Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
INFO PURWAKARTA – Setiap Jumat, ada yang tidak biasa pada pakaian seragam sekolah dan Aparat Sipil Negara (ASN) di kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Para siswa dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, sampai ASN di Purwakarta diharuskan mengenakan pakaian khas santri di pesantren-pesantren tradisional, seperti baju koko, sarung, dan kopiah hitam.
Tak pelak, suasana di Purwakarta pun berubah seperti sebuah kawasan pesantren besar yang memunculkan aura keteduhan dan ketenangan. Apalagi saat bulan Ramadan sekarang ini jadi terasa lebih indah dan damai.
Adapun instruksi mengenakan pakaian ala santri tersebut dikeluarkan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi bertepatan dengan peringatan Hari Santri pertama pada 22 Oktober 2016. “Tujuannya membangun karakter tradisi keislaman di Indonesia yang lahir di pesantren,” ujar Kang Dedi, sapaan akrab Dedi Mulyadi.
Menurut Dedi, para ulama dan santri merupakan salah satu pilar berdirinya Indonesia. “Waktu itu dengan mengenakan sarung, baju koko, dan kopiah, para kiai dan santri turun gunung menghunus bambu runcing, memanggul senjata menuju medan perang melawan, dan mengusir penjajah,” ujarnya.
“Pantas kalau kemudian kami mengabadikan jejak perbuatan mereka dengan mengenakan seragam santri tiap Jumat,” katanya. Jumat menjadi pilihan agar para siswa dan ASN bisa langsung menyiapkan diri dengan pakaian yang juga biasa dikenakan Jumatan. Dedi juga menganalogikan sarung sebagai sebuah kurung, yang mengunci sikap dan perilaku setiap manusia yang mengenakannya dari perbuatan buruk serta hanya memperlihatkan yang baik-baik saja.
Dalam perspektif Dedi, pesantren merupakan basis penggodokan kader-kader bangsa yang memiliki kecerdasan, keterampilan, kearifan, kebersahajaan, dan berwawasan kebangsaan yang kuat. Mereka menjadi perekat bangsa dan merawat Indonesia tanpa batas.
Dalam implementasinya, Firdaus, salah seorang siswa SMA di Purwakarta, mengaku tak ada masalah dengan seragam sarungan tersebut. “Awalnya memang terasa ribet, tapi sekarang santai aja,” ujar siswa kelas 12 itu.
Galih, siswa salah satu SMPN di Kecamatan Campaka, mengaku lebih afdal dan khusuk mengenakan seragam sarungan, terlebih di bulan Ramadan. “Kebetulan kami juga diliburkan belajar pelajaran wajib yang dikurikulumkan dan diwajibkan belajar Al-Quran dan mengaji Kitab Kuning saja. Jadi klop dengan seragam sarungannya,” ujar siswa kelas VIII itu. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini