Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MUSA Kart sedang di dalam penjara ketika kabar itu tiba pada Rabu pekan lalu. "Juri telah memilih Musa Kart, kartunis ikonik surat kabar Cumhuriyet, karena bakat dan keberaniannya dalam membela kebebasan berekspresi," demikian pernyataan Cartooning for Peace mengenai terpilihnya kartunis 64 tahun itu sebagai penerima Hadiah Kartun Editorial tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cartooning for Peace adalah jaringan kartunis yang ditaja Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Komisi pemberi hadiah ini terdiri atas wakil pemerintah daerah Jenewa, Direktur Eksekutif Human Rights Watch Kenneth Roth, serta sejumlah kartunis dari berbagai media besar, seperti Le Monde, New York Times, dan The New Yorker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karikatur Musa Kart sering mengkritik pemerintahan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Empat tahun lalu, dia diadili dengan tuduhan mencemarkan nama Erdogan, yang saat itu menjabat perdana menteri, lewat kartunnya. Tapi pengadilan memutus bahwa Kart tak bersalah dan membebaskannya.
Kini Kart kembali diseret ke meja hijau dengan tuduhan terlibat terorisme. Akhir April lalu, pengadilan memvonis dia tiga tahun dan sembilan bulan penjara. Saat itu, Kart diadili bersama 13 jurnalis dan anggota staf Cumhuriyet, termasuk ketua dewan eksekutif Akin Atalay dan mantan pemimpin redaksi Murat Sabuncu.
Jaksa penuntut mendakwa mereka telah membantu pengikut Fethullah Gulen, ulama dan tokoh oposisi yang kini eksil ke Amerika Serikat. Pemerintah menuduh Gulen menjadi otak kudeta militer yang gagal pada Juli 2016 dan pengadilan telah mengeluarkan perintah penahanan untuknya. Organisasi Gulen juga dinyatakan sebagai organisasi teroris terlarang dan pejabat Turki menyebutnya sebagai Organisasi Teror Gulenis (FETO). Wartawan Cumhuriyet juga didakwa telah membantu Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang masuk daftar organisasi teroris di negeri itu.
Pengadilan akhirnya menjatuhkan hukuman kepada mereka semua antara tiga dan tujuh tahun penjara. Hukuman tertinggi ditimpakan kepada Akin Atalay, yang mendapat hukuman tujuh tahun tiga bulan penjara. Pengadilan juga melarang mereka bepergian ke luar negeri hingga proses pengadilan banding selesai. "Tugas utama surat kabar bukanlah menghasilkan uang, melainkan menyajikan berita, kebenaran, kritik, dan pandangan ke masyarakat," kata Atalay di persidangan.
Berbagai organisasi pers dan pendukung hak asasi dunia mengecam pengadilan itu, termasuk Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi pendukung kebebasan pers yang berbasis di New York, Amerika Serikat. "Kami mengutuk hukuman yang dijatuhkan kepada wartawan Cumhuriyet oleh sistem peradilan yang mempermalukan dirinya sendiri sehingga seharusnya justru yang diadili," ujar Koordinator Program Eropa dan Asia Tengah CPJ Nina Ognianova. "Mencampuradukkan jurnalisme dan terorisme adalah cara terang-terangan pemerintah Turki untuk membredel pers. Kami menyerukan agar semua putusan ini dibatalkan saat banding."
Cumhuriyet, yang artinya "Republik", adalah koran tertua Turki yang bermarkas di Istanbul. Koran yang berdiri pada 7 Mei 1924-setahun setelah Turki merdeka-ini dikenal sebagai media yang independen, sekuler, dan pendukung demokrasi.
Dalam dua dekade terakhir, harian itu mendapat tekanan dari berbagai pihak. Wartawan media itu juga mendapat serangan fisik dan kantornya dilempari dengan bom molotov pada 2008. Pada Januari 2015, koran itu menerbitkan kartun-kartun dari Charlie Hebdo, majalah satire Prancis yang dituduh menghina Nabi Muhammad. Akibatnya, karyawan Cumhuriyet mendapat ancaman pembunuhan hingga terpaksa dilindungi polisi. Sejumlah wartawan, kolumnis, dan petingginya dipenjara di masa pemerintahan Recep Tayyip Erdogan.
Oguz Guven, pemimpin redaksi Cumhuriyet online, ditahan sebulan pada 2017 karena artikelnya. Dia menulis tentang kematian mendadak Mustafa Alper, Kepala Kejaksaan Provinsi Denizli, dalam sebuah tabrakan. Alper adalah penegak hukum pertama yang membawa kasus kelompok Fethullah Gulen ke meja hijau.
Kasus yang membuat Cumhuriyet benar-benar terkenal adalah skandal truk Organisasi Intelijen Nasional Turki (MIT). Pada 29 Mei 2015, koran itu menerbitkan potongan rekaman video yang menggambarkan bagaimana truk-truk MIT mengangkut senjata untuk para pemberontak Suriah pada 2014.
Sebenarnya kasus ini sudah muncul pada Januari 2014 ketika seseorang tak dikenal menelepon Jaksa Agung Kota Adana dan menyatakan bahwa sejumlah truk pembawa senjata sedang dalam perjalanan ke Suriah. Polisi militer kemudian melakukan penyelidikan, tapi disetop oleh Gubernur Adana, Huseyin Avni Cos, yang mengklaim bahwa truk itu milik MIT. Jaksa yang memberi izin penyelidikan dan anggota polisi militer yang menyelidikinya kemudian digeser dari posisinya dan diselidiki.
Pemerintah mula-mula mengklaim truk itu "rahasia nasional", tapi kemudian mengatakan isinya makanan dan kebutuhan medis untuk penduduk Turki di Suriah, yang sedang didera perang saudara. Namun video yang dirilis Cumhuriyet belakangan membantah semua klaim itu. Sejumlah unsur masyarakat menuntut pemerintah mundur. Huseyin Aygun, legislator dari Partai Rakyat Republiken (CHP), bahkan mengajukan gugatan hukum resmi dengan menuduh Erdogan melakukan pengkhianatan besar karena memasok senjata ke musuh negara Turki.
Erdogan pun murka. "Saya kira orang yang menulis ini sebagai laporan eksklusif akan membayarnya dengan harga yang mahal," ujarnya. Pada 2015, Cumhuriyet mendapat Hadiah Kebebasan Pers dari Reporters Without Borders karena bertahan menghadapi tekanan pemerintah. Tapi, tak lama kemudian, Can Dundar, Pemimpin Redaksi Cumhuriyet, dan Erdem Gul, Kepala Biro Cumhuriyet di Ankara, ditahan. Mereka didakwa sebagai anggota organisasi teror, memata-matai, dan membocorkan dokumen rahasia negara dengan ancaman hukuman penjara seumur hidup. Pada Mei 2016, pengadilan menjatuhkan vonis lima tahun penjara untuk mereka karena membocorkan rahasia negara.
Kini pemerintah menyeret lagi para jurnalis koran itu ke penjara. "Targetnya jelas: mengambil alih Cumhuriyet, menyerahkannya ke tangan yang jinak dan memberi ultimatum ke surat kabar dan jurnalis lain," kata Akin Atalay.
Hal ini menambah panjang daftar jurnalis yang dibui Erdogan. Menurut Platform for Independent Journalism (P24), organisasi kemerdekaan pers di Turki, saat ini ada 153 jurnalis yang berada di penjara.
Sejak kudeta gagal pada 2016, Erdogan mengambil tindakan keras terhadap oposisi dan pihak yang dianggapnya sebagai ancaman. Jurnalis, profesor, politikus, dan aktivis hak asasi termasuk dalam sekitar 50 ribu orang yang ditangkap pemerintah Turki dengan tuduhan terorisme. Pemerintah saat itu juga menutup setidaknya 13 stasiun televisi dan radio serta memecat sekitar seribu jurnalis.
Penangkapan para wartawan Cumhuriyet ini terjadi tak lama setelah Erdogan mengumumkan percepatan pemilihan umum, yang seharusnya berlangsung pada November 2019. "Kami memutuskan bahwa pemilihan umum akan digelar pada 24 Juni 2018," katanya di istana negara.
Iwan Kurniawan | Al Jazeera, Cnn, Cumhuriyet, Todays Zaman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo