Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPANGAN terbuka berlantai batu di depan kantor Wali Kota Molenbeek di Brussel, Belgia, Kamis pagi pekan lalu, terlihat sepi. Tidak ada penjual kelontong yang datang berbondong-bondong, seraya membuka tenda dan menjual dagangan. Hari itu pasar tradisional yang biasanya sudah ramai sejak pukul 07.00 tersebut batal digelar.
"Tidak ada pasar tradisional di semua penjuru Brussel hingga pemerintah menurunkan keadaan gawat level IV," kata seorang polisi yang berpatroli di sekitar lapangan kepada Tempo.
Kamis adalah hari pasar tradisional yang bertempat di depan kantor wali kota. Seperti biasa, ibu-ibu terlihat hilir-mudik sambil menggamit kereta belanja yang masih kosong. Namun hari itu mereka terpaksa pulang dengan tangan hampa karena pasar tutup.
Brussel dikenai status siaga ancaman terorisme tingkat maksimal menyusul perburuan polisi Prancis dan Belgia terhadap pelaku serangan Paris, Salah Abdeslam, yang diyakini bersembunyi di Molenbeek. Sejak Sabtu dua pekan lalu hingga Senin, 30 November, seluruh penjuru Brussel dijaga dan diawasi ketat oleh polisi dan tentara.
Pemberlakuan status siaga ini tidak hanya berdampak pada penutupan pasar-pasar tradisional. Moda transportasi juga menjadi terbatas. "Metro (kereta cepat bawah tanah) beroperasi hanya sampai pukul 10 malam. Padahal biasanya hingga tengah malam," keluh seorang ibu yang tercengang melihat lapangan kosong tak ada penjual.
Bukan hanya ibu-ibu yang kecele. Sekelompok wartawan dari sebuah stasiun televisi asal Swedia yang datang dengan bus liputan terpaksa mengemas kembali perlengkapan mereka. Padahal mereka sudah menyiapkan peralatan syuting. "Kami pikir ada pasar hari ini. Rencananya kami ingin mengambil gambar pasar dengan sebagian besar penghuni Molenbeek berbondong-bondong datang berbelanja," kata seorang juru kamera.
Sekelompok wartawan lain mewawancarai warga lokal. Ada pula juru warta yang nekat memencet bel gedung apartemen bernomor 30 di sisi lapangan. Gedung apartemen empat lantai tersebut adalah tempat tinggal Brahim dan Salah Abdeslam, dua bersaudara yang terlibat dalam aksi teror di Paris. Menurut warga setempat, beberapa wartawan yang berusaha bertamu ke apartemen itu hanya menjumpai pintu yang tertutup rapat.
Pagi itu hujan baru saja reda; waktu menunjukkan pukul 09.00. Anak-anak sudah diantar ke sekolah. Orang-orang yang berhenti di stasiun metro Comte de Flandre tak tampak bergegas. Comte de Flandre adalah stasiun bawah tanah yang persis berada di bawah jantung Distrik Molenbeek, kawasan Kota Brussel yang belakangan ini jadi sorotan media internasional.
Begitu keluar dari stasiun metro tersebut, tampaklah Molenbeek yang tenang, jauh dari gambaran "pusat jihadis Eropa". Predikat itu kembali disematkan terhadap kawasan berpenduduk 94.854 orang ini, menyusul teror Paris pada 13 November lalu. Setidaknya tiga pelaku serangan yang menewaskan sedikitnya 132 orang itu berasal dari Molenbeek.
Tepat di seberang jalan keluar stasiun, berdiri kantor komisaris polisi, lengkap dengan mobil patroli yang diparkir berjejer rapi. Di samping kanan stasiun terdapat Sekolah Menengah Atas Athénée Royal Serge Creuz, tempat belajar hampir semua anak remaja Molenbeek. Di sebelah kiri stasiun, berdampingan dengan kantor komisaris polisi, berdiri anggun kantor Wali Kota Françoise Schepmans, politikus perempuan dari partai liberal MR yang tinggal dan besar di Molenbeek.
Dari kejauhan, terlihat pusat Kota Brussel yang berada persis di seberang kanal, pemisah geografis sekaligus simbolis dengan Distrik Molenbeek. Deretan kincir angin mini warna-warni terpasang di sepanjang tepian kanal.
Molenbeek kembali menyedot perhatian dunia setelah perburuan pelaku serangan Paris mengarah ke kawasan tersebut. Bagi Salah, 26 tahun, satu-satunya pelaku serangan yang masih hidup, Molenbeek bukanlah tempat asing. Pria keturunan Maroko berpaspor Prancis ini lahir dan tumbuh di Molenbeek. Kawasan di sisi barat Brussel ini juga menjadi kampung halaman Abdelhamid Abaaoud, 29 tahun, otak serangan Paris, yang tewas dalam penggerebekan di Saint-Denis, pinggiran Paris, Rabu dua pekan lalu.
Schepmans, wali kota yang kerap tampil di media cetak dan televisi seusai tragedi Paris, mengaku sangat terpukul dengan keterlibatan Brahim dan Salah, yang merupakan saudara dari salah satu pegawai kantornya, Mohamed Abdeslam. "Bisa Anda bayangkan, mereka tinggal di seberang situ, lalu tiba-tiba ada kabar bahwa tetangga saya itu yang menembaki ratusan orang di Paris," ujar perempuan 55 tahun ini.
Bukan kali ini saja Molenbeek dikaitkan dengan ulah para ekstremis Islam. Sebelumnya, distrik yang banyak dihuni warga pendatang dari Maroko ini pernah disebut dalam kasus pembunuhan pemimpin anti-Taliban, Ahmad Shah Massoud, di Afganistan pada 2001; pengeboman kereta di Madrid pada 2004; hingga penyerbuan kantor Charlie Hebdo pada awal tahun ini. Semua pelakunya pernah bersinggungan dengan Molenbeek.
Apalagi Belgia tercatat sebagai salah satu negara "pengekspor" ekstremis ke Suriah. Sebanyak 500 warga Belgia pergi berperang membela kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Sekitar 130 orang telah kembali, 77 orang tewas di medan perang, dan sisanya masih berada di Suriah.
Menurut Pusat Studi Radikalisasi di London, seperti dikutip Der Spiegel, sekitar 4.000 warga Eropa telah bergabung dengan ISIS dan berjihad di Suriah serta Irak. Dari jumlah itu, setidaknya 1.200 orang dari Prancis, 500 orang warga Inggris, 600 orang Jerman, serta Belgia. Dengan 11 juta penduduk, Belgia menjadi "pengekspor" milisi terbanyak di Eropa.
"Semua hampir selalu berkaitan dengan Molenbeek. Ini menjadi masalah besar," kata Perdana Menteri Belgia Charles Michel dalam wawancara dengan stasiun televisi Belgia, dua hari seusai serangan Paris.
Kali ini Molenbeek terseret dalam peristiwa teror Paris. Benang merahnya adalah pelaku mengendarai mobil sewaan dari Brussel. Polisi Prancis tidak hanya menemukan senapan Kalashnikov di dalam mobil yang ditinggalkan di Montreuil di pinggiran Paris tersebut. "Mereka juga menemukan tiket parkir Molenbeek," demikian dilaporkan Time.
Maka tak aneh bila Schepmans sangat terpukul dan belakangan enggan berkomentar di media massa. "Sikap Madame Schepmans bisa dimengerti. Molenbeek disebut sebagai pusat kegiatan jihadis. Stigma yang dimunculkan oleh media terhadap Molenbeek sungguh keterlaluan," kata Dominique Vossen, kolega Schepmans, saat berbincang dengan Tempo.
Vossen mengisahkan pengalamannya selama lebih dari 40 tahun bekerja di Molenbeek. Tempo menemuinya menjelang pukul 9 malam di sebuah klinik kecil di lantai dasar bangunan flat murah di salah satu sudut Molenbeek. Ia terlihat masih bekerja dengan beberapa koleganya pada malam itu.
Pria 62 tahun ini mulai bekerja pada 1974 di klinik medis Molenbeek saat wilayah itu sedang dalam tahap pembangunan jalur metro bawah tanah yang menghubungkan pusat Brussel dengan daerah-daerah di seberang kanal. Vossen mengawali karier sebagai dokter umum hingga kini menjadi dokter ahli jiwa atau psikiater.
Vossen masih menyimpan ingatan tentang gelombang imigrasi dari Maroko yang dimulai pada 1960-an dan berlanjut hingga satu dasawarsa kemudian. Saat itu warga muslim Maroko banyak "diimpor" untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja guna memperlebar wilayah Brussel hingga ke seberang kanal.
Butuh tenaga kerja yang tidak sedikit untuk membangun jalur metro bawah tanah dengan menggali terowongan di bawah kanal. Wali kota saat itu, kata Vossen, ingin merombak habis-habisan area Molenbeek lama. "Waktu itu hampir semua area Molenbeek, dari depan kanal hingga beberapa meter ke belakang, diratakan dengan tanah," ucapnya.
Menurut Vossen, Partai Sosialis lama yang waktu itu berkuasa kemudian membangun beberapa flat murah untuk para imigran yang bekerja membangun kanal. Flat-flat itu hanya memiliki satu-dua ruangan. "Flat ini ditujukan untuk bujangan, tidak untuk keluarga dengan anak," ujarnya.
Tapi, begitu para pekerja ini menetap, mereka menikah dan memboyong keluarga mereka yang jumlahnya tak sedikit. Flat-flat kecil itu pun berjejalan oleh pendatang. Pemerintah, yang mengakhiri periode imigrasi pada 1974, melakukan regularisasi besar-besaran terhadap semua pendatang. "Mereka kebanyakan dari Maroko dan Turki, baik legal maupun tidak," tutur Vossen.
Pendataan ulang oleh pemerintah itu rupanya tak menghentikan arus pendatang dari Maroko. Maka sejak itu jadilah Molenbeek sebagai kantong populasi warga asal Maroko. Jumlah mereka mencapai lebih dari seperempat dari total penduduk distrik. Populasi Molenbeek semakin ramai oleh pendatang asal Rumania, Prancis, Spanyol, Italia, Polandia, Kongo, dan Turki.
"Sekarang Molenbeek disebut sarang jihadis karena punya masalah integrasi. Itu sangat tidak bisa diterima," kata Vossen dengan nada kesal. Menurut dia, semua warga pendatang di Molenbeek telah hidup membaur sejak 1970-an. "Namun sayangnya tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah."
Ali Aouattah mengaku kesal terhadap cap "pusat jihadis" yang dilekatkan kepada Molenbeek. "Ketika saya mulai bekerja di sini, pada umumnya yang datang adalah generasi kedua, generasi transisi yang bisa dimaklumi mengalami krisis identitas," kata Aouattah kepada Tempo. Psikolog asal Maroko ini telah bekerja 19 tahun di Molenbeek.
Generasi transisi itu, kata Aouattah, umumnya berasal dari keluarga Arab. Di rumah, mereka dibesarkan dalam tradisi asal orang tua mereka. Namun di luar rumah mereka mendapatkan pendidikan Eropa. "Itu saja sudah menjadi potensi masalah. Belum lagi masalah eksternal dalam kehidupan sosial," ujarnya. "Tapi itu tidak lantas menjadikan mereka teroris."
Aouattah mengatakan pendatang Maroko tiba di Molenbeek saat krisis melanda Belgia. "Banyak dari mereka yang tersudut di sini," katanya. Kondisi ekonomi yang ketat rupanya berlanjut hingga sekarang. Molenbeek tercatat sebagai distrik kedua paling miskin di Brussel. Tingkat penganggurannya paling tinggi, hampir mencapai 45 persen. Bahkan tahun lalu Molenbeek dinyatakan nyaris bangkrut.
Latar belakang kemiskinan itulah yang turut berperan mendorong sebagian warga Molenbeek berjihad ke Suriah. "Umumnya mereka ini anak muda yang masih tertarik dengan mobil mewah, gadget terbaru, dan uang banyak," kata Aouattah sambil mengingatkan bahwa ISIS menjanjikan materi bagi mereka yang ingin bergabung.
Apalagi ISIS banyak menyebar video propaganda melalui dunia maya untuk mengajak para pemuda. "Anak-anak muda yang labil bisa berubah menjadi radikal hanya di dalam kamar, di depan komputer, dan bukan di masjid," kata Aouattah.
Di Molenbeek terdapat 22 masjid. Lima masjid di antaranya resmi diakui pemerintah kota. Selebihnya adalah masjid bentukan komunitas setempat, seperti Pakistan, India, Arab Saudi, dan Turki, yang menyebarkan pesan menurut kepentingan komunitas masing-masing.
Aouttah bercerita bahwa perekrut ISIS di Belgia adalah anggota kelompok Syariah4Belgium, yang bermarkas di Antwerp. Namun kelompok radikal ini telah dibubarkan oleh pemerintah Belgia. Pemimpinnya, Fouad Belkacem, dihukum 12 tahun penjara pada Februari lalu. Sebelumnya, Belkacem dituntut di Maroko karena keterlibatannya dalam kasus perdagangan obat terlarang.
Mahardika Satria Hadi, Asmayani Kusrini (Brussel) (Der Spiegel, Time, The Guardian, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo