Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bagaimana Perdana Menteri Narendra Modi Menggunakan Narasi Anti-Islam Agar Kembali Berkuasa

Perdana Menteri India Narendra Modi menggalang dukungan kaum nasionalis Hindu dan narasi ancaman Islam.

12 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANDIDAT perdana menteri inkumben dari Partai Bharatiya Janata (BJP), Narendra Modi, kembali menggunakan narasi anti-Islam dalam kampanye pemilihan umum Lok Sabha, majelis rendah parlemen India. “(Aliansi oposisi) meminta umat Islam melakukan ‘pilih jihad’. Itu hal baru karena sejauh ini kita telah mendengar tentang ‘cinta jihad’ dan ‘tanah jihad’,” kata Modi di hadapan kerumunan warga berjubah kuning cempaka, warna utama penganut Hindu di India, di Anand, Negara Bagian Gujarat, Jumat, 3 Mei 2024. “Saya harap kalian semua tahu apa arti jihad dan terhadap siapa jihad itu dilakukan,” ujarnya seperti dikutip The Times of India.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komentar Modi merujuk pada pernyataan Maria Alam, calon anggota Lok Sabha dari partai oposisi Partai Samajwadi, saat berpidato di Uttar Pradesh. Alam kemudian mengklarifikasi bahwa, dengan menggunakan istilah “jihad”, dia bermaksud mendorong para pemilih muslim berpartisipasi dalam pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ajay Gudavarthy, guru besar madya di Pusat Studi Politik Jawaharlal Nehru University, New Delhi, mengatakan Modi memang menggunakan narasi ancaman Islam untuk menggaet dukungan kaum nasionalis Hindu, basis pendukung terbesarnya. “Masyarakat berterima kasih kepada Modi karena mereka merasakan ancaman dari dunia Islam. Ada Taliban di Afganistan, Al-Qaidah di Pakistan, dan Islam sebagai agama dengan pertumbuhan tercepat di dunia dan India,” ucapnya kepada Tempo, Ahad, 5 Mei 2024.

Ada sekitar 15 persen muslim di antara 1,4 miliar lebih penduduk India. “Umat Hindu jadi ketakutan. "Oh, muslim datang, mereka akan mengambil alih kekuasaan di India. India akan menjadi negara Islam.' Umat Hindu pada umumnya merasa takut pada narasi ini,” ujar Gudavarthy.

Modi adalah contoh nyata pemimpin India populer masa kini yang menggunakan populisme. Menurut Benjamin Moffitt dalam The Global Rise of Populism (2016), populisme adalah gaya politik yang berusaha menarik perhatian “rakyat” yang dilawankan dengan “elite” atau kadang juga “liyan”, kelompok tertentu lain seperti pencari suaka atau kelompok minoritas tertentu.

Dalam konteks Modi, Gudavarthy menjelaskan, populisme itu berupa imajinasi politik tentang “kesatuan masyarakat Hindu” yang dilawankan dengan kelompok minoritas, khususnya elite. Dulu hal ini tak terbayangkan, mengingat India adalah negeri dengan keberagaman suku, agama, dan bahasa. Modi berhasil menghidupkan kembali gagasan tentang “identitas nasional Hindu bersama”, terlepas dari keberagaman masyarakat India. “Kini semuanya jadi satu di bawah Modi. Hanya Modi. Hanya satu suara, satu pemimpin, satu pasar, satu agama, satu bahasa.”

•••

NARENDRA Modi lahir pada 17 September 1950 di Vadnagar, kota kecil di Gujarat, yang kini menjadi negara bagian India paling barat yang berbatasan dengan Pakistan. Ayahnya, Damodardas, membuka kedai teh di peron stasiun Vadnagar dan Modi kecil membantunya.

Keluarga Modi adalah bagian dari kasta Ghanchi, yang secara tradisional membuat minyak sayur. Mereka tergolong kasta madya (OBC), yang dalam konstitusi India digambarkan sebagai kelas yang terbelakang secara sosial dan pendidikan. Namun keluarga Modi adalah kaum pekerja yang tergolong kelas menengah rendah—miskin, tapi masih di atas yang lebih miskin. Agama kaum Ghanchi juga beragam. Selain memeluk Hindu, banyak yang beragama Islam. Modi sebenarnya hidup di tengah lingkungan kaum muslim.

Modi memang sering menyebutkan masa lalunya itu. “Dia mengatakan kepada orang banyak bahwa `Saya tahu apa itu kemiskinan. Saya tahu apa itu penderitaan. Dan saya tahu bagaimana menanggulanginya´,” tutur Gudavarthy.

Modi, Gudavarthy melanjutkan, mengklaim diri sebagai bagian dari kelas rendah dan kasta terbelakang. “Itu sebabnya orang merasa tepat memilih Modi. Modi mengklaim berasal dari keluarga yang sangat miskin sehingga rakyat percaya, masyarakat bawah juga percaya,” ujarnya.

Seperti banyak tokoh lain, kehidupan masa kecil Modi dibalut berbagai anekdot. Andy Marino, dalam Narendra Modi: A Political Biography (2014), mencatat, misalnya, bagaimana Modi dikabarkan sebagai jago debat di sekolah. Ada pula cerita heroik Modi kecil yang berhasil mengganti bendera di sebuah kuil di seberang danau yang penuh buaya.

Pendukung Partai Bharatiya Janata (BJP) mengangkat poster Perdana Menteri India Narendra Modi ketika kampanye di Anand, India, 2 Mei 2024. Reuters/Amit Dave

Pada usia delapan tahun, Modi bergabung dengan Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) atau Organisasi Relawan Nasional, organisasi nasionalis Hindu, karena kantor Rasikbhai Dave, anggota Kongres dari RSS, dekat dengan kios teh ayahnya. Saat itu ada kampanye membentuk Gujarat sebagai negara bagian yang terpisah dari Negara Bagian Bombay. Modi ikut mengambil lencana pro-Gujarat dari Dave dan membagi-bagikannya kepada teman-teman sekolah. Gujarat akhirnya menjadi negara bagian sendiri pada 1960. Bagi anak seusia itu, politik masih tampak jauh, tapi, “Saya merasa berpartisipasi, tapi tak ada pemahaman mendalam soal politik,” kata Modi ketika dewasa.

RSS adalah kelompok garis keras sayap kanan. Mereka menolak bendera dan konstitusi India yang dinilai tidak sesuai dengan Manusmerti, kitab undang-undang Hindu kuno. RSS dilarang pada 1948 setelah Mahatma Gandhi dibunuh anggota organisasi itu. Belakangan, Mahkamah Agung mencabut larangan itu setelah RSS bersedia mengakui bendera dan konstitusi negeri tersebut.

Modi juga berkenalan dengan Lakshman Rao Madhav Rao Inamdar, pendiri RSS cabang Gujarat. Inamdar melantik Modi sebagai bal swayamsevak atau kadet muda. Bersama Swami Vivekananda, guru spiritual idola Modi, Inamdar menjadi mentor politik Modi.

Ketika Perdana Menteri Indira Gandhi mengumumkan keadaan darurat selama 1975-1977 di tengah krisis politik dan ekonomi dalam negeri, Modi diangkat sebagai pemimpin Lok Sangharsh Samiti Gujarat, komisi RSS yang mengkoordinasi kelompok penentang keadaan darurat. Tak lama kemudian pemerintah kembali melarang RSS. Modi pun harus bekerja di bawah tanah. Dia sering naik kereta api dengan menyamar sebagai sikh atau biksu untuk menyebarluaskan buklet perlawanan kepada para politikus dan media asing. Dia juga menyelundupkan tokoh-tokoh politik penentang Gandhi. Saat inilah dia bertemu dengan banyak tokoh, termasuk kelompok sosialis, organisasi Islam, organisasi liberal, dan Partai Komunis.

Sejak itu, jalan politik Modi makin jelas, terutama setelah RSS menempatkannya di Bharatiya Jana Sangh, sayap partai politik RSS yang nantinya menjadi BJP. Modi mulai menaiki anak tangga politik BJP satu per satu, dari anggota Komisi Pemilihan Umum Nasional BJP pada 1990, Sekretaris Nasional BJP, hingga Sekretaris Umum BJP pada 1998.

Ketika kondisi kesehatan Keshubhai Patel, Menteri Besar Gujarat dari BJP, menurun pada 2001, BJP mencari kandidat penggantinya dan nama Modi mencuat. Modi ditunjuk menggantikan Patel pada Oktober 2001 dan masuk parlemen Gujarat setelah menang dalam pemilihan umum antarwaktu di Rajkot, mengalahkan Ashwin Mehta dari partai Kongres Nasional India.

Baru beberapa bulan Modi memimpin Gujarat, kerusuhan berdarah pecah. Pada 27 Februari 2002, kereta Sabarmati Express terbakar di dekat Godhra dan menewaskan 58 orang. Kereta itu membawa peziarah Hindu yang kembali dari Ayodhya seusai upacara keagamaan di lokasi pembongkaran Masjid Babri yang, menurut Vishva Hindu Parishad (VHP), organisasi nasionalis Hindu, dibangun di bekas kuil Dewa Rama.

Penyebab kereta itu terbakar masih menjadi misteri. Laboratorium Ilmu Forensik menyatakan kebakaran berasal dari dalam gerbong. Namun Modi dan VHP buru-buru mengklaim kelompok teroris muslim bertanggung jawab atas insiden tersebut.

Kerusuhan pun pecah. Kekerasan antimuslim menyebar ke seluruh Gujarat. Dalam sepekan, sekitar seribu orang terbunuh, kebanyakan warga muslim. Keluarga muslim dibakar hidup-hidup di rumah mereka. Lebih dari 200 ribu muslim dibakar dan dijarah.

Siddharth Varadarajan, dalam Gujarat: The Making of a Tragedy (2002), menyimpulkan bahwa kekerasan tersebut terjadi secara selektif dan terencana dengan memanfaatkan informasi, perlindungan, dan bantuan langsung dari otoritas publik, seperti polisi. Namun, menurut Andy Marino, sebanyak 254 orang Hindu juga tewas dalam kerusuhan dan 40 ribu warga Hindu mengungsi setelah rumah dan toko mereka diserang kaum muslim.

Modi dinilai bertanggung jawab atas kerusuhan itu, pandangan yang terus melekat pada citranya sampai sekarang. Meskipun demikian, posisi Modi makin kukuh di Gujarat dan dia terpilih tiga kali berturut-turut sebagai menteri besar hingga 2014.

Modi pun melangkah lebih maju dengan menjadi calon perdana menteri dari BJP dalam pemilihan umum Lok Sabha 2014. Beberapa tokoh partainya, seperti Lal Krishna Advani, sebenarnya menentangnya. Tapi Modi nyatanya menuai banyak dukungan publik dan terpilih sebagai Perdana Menteri India, kursi yang dipegangnya hingga sekarang.

Sejak menjadi perdana menteri, Modi mulai menjalankan tiga prakarsa pribadinya yang diklaim untuk masyarakat miskin, yakni Swachh Bharat Abhiyan (SBA), Jan-Dhan Yojana (JDY), dan Pradhan Mantri Ujjwala Yojana (PMUY). Christophe Jaffrelot, dalam Modi´s India: Hindu Nationalism and the Rise of Ethnic Democracy (2021), menggambarkan ironi ketiga program itu.

Dengan SBA, Modi membangun 120 juta toilet bagi masyarakat termiskin hingga 2019 untuk mengatasi masalah sanitasi dan menarik lebih banyak wisatawan. Namun sejumlah survei menunjukkan banyak rumah tak menggunakannya karena sangat tidak layak atau tak punya pasokan air. Yang lebih buruk, toilet itu harus dikosongkan secara berkala padahal undang-undang telah melarang pekerja sanitasi menangani langsung kotoran manusia sejak 1993.

Skema JDY mengalami nasib serupa. Ini program asuransi senilai 100 ribu rupee atau Rp 20 juta untuk setiap orang miskin yang dibagikan dalam bentuk kartu debit. Program ini, seperti SBA, memberikan martabat semu. Kenyataannya, dari total 371,1 juta rekening JDY pada September 2019, saldo 48,8 juta rekening nol dan 66 juta rekening tidak aktif.

Program ini juga tak memecahkan masalah kaum miskin, yakni akses terhadap kredit bank. Bank memang membikinkan akun bagi mereka, tapi tidak meminjamkan uang sehingga warga miskin tetap bergantung pada rentenir.

Adapun PMUY ditujukan untuk 80 juta rumah tangga di bawah garis kemiskinan. Pemerintah membagikan tabung gas alam cair (LPG) bersubsidi agar masyarakat beralih dari kayu bakar ke gas. Namun Badan Pengawas Keuangan India (CAG) melaporkan pada 2019 bahwa sekitar 5,6 juta atau 17,6 persen penerima manfaat selama 2018 tak pernah mengisinya ulang dan 10,5 juta atau 33 persen hanya satu-tiga kali datang untuk mengisi.

Meskipun pemerintah menambah jumlah subsidi dan penerimanya, keadaan tak berubah. Bahkan, menurut The Hindu, pada tahun fiskal 2022-2023, dari 95,8 juta penerima subsidi, lebih dari 11,8 juta tak pernah mengisi ulang dan 15 juta lainnya hanya mengisi ulang sekali dalam setahun.

Puncak retorika populisme Modi adalah kebijakan demonetisasi atau penghapusan uang kertas pecahan 500 dan 1.000 rupee yang merupakan 86 persen dari uang tunai yang beredar pada November 2016. Modi berdalih kebijakan ini bertujuan menghapus korupsi kelompok elite yang diuntungkan pasar gelap.

Modi mengklaim bahwa yang paling menderita dari kebijakan itu adalah para elite. Pada kenyataannya, kebijakan itu merugikan masyarakat miskin, seperti pekerja di sektor informal, yang menyumbang 80 persen perekonomian India, yang upahnya dibayar tunai.

Sebaliknya, banyak kebijakan Modi yang menguntungkan orang kaya. Salah satu kebijakan pertama Modi sebagai perdana menteri adalah menghapus pajak kekayaan, yang telah berlaku hampir enam dekade. Pajak itu diganti dengan pajak pendapatan sebesar 2 persen bagi orang berpendapatan lebih dari 10 juta rupee atau sekitar Rp 2 miliar per tahun. Menurut Jaffrelot, sedikit sekali orang yang membayar pajak ini—hanya 14,6 juta orang atau 2 persen penduduk pada 2019.

Atas nama “rasionalitas ekonomi”, Modi juga menurunkan tarif pajak perusahaan, dari 30 persen menjadi 22 persen, pada 2015. Tarif pajak perusahaan manufaktur juga diturunkan dari 25 persen menjadi 15 persen pada 2019. Selain itu, pemerintah mencabut biaya dari keuntungan investasi asing dan domestik.

Akibatnya, yang kaya bertambah kaya. Dalam laporan Credit Suisse tentang orang superkaya (UHNW), yang kekayaan bersihnya di atas US$ 50 juta atau sekitar Rp 803 miliar, India belum masuk daftar 20 besar pada 2013, sebelum Modi berkuasa. Namun, pada 2015, setelah setahun Modi memimpin, India langsung masuk 11 besar dan melonjak di posisi ke-5 pada 2019 dan ke-4 pada 2023 setelah Amerika Serikat, Cina, dan Jerman.

Menurut Hurun India, lembaga yang rutin menyusun daftar orang terkaya India, angka jutawan dengan penghasilan sekitar Rp 2 miliar melonjak lebih tinggi, sebanyak 62 persen pada 2022—pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Mereka berjumlah 1.103 orang dengan total kekayaan mencapai sekitar Rp 192 triliun atau 0,34 persen produk domestik bruto negeri itu, yang sebesar Rp 54.371 triliun pada 2022.

Orang terkaya dalam daftar Hurun India adalah Gautam Adani dan Mukesh Ambani, keduanya pengusaha asal Gujarat. Ambani menduduki posisi ke-9 orang terkaya di dunia pada 2023 versi Forbes dan Adani di posisi ke-17.

Adani dan keluarganya sekarang sedang diselidiki Mahkamah Agung setelah muncul laporan investigasi Hindenburg Research, firma riset New York, Amerika Serikat, pada 2023 bahwa mereka diduga telah melakukan manipulasi pasar saham, penggelapan pajak, dan pencucian uang menggunakan perusahaan abal-abal di wilayah surga pajak seperti Mauritius dan Kepulauan Karibia.

Adani diduga menjadi kroni Modi dan BJP karena memenangi banyak kontrak proyek energi dan infrastruktur pemerintah di India dan luar negeri. “Semua sumber daya, semua kontrak pemerintah, semua investasi pemerintah, masuk ke dua orang ini dan keduanya harus membayar dengan biaya elektoral Modi,” ucap Ajay Gudavarthy.

“Proyek jalan, infrastruktur, tambang, semua diberikan kepada Adani dengan harga rendah. Jadi semua sumber daya milik negara ini dialihkan kepada Adani sehingga dia menjadi orang terkaya di dunia,” ujar Gudavarthy. Namun, “Modi memproyeksikannya dalam mobilisasi rakyat, seperti `Lihat, ini orang kaya pertama di dunia dari India´.”

Meskipun populisme Modi ini mengutamakan nasionalisme Hindu dan menentang Islam, kebijakan luar negerinya berbeda. “Kalau ke luar, mereka menjadi pragmatis,” kata Muhammad Waffaa Kharisma, peneliti Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies, Selasa, 7 Mei 2024.

Pragmatisme itu tampak, Waffaa menjelaskan, dari bagaimana India, yang punya semangat antikolonialisme, malah menyokong Israel yang tengah menghancurkan Gaza di Palestina. India juga tetap mengimpor minyak dari Rusia ketika komunitas internasional beramai-ramai memboikotnya setelah Rusia menginvasi Ukraina.

Meskipun kebijakan Modi di dalam negeri tidak bersahabat dengan kaum muslim, India justru ramah sekali kepada negara-negara Islam dan berhubungan dagang dengan mereka. “Prioritasnya memang untuk dagang, menarik investasi. Bahkan mereka lumayan aktif, misalnya di Afganistan, yang dikuasai Taliban setelah ditinggalkan Amerika,” ujar Waffaa.

Dampak buruk populisme Modi, menurut Waffaa, memang belum banyak disoroti dunia. Namun, ketika nanti India makin maju dan menjadi negara adidaya, semua hubungan internasionalnya akan jadi sorotan, sama seperti Cina dan Amerika yang disorot komunitas internasional.

“Akan ada masanya ketika India akan lebih dipertanyakan setiap pilihannya, seperti hubungannya dengan negara-negara kontroversial,” tutur Waffaa.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Satu India, Satu Modi". 

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus