Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis Untuk Sebuah Versi

Proses peradilan yang tidak lengkap ceritanya. versi laksusda, bukan polisi yang dipakai untuk vonis. tapi tuntutan selesai.(hk)

1 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALUR cerita telah disodorkan jaksa. Para tertuduh juga mengaku. Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Watampone tak perlu repot Tahir dan La Wali, 18 Februari lalu, masing-masing dihukum 17 tahun penjara potong tahanan. Mereka dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana terhadap Sumiaty. Vonnis tak beda jauh dari tuntutan jaksa yang minta agar kedua tertuduh dihukum 17 tahun tanpa dipotong tahanan. Namun agaknya tak dapat dielakkan kesan, bahwa ini sebuah proses peradilan yang tidak lengkap ceritanya. Betapa tidak? Cerita yang dibawa Jaksa Arsjad Massie berasal dari pemeriksaan POMDAM XIV/Hasanuddin (Laksusda). Korban pembunuhan, yang diketemukan dengan kepala terpisah dari badan di Kampung Pinra (Kabupaten Bone), katanya bernama Sumiaty. Pembunuhnya Tahir dan La Wali itulah. Tahir dan La Wali sendiri di pengadilan mengaku: Mereka diundang oleh Tajuddin, pegawai Pasar Sentral, untuk suatu jamuan makan di Rumah makan Ramayana. Kopral Mallaniung, seorang anggota polisi, ikut bersama dalam pertemuan tersebut. Di situ Tajuddin menunjuk seorang wanita yang duduk di meja lain. Besoknya 23 Maret di rumah makan yang sama, barulah Tajuddin mengutarakan maksudnya mengundang makan-makan: ia minta agar Tahir dan La Wali membunuh wanita yang kemarin ditunjuknya. Disebutkan, namanya Sumiaty. Ia sendiri akan bertanggungjawab atas semua risiko. Sebab, kata Tajuddin seperti diungkapkan Tahir, semua rencana itu ada hubungannya dengan usaha mengembalikan jabatan bupati kepada Suaib. Sebab bupati yang sekarang, Harahap (pengganti Suaib), bukan orang Bone. Upah untuk kerja demikian diterima Tahir (Rp 50 ribu) dan Wali (Rp 100 ribu) dari H.A. Sunre, pejabat di Pasar Sentral, melalui Tajuddin. Itulah sebabnya, setelah jaksa selesai dengan tuntutannya, Tahir berani mengemukakan pembelaannya demikian: "Perbuatan itu saya lakukan karena disuruh aparat pemerintah -- jadi atas nama pemerintah sendiri!" Pun, katanya, pembunuhan yang diawali dengan penganiayaan dan pemerkosaan terhadap korban itu dilakukan di bawah ancaman Kopral Mallaniung. Jadi, lanjutnya, "perbuatan itu saya lakukan untuk keselamatan jiwa saya yang terancam . . ." Pengadilan menerima begitu saja alasan Tahir dan La Wali. Sementara itu beberapa hal nampaknya dilewatkan. Beberapa nama penting, yang terseret dalam alur cerita versi Laksusda yang dibawakan jaksa, tidak bisa dihadirkan sebagai saksi. Suaib, misalnya, tidak bisa diajukan dengan alasan "sedang ke luar desa" seperti disebutkan jaksa. Meskipun Suaib pernah mengatakan bahwa ia bersedia maju sebagai saksi sekaligus untuk membersihkan namanya. Disiksa Tidak itu saja. H.A. Sunre, yang berada dalam tahanan pun, ternyata tidak bisa ditampilkan. Cerita tentang upah membunuh, seperti yang diceritakan Tahir, diterima pengadilan tanpa mendengarkan apa kata Sunre tentang hal itu. Kopral Mallaniung, yang diceritakan kut serta dalam rencana dan pelaksanaan pembantaian di Kuburan Pinra, ternyata juga tak pernah duduk di kursi saksi. Tajuddin orang yang menurut Tahir menyuruhnya, memang bersaksi. Tapi tak mendukung tuduhan jaksa. Di bawah sumpah ia membantah mendalangi Tahir dan La Wali. "Bagaimana mungkin," kata Tajuddin, "kenal kedua tertuduh itu pun tidak." Lalu pengakuannya di muka POMDAM tempo hari? "Keterangan itu saya berikan karena disiksa," sanggah Tajuddin. Berangkat dari cerita versi Laksusda, seperti yang disodorkan jaksa, Majelis Hakim yang dipimpin Hakim M. Soedarsono Djojohadiredjo juga tidak mempersoalkan pertanyaan yang beredar di mulut umum: Benarkah wanita hamil yang diketemukan terpenggal -- seperti diakui pembunuhnya -- bernama Sumiaty? Rupanya pengadilan tidak mempersoalkan siapa yang dibunuh dan mengapa korban itu yang dipilih, bukan orang lain. Padahal polisi punya versi yang berbeda tentang korban ini. Versi ini belum tentu benar, meskipun sebenarnya menarik juga. Polisi yakin, setelah melakukan serangkaian pemeriksaan sidik jari dan identifikasi lain, korban adalah Hasnah dengan nama alias Hasse (TEMPO, 9 Februari). Bukan Sumiaty. Dan siapa Hasnah itu mungkin bisa jadi petunjuk tentang alasan mengapaustru wanita ini yang disingkirkan dari dunia. Tapi versi lain itu sudah ditutup. Projustitia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus