Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah India mengunci negara untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Ribuan pekerja informal mudik karena tak punya pekerjaan.
22 orang meninggal saat berjalan kaki pulang ke kampung halaman.
PAPPU Yadav, sopir bajaj di Kota New Delhi, biasanya menghasilkan sekitar Rp 167 ribu per hari. Pria 35 tahun yang tinggal di kamar kecil dengan tiga pekerja migran lain di pinggiran kota itu tiap pekan mengirimkan uang ke keluarganya di Bihar, seribu kilometer arah timur ibu kota India. Tapi ia tak bisa melakukannya lagi setelah Perdana Menteri India Narendra Modi mengumumkan Janata Curfew atau jam malam sukarela mulai pukul 7 pagi sampai 9 malam sejak 19 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jam malam, juga seruan menjaga jarak dan bekerja dari rumah, ditujukan untuk mengurangi penyebaran Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di negara berpenduduk 1,3 miliar itu. Kebijakan tersebut membuat orang lebih banyak berdiam di rumah dan itu bukan kabar baik bagi pekerja di sektor informal seperti Yadav. “Pekan lalu saya mengirim kurang dari biasanya. Pekan ini saya minta mereka pinjam dulu dari tetangga kami,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan Yadav untuk bisa mendapatkan rupee lagi lenyap setelah Modi mengganti jam malam dengan mengkarantina (lockdown) seluruh negeri sejak 24 Maret sampai 21 hari kemudian. Pemerintah beralasan tindakan drastis ini untuk memerangi Covid-19 yang sudah mencapai 536 kasus dengan 10 kasus kematian. “Saya tidak tahu bagaimana melewati ini,” ujar Yadav, seperti dilansir South China Morning Post, 26 Maret lalu.
Corona di Dua Benua
Potret kasus corona di Asia dan Afrika.
Kasus Global*
- Kasus: 1.030.205
- Meninggal: 54.198
- Pulih: 219.895
*) Data per 3 April 2020
India bukan negara pertama yang mengunci negaranya untuk membendung corona. Cina lebih dulu mengawalinya saat wabah itu pertama kali ditemukan di Wuhan sebelum menyebar ke seluruh dunia. Meski awalnya hanya menutup Wuhan, kebijakannya kemudian diperluas ke 15 kota lain. Menutup kota, dengan memaksa semua warga tinggal di rumah, dinilai cukup sukses mengerem laju penyebaran virus di Negeri Panda.
Jumlah kasus Covid-19 di India sebenarnya masih di bawah negara Asia lain saat mereka memutuskan mengunci negaranya. Saat itu ada sejumlah negara lain yang memiliki kasus lebih besar: Iran mencatat 24.811 kasus dengan 1.934 orang meninggal, Turki 1.872 kasus dengan 44 orang meninggal, Korea Selatan 9.037 kasus dengan 120 orang meninggal, Malaysia 1.624 kasus dengan 16 orang meninggal, dan Indonesia sebanyak 686 kasus dengan 55 orang meninggal.
Kasus Covid-19 di Asia
Pemerintah India optimistis semua baik-baik saja karena sudah memiliki jaring pengamannya. Menurut Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman, pemerintah menyediakan paket awal 1,7 triliun rupee atau sekitar Rp 372 triliun, terutama untuk rumah tangga miskin. Selain memberi subsidi gandum atau beras, akan ada transfer tunai langsung sebesar 500-2.000 rupee kepada kelompok yang paling rentan secara ekonomi. Dengan sejumlah skema itu, kata Sitharaman, “Tidak akan ada yang kelaparan.”
Bagi Narendra Modi, lockdown ini penting untuk menghadang penyebaran virus. Tapi, bagi pekerja informal, yang jumlahnya lebih dari 400 juta, kebijakan baru itu soal hidup dan mati. Penguncian membuat pekerjaan di kota menghilang. Para pekerja yang selama ini menghasilkan kurang dari Rp 33 ribu per hari, seperti pekerja bangunan, penjual makanan, dan sopir truk, tiba-tiba tak tahu bagaimana akan membayar sewa rumah kontrakan atau membeli makanan.
Kematian Covid-19 di Asia
Jaya Kumari, juru masak di New Delhi, kehilangan pekerjaannya saat sang majikan memutuskan kembali ke kota asalnya. Suaminya, seorang sopir taksi, juga tak lagi bisa bekerja. “Kami akan menggunakan sedikit tabungan kami untuk melewati ini,” ucapnya. “Apa yang terjadi setelah itu, saya serahkan kepada Tuhan.”
Para pekerja seperti Kumari akan mendapat sekitar Rp 100 ribu per bulan selama tiga bulan ke depan. Tapi suaminya tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan tersebut. Kumari khawatir santunan pemerintah tidak akan cukup untuk memberi makan empat anggota keluarganya jika penguncian terus berlanjut.
Bagi mereka yang masih bisa bekerja, keadaan bukan berarti baik-baik saja. Pedagang buah Mohan Singh dan ayahnya mendorong gerobak berisi buah-buahan dan berhenti di sudut jalan lingkungan yang sibuk. Meskipun pekerjaan mereka diizinkan selama penguncian, pelanggan terlalu takut untuk datang ke gerobak mereka. Sampai menjelang siang, kata Singh, mereka baru melayani satu pelanggan saja.
Pemuda 18 tahun itu mendengar soal paket ekonomi pemerintah. Namun dia khawatir pemerintah akan membantu pengusaha besar dan abai terhadap pelaku bisnis kecil seperti dia. “Mereka perlu membantu orang-orang seperti kami,” ujarnya. “Ada lebih banyak orang yang bekerja di jalanan daripada perusahaan besar di India. Jika kami tutup, tidak ada yang bisa makan.”
Pandangan lebih pasrah disampaikan Ramchandran Ravidas, pengemudi becak sepeda di New Delhi. Pada hari biasa, lelaki 42 tahun itu bisa menghasilkan hingga Rp 98 ribu. Ravidas tinggal di garasi tempat dia menyewa becak sepeda dan kini ia khawatir akan diusir. Dia tidak memiliki pelanggan dan uang sejak lockdown diberlakukan.
Kini untuk pertama kalinya Ravidas menerima makanan dari badan amal. Dia merasa saat ini adalah perlombaan apakah virus atau kelaparan yang merenggutnya lebih dulu. “Saya tidak khawatir akan corona. Jika corona datang untuk menjemput, setidaknya kehidupan sengsara ini akan berakhir,” katanya.
Ribuan orang yang kehilangan pekerjaan dan tak punya tempat tinggal akhirnya menyerbu stasiun kereta api dan terminal bus untuk mudik sehari sebelum penguncian berlaku. Tapi, sejak pemberlakuan jam malam, operasi angkutan umum dibatasi. Sebagian orang akhirnya memilih berjalan kaki dan mungkin tak akan pernah tiba di rumah.
Kasus Covid-19 di Afrika (Maret)
“Kami harus pulang ke desa. Kami akan kelaparan di sini,” tutur Rekha Devi saat ditemui sedang berjalan bersama suami dan dua anaknya di luar New Delhi. Dia berencana pulang ke rumah keluarganya yang terletak sekitar 370 kilometer jauhnya. Mereka belum makan selama dua hari dan tabungan mereka telah habis. “Kami takut pada penyakit ini, tapi saya khawatir kelaparan akan membunuh kami.”
Namun nahas menimpa Ranveer Singh. Pria 39 tahun itu berjalan kaki dari New Delhi ke kota kelahirannya di Madhya Pradesh, 300 kilometer dari Ibu Kota. Dia mulai mengalami nyeri dada setiba di daerah Agra dan pingsan di jalan raya.
Seorang pemilik toko di daerah tersebut melihat dan mencoba menolongnya. “Pemilik toko membaringkannya di karpet dan menawarkan teh serta biskuit,” kata polisi. Tapi Singh meninggal keesokan harinya. Autopsi terhadap mayat pria itu menunjukkan bahwa dia terkena serangan jantung yang dipicu oleh kelelahan setelah berjalan lebih dari 100 km.
Menurut Scrooll.in, ribuan orang berusaha pulang setelah lockdown. Banyak dari mereka tak pernah tiba di kampung halaman. Sebanyak 22 orang dilaporkan meninggal, tapi jumlah sebenarnya bisa lebih besar.
Melihat tumpukan penumpang di stasiun bus dan jalan-jalan New Delhi untuk mudik, tokoh oposisi Rahul Gandhi menilai, “Pemerintah tidak punya rencana kontingensi untuk eksodus seperti ini.” Menurut Michael Kugelman, analis senior untuk Asia Selatan di lembaga penelitian Wilson Center di Washington, DC, Amerika Serikat, kekacauan tersebut mencerminkan kurang baiknya perencanaan pemerintah.
Narendra Modi menyadari banyak kritik terhadap upayanya membendung penyebaran Covid-19. Dalam pidato radio mingguannya, 29 Maret lalu, Modi meminta maaf, terutama kepada orang miskin, atas kekacauan tersebut. “Saya membuat beberapa keputusan yang membuatmu menderita, Saudara-saudaraku yang malang,” ujar Modi. “Tapi, untuk negara seperti India, ini diperlukan.”
ABDUL MANAN (NPR, SCMP, AL JAZEERA, NEW YORK TIMES)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo