SERATUS juta penduduk AS terpana di depan pesawat televisi
mereka, Minggu malam pekan lalu. Selama 135 menit mereka
menyaksikan kiamat nuklir melalui film The Day After (TDA),
produksi jaringan televisi ABC (American Broadcasting
Corporation). Film yang kemudian membangkitkan perdebatan
politik, kecemasan psikologis, dan meniupkan angin segar bagi
gerakan antinuklir.
Gedung Putih guncang. Beberapa saat setelah pemutaran film
selesai, Menteri Luar Negeri George P. Shultz muncul di layar
televisi jaringan yang sama untuk menenangkan rakyat. Malam
berikutnya menyusul Kenneth L. Adelman, kepala Biro Pengendalian
dan Perlucutan Senjata, dan Richard N. Perle, pejabat tinggi
bidang kebijaksanaan keamanan internasional.
Langkah ini ditambah dengan penerbitan buku kecil berjudul
"Presiden Reagan tentang Perdamaian, Pencegahan dan Penyusutan
Senjata". Buku ini dikirimkan cuma-cuma untuk siapa saja yang
menyangsikan politik nuklir Reagan, setelah menonton TDA. Wakil
Presiden George Bush dan Menteri Pertahanan Caspar W. Weinberger
juga diperkirakan akan tampil "menenangkan" penduduk AS.
TDA menggambarkan neraka beradius 50 km yang muncul di Lawrence,
akibat bom nuklir Soviet menghajar Kota Kansas. Bom itu sendiri
dikirim sebagai balasan serangan nuklir AS beberapa saat
sebelumnya, setelah diketahui bahwa Tentara Merah menyeberangi
perbatasan Jerman Timur dan masuk ke Jerman Barat.
Awan merah tiba-tiba menudungi angkasa di atas Lawrence,
diiringi terbitnya 13 "matahari". Bumi gelap. Listrik dan mesin
padam, bahkan di mobil yang sedan meluncur. Komunikasi putus.
Kota berubah menjadi padang radiasi. Manusia berjalan bagai
kerangka, kempis dan kering dipanggang terik. Hanya kecoak yang
bertahan.
Bom nuklir ternyata tidak hanya membantai manusia, melainkan
juga menamatkan peradaban. Edward Hume, penulis skenario TDA,
melukiskan betapa, setelah peledakan itu, manusia saling
membunuh untuk memperebutkan setetes air, sebiji apel, atau
selembar atap untuk berteduh. Jauh lebih dahsyat daripada film
AS pertama tentang perang nuklir, On the Beach, produksi United
Artist, 1959. Di situ, Gregory Peck dan Ava Gardner masih sempat
bermain cinta.
"Secara sinematografis, film ini tidak istimewa, kata Salim
Said, koresponden TEMPO di Colombus, Ohio, AS. Yang luar biasa
adalah dampak politis dan psikologisnya. Kantor pusat ABC di New
York tak mampu menghitung panggilan telepon dari penonton yang
menanggapi TDA. Para penentang kebijaksanaan Presiden Reagan
menggunakannya sebagai senJata ampuh menari simpati. Sebuah
koalisi kelompok antinuklir merencanakan proyek 800 NUCLEAR,
untuk menggerakkan oposisi berdasarkan hasil pemutaran TDA.
Bahkan para anggota Kongres AS terlibat perbantahan.
Kalangan pendidik pun tak tinggal diam. Sebuah petunjuk
dikeluarkan bersama oleh Asosiasi Nasional Sekolah-sekolah
Swasta, Dewan Orangtua Washington, dan Asosiasi Pendidikan
Nasional AS. Petunjuk itu mengimbau agar film ini tidak ditonton
anak di bawah usia 12 tahun.
Di luar AS, izin peredaran film arahan Sutradara Nicholas Meyer
(Star Trek II) ini sudah dibeli Jerman Barat seharga Rp 384
juta. Pemutarannya di 75 kota dimulai pekan ini. Bahkan di
Moskow, atas permintaan wakil- ketua Akademi Ilmu Pengetahuan
Uni Soviet, Vladimir Velikhov, kepada kepala perwakilan ABC, TDA
sudah diputar untuk kalangan terbatas. Padahal, menurut Carl E.
Sagan, astronom terkemuka AS yang menghadiri seminar TDA di
Kansas, film yang dibuat dengan biaya Rp 8 milyar itu "masih
terlalu indah bila dibandingkan dengan akibat perang nuklir yang
sesungguhnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini