Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO NASIONAL-- Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) berpotensi besar menjadi pemasok bahan baku untuk cofiring biomassa pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Syaratnya, pemerintah harus memberi dukungan dalam hal persiapan teknologi, sumber daya manusia, insentif, dan regulasi yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Sinergitas antara kementerian dan lembaga terkait pengembangan energi baru terbarukan (EBT) merupakan kunci utama pemanfaatan BUMDes,” ujar Staf Ahli Menteri Kementerian Desa, Pembangungan Daerah Tertingal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Suprapedi yang memberikan keynote speech di acara Forum Group Discussion Nasional Cofiring Biomassa pada PLTU, Jumat (6/11).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kemendes PDTT sangat mendukung proyek cofiring biomassa karena EBT merupakan tujuan ketujuh dalam program SDGs (Sustainable Development Goals) desa. Selain ramah lingkungan, pengembangan EBT mempunyai daya ungkit pada sektor perekonomian desa.
Kemendes PDTT telah bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar masyarakat desa dapat memanfaatkan hutan sosial untuk ditanami tanaman industri yang menjadi bahan baku biomassa. Hasil hutan akan diolah oleh BUMDes untuk disalurkan kepada PLTU. Namun BUMDes perlu menguasai teknologi pengolahan bahan baku, jalur distribusi ke PLTU, dan konsep bisnisnya.
Kemendes PDTT menawarkan lima langkah akselerasi guna percepatan dukungan pada proyek cofiring. Yakni mengembangkan sistem industri energi dengan menjaga kontinuitas pasokan energi, melakukan inovasi teknologi, dan membangun kemitraan dengan BUMDes. Berikutnya menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat desa akan manfaat tanaman sebagai bahan baku biomassa, dan membuat konsorsium BUMDes.
Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gajah Mada (UGM) menemukan beberapa hal terkait upaya mengikutsertakan masyarakat dalam pengadaan bahan baku PLTU. “Ada potensi konflik saat implementasi cofiring, yakni kesiapan bisnis masyarakat, program bantuan pemerintah yang belum merata, serta kesenjangan antara tenaga kerja asli dan pendatang,” ujar peneliti PSE UGM Derajad Sulistyo.
PSE UGM juga mengamati masyarakat di Desa Bhinor dan Banyuglugur yang lokasinya dekat PLTU Paiton 1 dan Paiton 2, memiliki kemampuan berbisnis yang baik. Dengan kegiatan ekonomi BUMdes dan dukungan tokoh masyarakat, maka masyarakat desa akan menerima keberadaan PLTU.
Menurut Derajat, BUMDes perlu menyiapkan faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yakni pelatihan, manajemen organisasi, dan modal penyertaan. Sedangkan faktor eksternal mencakup keterlibatan akademisi, kalangan bisnis, komunitas, dan pemerintah, serta dukungan peraturan perundangan.
Usaha berkelanjutan BUMDes juga terkendala harga karena harga bahan baku yang ditetapkan PLTU lebih rendah dari ongkos produksi. Jika BUMDes membeli kayu tegakan hasil hutan seharga Rp 185 ribu per ton, maka harganya jualnya ke PLTU mencapai Rp 850 ribu ton setelah dimasukkan biaya tebang, operator, ongkos transportasi dan interest rate.
Djoko Winarno dari Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) menuturkan Peraturan Direksi PLN Nomor 001 menyatakan harga patokan tertinggi sampai PLTU sebesar Rp 740 ribu per ton sehingga ada selisih Rp 110 per kilogram.
"Selisih harga tersebut dapat diatasi jika pemerintah memberikan insentif kepada BUMdes antara lain keringanan membayar PBB dan pajak hasil hutan, mengurangi bea masuk dari mesin-mesin untuk kepentingan hutan tanaman industri, dan sebagainya. Jika (biaya) bisa diringankan atau dibebaskan, kemungkinan harga tersebut bisa turun,” ujar Djoko. (*)