Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Pentingnya Peran Guru di Madrasah

Jika penyampaiannya tidak baik, tentu manfaatnya tidak banyak.

6 November 2015 | 00.00 WIB

Jika penyampaiannya tidak baik, tentu manfaatnya tidak banyak.
Perbesar
Jika penyampaiannya tidak baik, tentu manfaatnya tidak banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

INFO KEMENAG - Direktur Pendidikan Madrasah M. Nur Kholis Setiawan berharap para guru mampu menghadirkan pelajaran fikih sebagai sesuatu yang menarik, disukai, dan menjadi pemicu nalar kritis anak madrasah. Jika hal tersebut mampu tumbuh kembang di madrasah, Direktur meyakini anak-anak madrasah akan mampu berpikir dan bernalar keislaman yang baik.


“Fikih bagian proses melahirkan daya kritis di Madrasah,” terang Nur Kholis dalam acara “Penguatan Pembelajaran Fiqih dan Pelajaran Akidah dan Akhlak pada Madrasah” di Makassar, Selasa, 8 September 2015.


Agar seimbang, menurut Nur Kholis, harus ditopang pelajaran lainnya, yaitu akidah akhlak. “Akidah Akhlak menjadi penyeimbang bagi nalar kritis yang ‘bebas’ tadi. Yang nanti akan menjadi bekal orang berpikir kritis positif,” katanya. “Jadi ini tentu lebih banyak menjadi benteng keliaran berpikir tanpa batas. Dengan akidah akhlak ini, dalam Islam wujudnya berorientasi pada kemanusiaan.”


Pelajaran akidah akhlak yang diajarkan di madrasah merupakan bagian dari proses penciptaan generasi yang bermoral. Ilmu ini, menurut Nur Kholis, merupakan pelajaran yang tidak diajarkan di sekolah umum. Namun sukses-tidaknya pelajaran akidah akhlak ini kepada murid bergantung pada guru.


“Sukses dan tidak bergantung kepada guru dalam menyampaikan ke peserta didik. Jika penyampaiannya tidak baik, tentu manfaatnya tidak banyak. Sehingga dibutuhkan double movement (gerak ganda) sekaligus,” ujar Nur Kholis.


Sebab, indahnya Islam salah satunya terletak pada akidah akhlak. Hal ini, menurut pria yang merupakan doktor lulusan Bonn, Jerman, ini tidak seperti di Barat dengan paradigmanya yang menyatakan bahwa agama dianggap sebagai candu, serta budaya kebebasan berpikir tanpa batas sebagaimana dalam ungkapan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada). (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus