Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

60 jam yang mengubah sejarah

Setelah kudeta gagal, gorbachev mengundurkan diri sebagai sekjen pkus. melakukan pembersihan terha- dap orang yang terlibat kudeta. posisi gorbachev pada masa pascakudeta dipertanyakan.

31 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya Partai Komunis Uni Soviet rubuh. Mungkinkah Mikhail Gorbachev, yang sudah meletakkan jabatan sebagai Sekjen Partai akan tersingkir pula? SEBUAH sejarah dihentikan, Sabtu pekan lalu. Di akhir pekan, terjadilah peristiwa yang paling dramatik dalam sejarah politik Uni Soviet sejak Revolusi Bolsyewik 1917. Petang itu, Televisi Moskow menyiarkan pernyataan Presiden Mikhail Gorbachev. Ia mengundurkan diri sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet. Ia memerintahkan penyitaan semua harta benda Partai. Dan ia sarankan Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet membubarkan diri. Ia pun menyatakan pemerintah di semua Republik Soviet silakan melakukan hal serupa. "Saya tak lagi melihat kemungkinan meneruskan tugas sebagai sekretaris jenderal," bunyi pernyataan Gorbachev yang dibacakan itu. Dengan kata lain, itulah akhir sejarah Partai Komunis Uni Soviet yang hampir berusia 75 tahun. Partai yang lahir lewat revolusi "10 hari yang mengguncangkan dunia" pada 1917, dan harus berakhir setelah kudeta 60 jam yang mengagetkan dunia. Mungkin, ini memang hal yang sulit ditolak. Lihat, setelah kudeta dinyatakan gagal, peristiwa-peristiwa yang memojokkan Partai susul-menyusul dengan cepat. Demonstrasi massa menuntut agar Partai dibubarkan, pendudukan kantor Partai Komunis cabang Moskow oleh demonstran pengunduran diri beberapa ketua partai di beberapa republik, antara lain Presiden Kazakhstan Nursultan Nazarbayev. Juga pembekuan Partai Komunis dan penyitaan kekayaannya terjadi di sejumlah Republik: setidaknya Lithuania dan Ukraina. Melihat kenyataan tersebut, tampaknya, pernyataan di televisi adalah pilihan Gorbachev yang terbaik, dan bisa jadi keputusan terberat yang harus diambilnya. Dua tahun lalu, ketika ia diserang Boris Yeltsin, Gorbachev mengatakan dengan tegas bahwa ia memang seorang komunis. "Siapa yang masih percaya kepada komunisme adalah orang yang berada dalam fantasi," kata Yeltsin kepada wartawan ketika itu. Sekretaris Jenderal Partai sejak 1985 ini menjawab, "Saya seorang komunis, seorang komunis yang yakin. Buat sementara, orang itu hanya fantasi, tapi buat saya itulah tujuan." Dan tak hanya soal partai. Malam sebelumnya, Gorbachev seperti dipermalukan di hadapan Parlemen Rusia. Meski ia tak sampai kehilangan rasa humornya sama sekali. Setelah membacakan pernyataan Dewan Menteri (Kabinet) Uni Soviet, yang dibuat pada hari kudeta, Senin pekan lalu, yang menyatakan bahwa Dewan itu tidak menentang kudeta, kata Gorby, "Kalau begitu, saya harus membubarkan pemerintahan Uni Soviet seluruhnya." Kata membubarkan pemerintahan Soviet memang tak ada dalam pernyataan di televisi itu. Tapi, Gorby telah menyerahkan pengelolaan perekonomian Uni Soviet kepada Perdana Menteri Rusia Ivan Silayev. Ini bisa ditafsirkan bahwa Silayev, orang kepercayaan Boris Yeltsin, mempunyai kekuasaan sebagaimana perdana menteri Uni Soviet. Terbukti kemudian, dalam pernyataan Silayev yang menyusul, selain mengatakan bahwa urusan Departemen Ekonomi federal ada di tangannya, ia pun mengatakan bahwa semua departemen Uni Soviet, untuk sementara, berada di bawah kontrol pemerintah Rusia. Sebelumnya, Presiden Rusia Boris Yeltsin sendiri, dalam sebuah dekritnya, mengumumkan bahwa semua sarana komunikasi di Republik Federasi Rusia berada di tangan pemerintah Rusia. Semula, semuanya itu berada di bawah pemerintah Kremlin. Bila partai sudah tak ada, dan pemerintahan di tangan Republik Rusia, di mana Gorbachev berdiri sekarang? Dua hari sebelum semua ini terjadi, kolomnis harian Soviet Izvestia yang kini jadi dosen tamu di Minnesota, AS, yakni Melro Sturua, menulis di surat kabar New York Times. Gorbachev, tulisnya, selamat dan pulang dengan sehat di Moskow, setelah kudeta gagal. Dan, "Mungkin ia akan memerintah lagi, setidaknya untuk sementara. Tapi pada hakikatnya ia pecundang, bukan pemenang.... Kemungkinan terbaiknya adalah: ia jadi simbol pemerintahan semacam ratu Inggris." Barangkali itulah nasib seorang moderat. Sejak menggelindingkan glasnost dan perestroika, Gorbachev berkali-kali harus mempertahankan keseimbangan, antara kelompok yang menghendaki reformasi secepatnya dan kelompok garis keras yang mencoba mempertahankan sistem lama. Gorbachev seperti hendak menggandeng mereka bersama agar tak ada gejolak sosial yang biasanya, bila itu terjadi, akan makan korban. Ia mencoba menjinakkan revolusi hanya menjadi evolusi. Ia menghindarkan, tulis Padma Desai, ekonom yang khusus mempelajari ekonomi Soviet dari Columbia University, dalam bukunya Perestroika in Perspective, "reformasi yang bisa memancing permusuhan antarkelompok penting." Dan, dengan berani, ia mempertahankan sikap yang diyakininya itu. Sabtu pagi pekan lalu, sebelum ia mengundurkan diri sebagai Sekretaris Jenderal Partai, ketika ia ikut melayat pemakaman tiga orang korban kudeta, Gorbachev mengakui bahwa Komite Sentral sebagai eksekutif tertinggi partai ternyata tak menentang kudeta. Tapi, ia cepat bilang, "Ini semua tak harus berarti lalu beribu-ribu dokter, insinyur, dan para pekerja anggota Partai Komunis, yang hanya diam dan tak menentang kudeta, harus diadili." Bila itu dilakukan, katanya lagi, tindakan itu adalah "tindakan kriminalitas." Tapi seberapa besar kini kekuasaan Gorbachev hingga ia bisa mencegah suatu tindak "kriminalitas" dilakukan? Awal pekan ini, kantor berita Reuters menyiarkan, gerakan pembersihan terhadap mereka yang dituduh terlibat kudeta sudah dimulai. Sejumlah perwira militer sudah ditangkap. Dan penasihat militer Gorbachev, Marsekal Sergei Akhromeyev bekas Kepala Staf Angkatan Bersenjata, bunuh diri. Satu pertanyaan menarik yang sulit dicegah munculnya adalah: adakah pembersihan itu nanti akan juga sampai pada diri Gorbachev. Sudah sejak ketika kudeta diumumkan gagal, muncul pernyataan-pernyataan, apakah Gorbachev tak ikut bertanggung jawab terhadap munculnya kudeta. Kata Sergei Tarasenko, bekas penasihat Eduard Shevardnadze, "Yang ironis adalah: yang mengkudeta Gorbachev adalah orang-orang yang ia nyatakan sebagai teman-temannya." Soalnya, seperti sudah disebutkan, Gorbachev memang mengambil peran sebagai faktor penyeimbang antara garis keras dan reformis. Ia tak ingin tiba-tiba membuat kapal yang bernama Uni Soviet miring ke kanan atau ke kiri. Dua tahun lalu, misalnya, terhadap gerakan yang menginginkan penghapusan monopoli Partai, jawab Gorby, Partai masih diperlukan. Hanya Partai Komunis, katanya, yang bisa mempertahankan kesatuan Uni Soviet. Tapi, di awal tahun 1990, dalam sidang parlemen, ia mengumumkan pencabutan satu pasal dalam konstitusi yang memberi hak monopoli kepada Partai Komunis Uni Soviet. Meski pada prakteknya aparat partai masih saja jadi faktor penentu di hampir semua bidang, termasuk di tubuh militer dan KGB, inilah cara Gorby untuk tak mengundang permusuhan. Lalu, Juni tahun ini. Dengan dukungan dari Kepala KGB, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri, Perdana Menteri Pavlov meminta kepada parlemen agar memberinya kekuasaan mengeluarkan dekrit seperti kekuasaan yang dimiliki presiden. Parlemen menolak. Anehnya, sampai munculnya kudeta, tak ada teguran sama sekali dari Presiden Gorbachev terhadap Pavlov dan pendukungnya itu. Padahal, kata Sergei Tarasenko, "Tak ada presiden yang bisa mentoleransi salah seorang menterinya yang datang ke parlemen, lalu mengkritik kebijaksanaan presiden dan minta kekuasaan yang setara dengan presiden." Maka, kolomnis Bill Keller yang menulis di New York Times bertanya dalam tulisan pekan lalu. Adakah hubungan misterius antara Gorbachev dan kelompok garis keras? Seberapa jauh pengaruh kelompok ini pada dirinya? Kenapa sejauh ini pertentangan antara Gorbachev dan garis keras seperti disembunyikan, tak seperti perbedaan pendapatnya dengan pihak reformis yang biasanya selalu muncul di media massa? Seberapa jauh Gorbachev yakin bahwa konsensi yang ia berikan kepada garis keras menjamin loyalitas kelompok itu? Dan awal tahun, polisi Baret Hitam, yang dikirim ke Lithuania untuk membebaskan stasiun televisi yang dikuasai massa, membawa korban 14 orang sipil. Siapa yang harus bertanggung jawab? Di Soviet, orang bilang: Gorbachev. Dan sebenarnya, pelan-pelan, ia ditinggalkan oleh teman-temannya dari kubur reformis. Menteri Luar Negeri Shevardnadze mundur dari kabinet Desember tahun lalu, setelah sebelumnya ia mengundurkan diri dari Partai. Tahun lalu, Stanislav Shatalin, ekonom reformis yang menyusun konsep "Pembaruan 500 Hari", meninggalkannya juga setelah konsepnya ternyata dikombinasikan dengan konsep karya Ryzhkov yang masih mengacu pada sistem lama. Dan rakyat? Sudah sejak beberapa tahun lalu, para pengamat mengatakan bahwa popularitas Gorby di dalam negeri kalah jauh dengan popularitasnya di luar negeri. Sampai-sampai ada yang bilang, berita tentang Uni Soviet di luar negara itu sebenarnya hanya karena ada omongan Gorbachev. Bisa jadi di Uni Soviet-nya itu sendiri tak ada apa-apa. Dan menurut poll beberapa bulan lalu, yang dikutip Reuters, popularitas Gorby tinggal 10%. Pun, pekan lalu, ketika massa memenuhi Gedung Parlemen Rusia dan berbaris di jalan-jalan di Moskow, mereka bukannya menuntut agar kekuasaan dikembalikan kepada Gorbachev. Tapi, seperti kata Boris Yeltsin, mereka berjuang menyelamatkan demokrasi. Sejauh ini, tak terdengar seorang pun yang membela Gorbachev. "Semua ini berjalan sesuai dengan keinginan Yeltsin. Ini kesempatan bagi dia," kata Yuri Bolkhin seorang pejabat yang memihak garis keras. Boris Yeltsin, Presiden Rusia itu, boleh dikata, kini memang sudah menguasai segala hal, yang pekan lalu masih jadi milik pemerintah pusat. Dan ia bergerak terus. Tampaknya, apa yang dikatakannya kepada massa di Gedung Parlemen, sewaktu kudeta belum jatuh, akan ia laksanakan dalam waktu dekat. Yakni, terbentuknya tentara Republik Federasi Rusia. "Betapa berbahayanya sebuah negara tanpa tentara," kata Yeltsin, waktu itu, kepada orang-orang yang mengelu-elukannya. "Terbukti dengan adanya kudeta ini." Maka, bila ia masih mentoleransi Mikhail Gorbachev, yang menyampaikan pidato di depan sidang darurat Soviet Tertinggi Senin pekan ini, mungkin itu hanya soal waktu. Bukankah Jumat malam, di depan Parlemen Rusia, sudah ada kesepakatan antara kedua tokoh itu bahwa bila Gorbachev tak mampu menjalankan pemerintahan, maka kekuasaan akan jatuh pada Yeltsin? Seandainya, di dalam sidang darurat itu, Gorbachev masih sebagai Presiden Uni Soviet, itu adalah Uni Soviet yang baru. Uni Soviet yang sudah kehilangan tiga negara Baltik (Lithuania, Estonia, dan Latvia), dan Republik Ukraina. Empat republik itu sudah menyatakan merdeka dan berdaulat penuh. Bahkan tiga negara Baltik sudah diakui oleh beberapa negara Eropa Barat, setidaknya Jerman. Juga sebuah Uni Soviet yang ikatan republik-republik di dalamnya sangat longgar. Bahkan, ada kemungkinan Republik Federasi Rusia akan mendominasi republik lain yang masih mau terikat. Dan seandainya sidang darurat itu digunakan oleh Mikhail Gorbachev untuk menyatakan mengundurkan diri dari segala jabatannya, orang mungkin tak terkejut lagi. Masalahnya memang bukan lagi apakah Mikhail Gorbachev akan tersingkir atau tidak. Tapi, kapan Gorbachev turun dari panggung kekuasan Soviet. A. Dahana & BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus