Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta -Hari ini 29 Tahun yang lalu terjadi Perjanjian Oslo yang melibatkan dua pihak yang sudah berkonflik lebih dari satu abad lamanya di kawasan Palestina, Timur Tengah, yakni pemerintah Israel dan entitas Palestina oleh Organisasi Pembebasan Palestina atau PLO ditandatangani.
Kesepakatan Oslo merupakan momentum krusial dalam upaya mencapai perdamaian di Timur Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Mengutip History, perjanjian Oslo diratifikasi di Washington, DC. Dalam perjanjian tersebut, pihak PLO yang diwakili sang pemimpin Yasser Arafat setuju untuk mengakui negara Israel. Sementara itu, pihak pemerintah Israel yang diwakili Perdana Menteri Yitzhak Rabin mengizinkan Palestina membentuk pemerintahan sendiri yang terbatas di Gaza dan West Bank.
Didasari Perjanjian Camp David
Perjanjian Oslo bermula dari pertemuan rahasia didasarkan pada Perjanjian Camp David 1978 yang ditandatangani oleh Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Perjanjian tersebut berisi kesepakatan yang menciptakan “Kerangka Kerja untuk Perdamaian di Timur Tengah” serta menyudahi perseteruan Mesir dan Israel. Perjanjian tersebut juga menyerukan pembentukan negara Palestina di daerah Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Namun, tidak terlibatnya pihak Palestina dalam Perjanjian Camp David membuat kesepakatan tersebut tidak diakui secara resmi oleh PBB.
Pihak PLO dan Israel berunding di Norwegia
Ketika PLO dan perwakilan pemerintah Israel tiba di Norwegia sekitar 15 tahun kemudian, Kesepakatan Camp David berfungsi sebagai model dan titik awal untuk negosiasi terbaru yang tujuannya adalah membangun kerangka kerja untuk penciptaan negara yang independen, yakni negara Palestina.
Selain Kepala PLO Yassir Arafat, mantan Perdana Menteri Israel Shimon Peres, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, delegasi yang hadir dalam pertemuan ini sebagai mediator adalah Wakil Menteri Luar Negeri Norwegia Jan Egeland.
Sebelum pembicaraan dimulai, kedua belah pihak diketahui telah saling mengakui kekuasaan masing-masing lewat penandatanganan “Letter of Mutual Recognition” beberapa hari sebelum perjanjian Oslo diteken. Sebelum kesepakatan, PLO menuding Israel telah melanggar sejumlah hukum internasional.
Salah satu butir kesepakatan dari perjanjian Oslo adalah ditetapkannya “Declaration of Principles on Interim Self-Government Arrangements,” yang membentuk Dewan Legislatif Palestina serta menetapkan parameter untuk penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza dalam jangka waktu lima tahun.
Berlanjut ke Perjanjian Oslo II
Mengutip Office of the Historian, Perjanjian Oslo juga mengatur agenda kesepakatan tindak lanjut yang dikenal dengan Perjanjian Oslo II. Perjanjian tersebut akan mencakup pembahasan tata kelola kota Yerusalem di masa depan serta mengatur perkara terkait perbatasan, keamanan, dan hak, jika ada, dari pemukim Israel di Tepi Barat.
Protokol pemilihan bebas untuk kepemimpinan Otoritas Palestina juga dibuat dalam kesepatakan tersebut. Oslo II, yang ditandatangani dua tahun kemudian, memberikan otoritas kepada Palestina yang mengawasi Gaza dan Tepi Barat kendali terbatas atas sebagian wilayah. Sementara untuk pihak Israel, mereka diizinkan untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat, dan menetapkan parameter untuk kerja sama ekonomi dan politik di antara kedua pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian, kedua belah pihak dilarang melakukan kekerasan atau konflik terhadap satu sama lain. Israel juga memungut pajak dari warga Palestina yang bekerja di Israel, tetapi tinggal di Wilayah Pendudukan, mendistribusikan pendapatan ke Otoritas Palestina. Israel juga memiliki kewenangan mengawasi perdagangan barang dan jasa yang masuk-keluar dari Gaza dan Tepi Barat.
Ratifikasi Perjanjian Oslo sayangya hanya seumur jagung...
Dampak Perjanjian Oslo
Ratifikasi Perjanjian Oslo sayangnya hanya seumur jagung. Pada 1998, para petinggi Palestina menuding pihak Israel tidak menindaklanjuti penarikan pasukan dari Gaza dan Hebron yang tercantum dalam kesepakatan. Selain itu, setelah mulanya memperlambat pembangunan permukiman di Tepi Barat, atas permintaan Amerika Serikat, pembangunan perumahan baru Israel di wilayah tersebut dimulai lagi dengan serius pada awal 2000-an.
Terdapat pula sejumlah kritik yang dilayangkan terhadap Palestina yang mengatakan bahwa tindak kekerasan Palestina terhadap warga Israel meningkat usai meningkatnya kekuasaan otoritas Palestina. Otoritas Palestina dinilai gagal mengawasi Gaza dan Tepi Barat secara memadai, dan mengidentifikasi serta menindak tersangka teroris.
Deretan konflik tersebut membuat perwakilan dari kedua belah pihak berkumpul kembali sekali lagi di Camp David, dalam upaya menindaklanjuti Kesepakatan Oslo dengan perjanjian damai yang komprehensif.
Namun, adanya Amerika Serikat yang memainkan peran kunci dalam negosiasi membuat pembicaraan tidak berjalan ancar. Hal itu diperumit oleh masa estafet kepemimpinan Amerika Serikat. Ketika itu masa jabatan kedua Presiden Bill Clinton akan berakhir, dan ia akan digantikan oleh George W Bush pada Januari 2001.
Pada September 2000, militan Palestina mendeklarasikan "Intifada Kedua," yang menyerukan peningkatan kekerasan terhadap orang Israel usai perdana menteri mereka Sharon mengunjungi Temple Mount, sebuah tempat yang keramat baik bagi orang Yahudi maupun Muslim.
Tindak kekerasan yang kerap terjadi memperkecil harapan perdamaian abadi antara Israel dan Palestina. Kedua belah pihak tidak lagi melakukan negosiasi yang substantif sejak saat itu. Meski sejumlah hasil perjanjian tersebut tetap berlaku hingga sekarang, namun hubungan kedua belah pihak masih kerap memanas oleh sejumlah konflik yang terjadi.
HATTA MUARABAGJA
Baca : Tepi Barat Memanas, Warga Palestina Tewas Ditembak Tentara Israel
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.