Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo

Sri Lanka Bangkrut Tak Mampu Bayar Utang, Cek Bagaimana Indonesia Mengelola Utang

Supaya tidak seperti Sri Lanka, penting mengelola pembiayaan dengan prudent, oportunistik, fleksibel, akuntabel, berkelanjutan, dan kredibel dengan menjaga debt ratio tetap terkendali.

7 September 2022 | 14.18 WIB

Sri Lanka Bangkrut Tak Mampu Bayar Utang, Cek Bagaimana Indonesia Mengelola Utang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

INFO NASIONAL -- Pemerintahan Sri Lanka mengumumkan gagal bayar utang luar negeri alias default. Per akhir 2021, utang luar negeri Sri Lanka mencapai US$ 50,72 miliar (setara Rp 732 triliun), atau mencapai 60,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai tersebut termasuk kewajiban pembayaran utang Sri Lanka ke China yang mencapai hampir US$ 2 miliar. Tata Kelola Pemerintahan juga diduga turut memperburuk krisis, termasuk akumulasi pinjaman dan pemotongan pajak yang keliru. Bandingkan dengan kondisi perekonomian di Indonesia yang masih kuat dengan pembiayaan terkendali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Seperti diketahui, krisis ekonomi di Sri Lanka mulai terasa sejak pandemi melumpuhkan sektor pariwisata dan keuangan. Pemerintah Sri Lanka memberlakukan larangan impor demi menghemat cadangan devisa yang terus menipis, dan menggunakannya untuk melunasi utang yang akhirnya gagal dibayar. Hal ini menyebabkan kelangkaan barang-barang. Indonesia yang turut terimbas pandemi juga merasakan pelemahan ekonomi. Namun demikian, Indonesia berhasil bangkit dan kini sudah masuk kondisi pra pandemi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum lagi kenaikan harga komoditas di pasar global menyebabkan biaya impor Sri Lanka melonjak. Sri Lanka banyak menggantungkan kebutuhan dalam negeri dari impor. Migas, barang tambang, pangan, kebanyakan didatangkan dari luar negeri, karena Sri Lanka banyak ditopang sektor pariwisata, selain ekspor teh dan grafit yang ikut menopang devisa di masa sebelum pandemi. Minimnya komoditas ekspor Sri Lanka menjadikannya tidak mendapatkan windfall profit, bahkan tekanan lebih tinggi dari sisi defisit dan subsidi.

Kondisi di Sri Lanka ini jauh berbeda dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2022 kembali mencatat surplus, yakni US$ 5,09 miliar, meningkat dibandingkan dengan surplus bulan sebelumnya sebesar US$ 2,9 miliar. Kinerja positif tersebut melanjutkan surplus neraca perdagangan Indonesia sejak Mei 2020. Neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Juni 2022 secara keseluruhan mencatat surplus US$ 24,89 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian pada semester pertama 2021 sebesar US$ 11,84 miliar.

Ketika terjadi pandemi, sektor pariwisata yang menjadi sektor andalan kolaps. Sri Lanka menghabiskan lebih banyak uang untuk impor kebutuhan pokok. Hingga tidak bisa membayar kewajiban utang luar negeri. Cadangan devisanya banyak tersedot untuk membayar kewajiban cicilan utang. Hal ini diperparah dengan kenaikan harga energi yang kian meroket akibat perang Rusia dan Ukraina.

Utang luar negeri Pemerintah Sri Lanka per akhir 2021 mencapai US$ 32,8 miliar (sekitar Rp 471 triliun), atau mencapai 39,35 persen dari PDB. Cadangan devisa Sri Lanka tercatat mencapai US$ 1,92 miliar (Rp 27,5 triliun) per akhir Mei 2022, Namun, Sri Lanka harus membayar utang sekitar US$ 4 miliar (Rp 57,4 triliun) yang jatuh tempo tahun ini. Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) mengumumkan gagal bayar. Bank sentral juga menaikkan suku bunga demi mengatasi lonjakan harga akibat kelangkaan kebutuhan pokok.

Adapun posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan II 2022 tercatat sebesar US$ 403 miliar, turun dibandingkan dengan posisi utang luar negeri pada triwulan sebelumnya sebesar US$ 412,6 miliar. Perkembangan tersebut karena penurunan posisi utang luar negeri sektor publik (Pemerintah dan Bank Sentral) dan sektor swasta.

Utang Pemerintah merupakan instrumen atau alat dalam menjalankan kebijakan fiskal berupa pembiayaan APBN. Pengelolaan utang diatur dan dilaksanakan sesuai dengan UU dan perencanaannya harus melalui persetujuan dan penetapan oleh DPR. Pelaksanaannya dilaporkan secara transparan serta diawasi dan diperiksa oleh Badan Pengawas Keuangan.

Penggunaan utang sebagai salah satu sumber pembiayaan tidak terlepas dari kebijakan defisit APBN yang diambil Pemerintah untuk tujuan countercyclical. Kebijakan yang bersifat countercyclical (kebijakan proaktif untuk melawan tren penurunan) ini diambil untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi di saat kondisi perekonomian melemah.

Pemerintah Indonesia tetap mengelola utang secara hati-hati serta mengantisipasi berbagai kemungkinan. Langkah yang diambil antara lain dengan mengoptimalkan belanja negara sesuai kebutuhan, meningkatkan pendapatan negara yang kini mendapatkan berkah harga komoditas internasional dan kerja sama dengan Bank Indonesia. Indonesia termasuk negara yang mendapatkan windfall profit, sama halnya Argentina, Brasil dan Malaysia.

Diketahui rasio utang Indonesia akhir tahun 2019 di kisaran 30 persen PDB, jauh lebih rendah dibandingkan Sri Lanka yang telah mencapai 87 persen PDB. Defisit fiskal Sri Lanka di tahun 2019 juga telah mencapai 9,6 persen, di mana Indonesia sebelum masa pandemi selalu berada di bawah 3 persen sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara. Dari sisi moneter, Indonesia sangat konservatif, independen, dan kredibel. Bank Indonesia sangat konsisten menjaga stabilitas inflasi dengan skema target inflasi. Inflasi selama lima tahun terakhir tetap terjaga di bawah 5 persen.

Berbagai proyeksi lembaga internasional juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang cukup kuat dalam menghadapi krisis global saat ini, neraca berjalan surplus, laju pertumbuhan juga diproyeksi sekitar 5 persen. Indonesia juga diuntungkan dari sisi penerimaan negara yaitu dari perdagangan karena Indonesia adalah pengekspor banyak komoditas seperti nikel, tembaga, batubara, dan CPO.

Berbeda dengan Sri Lanka, pengelolaan pembiayaan Indonesia dilaksanakan secara hati-hati dan terukur risikonya dengan mengedepankan akuntabilitas. Pemerintah memastikan kondisi APBN masih sangat baik, jauh berbeda jika dibandingkan Sri Lanka yang saat ini dihadapkan pada krisis utang. Utang Pemerintah Indonesia diarahkan untuk sektor-sektor produktif dan mendesak diperlukan masyarakat dan hal ini telah mampu menopang kondisi fiskal dan APBN Indonesia yang kuat dan jauh sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi oleh Sri Lanka. Situasi yang terjadi di Sri Lanka menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia untuk menguatkan aspek mitigasi dan pengelolaan anggaran secara hati-hati. (*)

 

Prodik Digital

Prodik Digital

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus