Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Di Gaza, Prosedur Rumah Sakit tanpa anestesi, Pasien Hanya Bisa Menjerit dan Berdoa

Selama 12 hari pertama perang, tidak ada bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza, rumah sakit-rumah sakit mulai kehabisan obat-obatan, termasuk anestesi.

11 November 2023 | 07.00 WIB

Gadis Palestina Orheen Al-Dayah, yang terluka di dahinya akibat serangan Israel lukanya dijahit tanpa anestesi, di rumah sakit Al Shifa di Kota Gaza, 8 November 2023. REUTERS/Doaa Rouqa
Perbesar
Gadis Palestina Orheen Al-Dayah, yang terluka di dahinya akibat serangan Israel lukanya dijahit tanpa anestesi, di rumah sakit Al Shifa di Kota Gaza, 8 November 2023. REUTERS/Doaa Rouqa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Seorang gadis kecil menangis kesakitan dan berteriak "Ibu, ibu" sementara perawat menjahit luka di kepalanya tanpa menggunakan obat bius apa pun, karena saat itu tidak ada obat bius yang tersedia di Rumah Sakit Al Shifa di Kota Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Itu adalah salah satu momen terburuk yang dapat diingat oleh perawat Abu Emad Hassanein ketika dia menggambarkan perjuangannya menghadapi gelombang besar orang-orang terluka yang belum pernah terjadi sebelumnya dan kelangkaan obat pereda nyeri sejak perang di Gaza dimulai sebulan yang lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kadang-kadang kami memberi beberapa di antaranya kain kasa steril (untuk digigit) untuk mengurangi rasa sakitnya,” kata Hassanein.

“Kami tahu bahwa rasa sakit yang mereka rasakan lebih dari yang dibayangkan orang, melebihi apa yang dialami orang seusia mereka,” katanya, mengacu pada anak-anak seperti gadis yang mengalami luka di kepala.

Sesampainya di Al Shifa untuk mengganti balutan dan mengoleskan desinfektan pada luka di punggungnya akibat serangan udara, Nemer Abu Thair, seorang pria paruh baya, mengatakan bahwa ia tidak diberikan obat pereda nyeri saat luka tersebut pertama kali dijahit.

“Saya terus mengaji sampai mereka selesai,” ujarnya.

Perang dimulai pada 7 Oktober ketika sayap bersenjata Hamas menerobos pagar perbatasan Jalur Gaza dengan Israel selatan. Israel mengatakan Hamas membunuh 1.400 orang dan menculik 240 orang, ini merupakan hari pembantaian terburuk dalam sejarah Israel.

Militer Israel membalasnya dengan serangan udara, laut, dan darat terhadap wilayah padat penduduk yang dikuasai Hamas, yang menurut para pejabat kesehatan di Gaza telah menewaskan lebih dari 10.800 warga Palestina.

Mohammad Abu Selmeyah, direktur Rumah Sakit Al Shifa, mengatakan ketika sejumlah besar orang yang terluka dibawa ke rumah sakit pada saat yang bersamaan, tidak ada pilihan selain merawat mereka di lantai, tanpa obat pereda nyeri yang memadai.

Dia mencontohkan kejadian sesaat setelah ledakan di Rumah Sakit Al Ahli Arab pada 17 Oktober, ketika dia mengatakan sekitar 250 orang yang terluka tiba di Al Shifa, yang hanya memiliki 12 ruang operasi.

“Jika kami menunggu untuk mengoperasi mereka satu per satu, kami akan kehilangan banyak korban luka,” kata Abu Selmeyah.

“Kami terpaksa melakukan operasi di lapangan dan tanpa anestesi, atau menggunakan anestesi sederhana atau obat penghilang rasa sakit yang lemah untuk menyelamatkan nyawa,” katanya.

Prosedur yang dilakukan staf Al Shifa dalam keadaan seperti itu antara lain mengamputasi anggota badan dan jari, menjahit luka serius, dan mengobati luka bakar serius, kata Abu Selmeyah tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Rasa Sakit atau Mati

“Ini menyakitkan bagi tim medis. Ini tidak sederhana. Entah pasien menderita sakit atau kehilangan nyawanya,” ujarnya.

Israel mengatakan ledakan di Rumah Sakit Al Ahli Arab disebabkan oleh kegagalan peluncuran roket yang dilakukan kelompok militan Jihad Islam Palestina. Jihad Islam Palestina dan Hamas menyalahkan serangan udara Israel.

Sekutu Israel, Amerika Serikat, mengatakan penilaian intelijennya mendukung penjelasan Israel.

Di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, di selatan Jalur Gaza, direktur Dr Mohammad Zaqout mengatakan ada periode awal perang ketika pasokan anestesi habis, sampai truk bantuan diizinkan masuk.

“Beberapa prosedur dilakukan tanpa anestesi, termasuk operasi caesar pada wanita, dan kami juga terpaksa mengoperasi beberapa luka bakar dengan cara yang sama,” kata Zaqout.

Dia mengatakan bahwa staf telah melakukan yang terbaik untuk meringankan rasa sakit pasien dengan obat lain yang lebih lemah, namun hal ini tidak cukup.

“Ini bukan solusi ideal bagi pasien di ruang operasi, yang ingin kami operasikan dengan anestesi penuh,” katanya.

Selama 12 hari pertama perang, tidak ada bantuan yang diizinkan masuk ke Gaza. Pada tanggal 21 Oktober, konvoi pertama truk bantuan datang melalui Penyeberangan Rafah di perbatasan dengan Mesir. Sejak itu, beberapa konvoi telah masuk, namun PBB dan kelompok bantuan internasional mengatakan bantuan yang diberikan masih jauh dari jumlah yang dibutuhkan untuk memitigasi bencana kemanusiaan.

Zaqout menambahkan bahwa meskipun kekurangan anestesi telah teratasi di rumah sakitnya berkat pengiriman bantuan, masih terdapat kekurangan yang parah di Al Shifa dan Rumah Sakit Indonesia, keduanya berada di wilayah utara yang dibombardir dengan hebat.

REUTERS

Ida Rosdalina

Ida Rosdalina

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus