Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Wawan Ridwan, Praktisi Konservasi dan juga Chief of Party-USAID Kolektif at KEHATI, merasa beruntung. Lulus kuliah tahun 1981 kemudian bekerja di Kementerian Kehutanan dan langsung ditugaskan di Ujung Kulon.
“Ujung Kulon merupakan taman nasional yang indah baik di luar maupun di dalam,” kata dia pada acara Biodiversity Warriors (BW) in Training “Lika Liku Menjadi Kepala Taman Nasional” yang diselenggarakan KEHATI dalam rangka memperingati Hari Cinta Satwa dan Puspa (HCPSN) 2022, di Jakarta, Jumat 11 November 2022. Sebelumnya, di era dia di sana, Ujung Kulon belum menjadi Taman Nasional. “Baru beberapa tahun kemudian Indonesia mengikuti kongres lalu diputuskan menjadi Taman Nasional.”
Menurut Wawan, konservasi di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Sebagian besar kawasan konservasi sudah dibentuk sejak pemerintah Belanda. “Dulu ada cagar alam, upaya perlindungan. Seperti keanekaragaman floristik di Gunung Gede Pangrango, Baluran untuk suaka margasatwa, dan lainnya. Begitu juga dengan Kebun Raya yang fokus di floristik dibangun di zaman Belanda. Mungkin jika Belanda tidak membangun, kita tidak punya upaya konservasi,” kata dia.
Pada saat pemerintah fokus di perlindungan, kata dia, belum ada sistem zonasi. Oleh karena itu masyarakat dilarang untuk memasuki wilayah cagar alam. “Dulu di Ujung Kulon enggak boleh dimasukin. Sekarang setelah menjadi taman nasional diperbolehkan dengan sistem zonasi,” katanya.
Berdasarkan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
Suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional, pertama memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik. Kedua, memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh. Ketiga, mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami. Keempat, merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Wawan mengatakan, setelah tiga tahun di Ujung Kulon, dia kemudian ditugaskan ke Jakarta. Secara kebetulan, Presiden Soeharto ingin berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Tak disangka pimpinan di Jakarta kemudian memintanya untuk menjadi Kepala Taman Nasional Komodo.
Meskipun saat itu infrastruktur belum memadai dan listrik belum masuk, namun menurut Wawan, Pulau Komodo sudah terkenal. Sebanyak 33 ribu wisatawan asing kerap berkunjung ke Pulau Komodo. Sementara, untuk wisatawan domestik masih jarang karena terkendala transportasi dan jarak yang jauh.
Praktisi Konservasi dan juga Chief of Party-USAID Kolektif at KEHATI Wawan Ridwan saat menjadi pembicara Biodiversity Warriors (BW) in Training “Lika Liku Menjadi Kepala Taman Nasional” yang diselenggarakan KEHATI di Jakarta, Jumat 11 November 2022.
Wawan bercerita, ketika dirinya pernah diwawancarai media, dia meminta agar pemerintah daerah dan pusat bekerja sama untuk membatasi pemukiman agar tidak meluas ke wilayah konservasi. “Saat itu Bupati marah ke saya menganggap saya lebih mementingkan komodo dibandingkan manusia. Dianggap tidak berprikemanusiaan.” Namun, dengan adanya komunikasi yang baik, Bupati itu pun akhirnya mengerti. Jika taman nasional tidak dijaga, maka apa yang akan dilihat wisatawan nantinya.
Wawan menyayangkan. Saat ini, banyak tempat penginapan dan restoran di sekitar taman nasional yang tidak dimiliki oleh warga lokal. “Padahal saya selalu berpesan jangan menjual tanah ke orang luar,” kata dia.
Hal itu baginya membuat miris, karena menjadikan beberapa taman nasional tidak memberikan dampak kesejahteraan bagi warga sekitarnya. Masyarakat, kata Wawan, perlu belajar dari Suku Tengger di Pegunungan Bromo Semeru. Dimana para penduduknya tidak memperjual belikan tanah leluhur.
Menurut Wawan, penting untuk melindungi masyarakat lokal terlebih dahulu. Ketika membangun tempat wisata maka uang yang diperoleh digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. “Bedakan investasi di kawasan konservasi atau bukan,” kata lelaki yang pernah bertugas sebagai Kepala Taman Nasional di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Kerinci Seblat, dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu.
Pelatihan untuk masyarakat, kata Wawan juga diperlukan agar mampu menjadi penyedia jasa wisata. Jangan sampai penyedia jasa di taman nasional bukan warga lokal melainkan berasal dari warga daerah lainnya. “Masalah taman nasional yaitu belum adanya perhatian dari semua pihak. Pemda yang mendapatkan benefit pun terkadang masih kurang aware,” katanya.
Dia pun berharap, konservasi menjadi pelajaran yang diwajibkan dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Begitu juga akademi polisi harus memahami konservasi. “Karena jika akademi polisi juga mempelajari konservasi, jika ada pelanggaran, akan memberikan hukuman yang tepat.”
Wawan pun belajar dari taman nasional di Amerika. Bagaimana pemerintah sana bisa mengajak generasi mudanya untuk mencintai taman nasional. “Pada saat liburan sekolah mereka membuka lowongan untuk menjadi pemandu di sana. Anak-anak diberi pelatihan, menginap dan makan di sana. Meskipun belum mendapatkan honor, namun antusias mereka tinggi.”
Direktur Program KEHATI Roni Megawanto saat membuka acara BW in Training "Lika Liku Menjadi Kepala Taman Nasional" yang diselenggarakan KEHATI, Jumat 11 November 2022
Dia pun berharap, hal itu juga bisa diterapkan di Indonesia. Bagaimana taman nasional di Tanah Air bisa menyediakan program magang bagi generasi muda. “Alangkah baiknya, pelatihan magang seperti ini dibuat secara terprogram untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda pada konservasi alam.”
Wawan yang juga pernah bekerja di Taman Nasional Betung Kerihun, Taman Nasional Wakatobi, Taman Nasional Cendrawasih, dan Taman Nasional Bunaken itu pun menuturkan bagaimana pentingnya konservasi yang menurutnya sangat mendasar.
“Sunatullah, agama apapun, Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk terakhir. Karena ketika manusia diciptakan sudah ada bumi dan makanan.” Oleh karena itu, lanjut Wawan, tugas manusia untuk mengelola dengan baik bumi dan segala isinya. “Konservasi penting untuk cadangan makanan,” ujar dia.
Direktur Program KEHATI Roni Megawanto mengatakan, inti dari memperingati Hari Cinta Satwa dan Puspa adalah cinta. “Intinya di cinta. Satwa atau puspa kalau tidak dicintai biasa saja, makhluk seperti lainnya. Namun ketika sudah cinta, menggugah dan bisa menggerakkan. Cinta itu kata kerja bukan kata benda. Bagaimana mencintai maka ada kerja kerja yang bisa dilakukan.”
Menurut Roni, Wawan telah melakukan kerja kerja kerja hingga saat ini. Wawan bersedia bergabung KEHATI untuk membawa kerja kerja kerja dalam rangka mencintai puspa dan satwa nasional. “Ini waktu yang baik untuk belajar dan merefleksikan diri,” kata Roni.(*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini