelap yang masih beroperasi.
Pengguna jasa travel gelap tidak dilindungi oleh asuransi kecelakaan.
MESKI penyedia jasa layanan travel gelap kurang memperhatikan instrumen keselamatan, masih banyak masyarakat yang mengandalkan jasa layanan ini untuk bepergian. Alasannya, angkutan ini dinilai lebih praktis karena penyedia jasa memberi layanan antar-jemput penumpang hingga depan pintu rumah. “Biayanya juga relatif lebih murah dibanding tarif travel resmi,” kata pemerhati masalah transportasi Darmaningtyas, kemarin, 15 April 2024. “Bahkan pembayaran bisa belakangan, setelah sampai di tujuan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Travel gelap mengacu pada kendaraan yang digunakan untuk antar-jemput penumpang, tapi tidak memiliki izin operasi. Karena itu, kelaikan kendaraan sebagai sarana transportasi publik tidak bisa dipertanggungjawabkan sepenuhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Darmaningtyas, berdasarkan aturan, setiap angkutan umum harus menggunakan pelat nomor kendaraan berwarna kuning. Dengan begitu, kendaraan berpelat hitam atau putih yang dioperasikan untuk mengangkut penumpang bisa dipastikan ilegal. “Angkutan umum wajib mengikuti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” katanya.
Penggunaan pelat hitam pada penyedia angkutan daring, kata Darmaningtyas, bisa beroperasi karena mendapat diskresi dari Kementerian Perhubungan. “Itu yang membuat aturan tentang angkutan umum ini menjadi rancu,” katanya. “Kementerian Perhubungan harus membuat aturan yang konsisten.”
Konsistensi ini penting karena, jika terjadi kecelakaan, asuransi Jasa Raharja hanya memberi santunan kepada pengguna angkutan umum yang membeli tiket. Sebab, harga tiket yang dibayarkan sudah termasuk pembayaran premi asuransi. Sedangkan untuk pengguna travel gelap, tidak ada mekanisme pembayaran premi asuransi.
Keberadaan travel gelap belakangan ini menjadi sorotan setelah 12 penumpang kendaraan Daihatsu Gran Max tewas dalam kecelakaan di Kilometer 58 jalan tol Jakarta-Cikampek, Karawang, Jawa Barat, pada 8 April lalu. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan kendaraan itu dioperasikan secara tidak resmi untuk angkutan umum.
Mobil itu disopiri Ukar Karmana, 55 tahun. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi dari arah Jakarta menuju Ciamis. Tiba-tiba mobil itu oleng ke sebelah kanan jalur contraflow dan menabrak bus. Mobil merek Terios yang berada di belakang bus kemudian menabrak bagian belakang bus. Mobil Gran Max dan Terios itu pun terbakar. Semua penumpang Gran Max tewas di tempat.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menuturkan sopir Gran Max kelelahan akibat kurang istirahat setelah bolak-balik mengemudi dari Jakarta-Ciamis sejak 5 April lalu. “Dalam situasi seperti ini pengemudi akan sangat mudah mengalami microsleep,” ujarnya dalam keterangan tertulis, 11 April lalu.
Selain itu, kata Soerjanto, kondisi Gran Max kelebihan muatan. Kapasitas kendaraan yang hanya untuk 8 orang itu dijejali 12 penumpang. Ditambah lagi dengan barang bawaan yang membuat kendaraan makin tidak stabil. “Para penumpang juga tidak menggunakan sabuk keselamatan,” katanya.
Ilustrasi penggunaan taksi daring. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah
Jasa Raharja memberi santunan penuh kepada 12 korban yang tewas. Direktur Utama Jasa Raharja Rivan Achmad Purwantono menuturkan pertimbangan pemberian itu karena fakta hukum pada peristiwa itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. “Itu sebuah kecelakaan lebih dari dua kendaraan,” katanya.
Menurut Rivan, santunan tidak akan diberikan kepada penumpang Gran Max jika hanya kecelakaan tunggal. Alasannya, travel gelap tidak membayar premi asuransi yang wajib dibayarkan oleh semua penyediaan jasa angkutan umum.
Rivan mencontohkan kecelakaan yang dialami bus Rosalia Indah pada 11 April lalu di KM 370 jalan tol Semarang-Batang. Meski peristiwa itu tergolong kecelakaan tunggal, semua korban mendapat santunan. “Karena bus Rosalia tertib membayar iuran wajib,” katanya.
Pengamat transportasi Deddy Herlambang mengatakan, untuk menghindari kecelakaan pada angkutan umum, ramp check atau inspeksi keselamatan kendaraan harus selalu diperhatikan. Setiap kendaraan umum wajib menjalankan uji keur alias kir untuk memastikan kelaikan operasional.
Sementara itu, travel gelap ataupun angkutan daring, tidak menjalani mekanisme tersebut. Bahkan, kata Deddy, Undang-Undang Cipta Kerja tentang transportasi tidak mewajibkan kendaraan sewaan yang berpelat hitam menjalani inspeksi keselamatan. “Tidak ada nomenklatur kendaraan sewa resmi atau tidak resmi,” ucapnya.
Setelah kecelakaan beruntun di Kilometer 58 jalan tol Jakarta-Cikampek, Kementerian Perhubungan meminta kepolisian merazia penyedia jasa travel gelap. “Agar kasus serupa tidak terulang,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, pekan lalu. Ia juga meminta masyarakat menggunakan jasa travel resmi demi menjaga keselamatan. "Jangan memaksakan untuk melakukan kegiatan menggunakan travel gelap.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo