Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Arah Kebijakan Amerika Serikat di Gaza: Tergantung Lobi Israel

Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyetop pengiriman bom ketika Israel hendak menyerang Rafah. Pelobi pro-Israel pun bergerak.

19 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Israel berencana menyerang Rafah, kawasan Jalur Gaza selatan yang kini menampung sekitar 1,4 juta pengungsi Palestina, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyetop satu paket persenjataan ke Israel. “Jika mereka (tentara Israel) menuju Rafah, saya tidak akan memasok senjata yang secara historis telah digunakan untuk menangani Rafah,” kata Biden kepada CNN pada Kamis, 9 Mei 2024. Paket yang dihentikan itu adalah paket bom skala besar, termasuk 1.800 bom tipe MK-84, bom seberat 907 kilogram yang telah digunakan untuk meluluhlantakkan Gaza.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Satu paket (yang dihentikan Biden) itu kecil. Mungkin masih ada satu paket persenjataan Biden yang tetap dikirim. Ini tidak terkait dengan perang, tapi dengan persenjataan strategis Israel, seperti Kubah Besi,” ujar Ibnu Burdah, guru besar kajian dunia Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, kepada Tempo, Senin, 13 Mei 2024. Kubah Besi atau Iron Dome adalah sistem pertahanan anti-peluru kendali Israel yang selama ini menjadi pelindung ampuh dari serangan rudal Hamas, tapi pernah jebol ketika Hamas menyerang pada 7 Oktober 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibnu menilai langkah Biden menyetop pengiriman paket kecil persenjataan itu tak perlu dipandang berlebihan. “Langkah itu untuk menekan Israel agar meminimalkan jumlah korban sipil karena (serangan ke Rafah) berdampak ke dalam negeri Amerika, ketika banyak mahasiswa turun ke jalan memberi tekanan kepada pemerintah,” kata penulis buku Wajah Baru Zionisme Vs Yahudi Ortodoks tersebut.

Toh, langkah Biden itu membuat Israel ketar-ketir. Gilad Erdan, ambasador Israel untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengatakan negaranya “sangat kecewa” terhadap intervensi Biden. “Jika Israel dilarang memasuki wilayah penting dan sentral seperti Rafah, tempat ribuan teroris, sandera, dan pemimpin Hamas, bagaimana tepatnya kami bisa mencapai tujuan kami?” ucapnya di stasiun radio publik, Kan.

Presiden Biden menghadapi tekanan ganda di negerinya. Sejumlah politikus Partai Demokrat dan sebagian warga negara Amerika Serikat, termasuk mahasiswa yang menggelar demonstrasi dan tenda solidaritas Gaza, mendesak Amerika menghentikan bantuan militer ke Israel. Di sisi lain, sejumlah politikus Partai Republik dan kelompok lobi pro-Israel menuntut komitmen Amerika membantu Israel.

Kelompok lobi pro-Israel di Amerika terus bergerak untuk memastikan makin banyak politikus pro-Israel di parlemen. Komite Urusan Publik Amerika Israel (AIPAC), kelompok lobi yang paling berpengaruh, telah melobi Kongres agar mendukung operasi Israel ke Rafah.

“Tidak ada contoh dalam sejarah militer baru-baru ini yang mengalahkan kekuatan seperti Hamas di Rafah tanpa memasuki kota tersebut,” demikian isi surat AIPAC yang dikirim kantor Kongres. “Serangan komando dan embargo senjata dapat memberikan dampak positif, tapi tidak akan mengalahkan Hamas,” kata mereka seperti dikutip The Intercept.

AIPAC kini bergerak makin gencar karena Partai Republik dan Partai Demokrat telah mulai menggelar pemilihan pendahuluan untuk menentukan kandidat anggota Dewan Perwakilan Rakyat mereka. Kandidat itu akan bertarung dalam pemilihan umum pada 8 November 2024, yang bersamaan dengan pemilihan Presiden Amerika, yang menjadi pertarungan ulang antara Biden dari Demokrat dan Donald Trump dari Republik.

AIPAC, misalnya, campur tangan dalam pemilihan pendahuluan Partai Republik untuk memperebutkan kursi kandidat anggota DPR dari daerah pemilihan distrik ke-8 Indiana. Hasil pemilihan pada 7 Mei 2024 disambut gembira kelompok pendukung Israel. Mark Messmer, senator Negara Bagian Indiana, mengalahkan John Hostettler, mantan anggota DPR dari distrik tersebut.

Warga Palestina mengungsi, setelah pasukan Israel melancarkan operasi darat dan udara di bagian timur Rafah, di Jalur Gaza 11 Mei 2024. Reuters/Hatem Khaled

Koalisi Yahudi Partai Republik (RJC) dan AIPAC mengklaim Hostettler kalah berkat dukungan mereka kepada Messmer. “Malam ini kami berhasil mengusir kandidat vokal anti-Israel dari konferensi Partai Republik. Ini adalah kemenangan besar bagi RJC, komunitas Yahudi, semua orang Amerika yang pro-Israel, dan bagi akal sehat,” tutur RJC seperti dikutip Jewish Telegraphic Agency.

Hostettler dianggap sebagai penentang Israel. Dia pernah menulis buku Nothing for the Nation: Who Got What Out of Iraq pada 2007 yang memeriksa motif sesungguhnya para pemimpin Amerika di balik invasi pasukan Sekutu ke Irak pada 2003. Kaum Yahudi menilai Hostettler telah memakai teori konspirasi Yahudi sebagai dalang dalam invasi itu.

Untuk menjegal Hostettler, RJC telah menggelontorkan US$ 1 juta atau sekitar Rp 16 miliar buat iklan yang sebagian besar mempromosikan Messmer. United Democracy Project, komite aksi politik (PAC) yang berafiliasi dengan AIPAC, juga menghabiskan dana senilai Rp 24 miliar lebih untuk iklan penolakan Hostettler, seperti “Jenis Republikan macam apa yang menolak mendukung Israel?”. PAC adalah organisasi bebas pajak di Amerika yang mengumpulkan dana dari para anggota dan menyumbangkannya untuk kampanye mendukung atau menentang kandidat atau rancangan undang-undang tertentu.

OpenSecrets, lembaga yang memantau dana politik dan dampaknya bagi pemilihan umum serta kebijakan Amerika Serikat, mencatat AIPAC sebagai kelompok lobi pro-Israel yang memberi sumbangan terbesar selama 2023-2024 untuk kebijakan yang mendukung Israel. Pada periode itu, AIPAC menyumbang US$ 5,1 juta lebih ke Demokrat dan US$ 3,4 juta lebih ke Republik. Dari total US$ 11,4 juta sumbangan 20 kelompok lobi terbesar, US$ 6,7 juta mengalir ke Demokrat dan US$ 4 juta ke Republik.

Lobi-lobi ini tak bisa tidak turut berperan dalam kebijakan Amerika Serikat terhadap Israel. Misalnya, pada April 2024, Kongres menyetujui bantuan keamanan untuk Israel senilai US$ 14,3 miliar—dana terbesar bagi Israel dalam sejarah Amerika. Sumbangan itu termasuk US$ 4 miliar untuk Kubah Besi dan Katapel Daud, sistem pertahanan Israel guna mencegat pesawat terbang, drone, dan rudal balistik.

John J. Mearsheimer dan Stephen M. Walt, dalam kertas kerjanya di John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat, pada 2006, telah memperingatkan dampak buruk para pelobi ini dalam masalah Palestina. Dengan mencegah pemimpin Amerika menekan Israel agar berdamai, kata mereka, pelobi juga membuat konflik Israel-Palestina mustahil diakhiri. Situasi ini, menurut mereka, malah menjadi alat ampuh bagi kelompok ekstremis untuk merekrut anggota, meningkatkan jumlah calon teroris dan simpatisan, serta berkontribusi terhadap radikalisme Islam di seluruh dunia.

Para pelobi dan politikus Israel tampaknya tak ambil pusing terhadap kritik semacam itu. AIPAC dan kawan-kawan terus menggelontorkan dana untuk politikus pendukung Israel dan, sebaliknya, menyerang politikus yang mengkritik Israel.

Pada kenyataannya, sepekan setelah Joe Biden membatalkan pengiriman bom itu, pemerintahannya mengajukan usul paket bantuan militer senilai US$ 1 miliar atau hampir Rp 16 triliun untuk Israel ke Kongres pada Selasa, 14 Mei 2024. Paket tersebut mencakup sekitar US$ 700 juta untuk amunisi tank, US$ 500 juta buat kendaraan taktis, dan US$ 60 juta untuk mortir. Al Jazeera menyatakan paket ini merupakan komitmen jangka panjang Amerika untuk memasok persenjataan ke Negeri Yahudi.

Memang, menurut Ibnu Burdah, ada pergeseran pada sikap Amerika Serikat, yakni tetap mendukung Israel tapi meminta Israel berhati-hati agar jumlah korban kemanusiaan tak terlalu besar. “Jadi Amerika tidak memberikan lampu merah, tapi hanya lampu kuning,” ujarnya. Itu sebabnya Israel tetap merangsek ke Rafah dalam sebuah “operasi terbatas” yang menyasar Hamas dan mendorong warga sipil Palestina keluar dari Rafah.

Serangan saat ini, Ibnu menuturkan, belum menjadi serangan pemungkas karena Israel masih berusaha memisahkan warga sipil dari para kombatan. “Makin sukses proses evakuasi, makin besar menuju perang terbuka. Kalau warga sipil dipisahkan, mungkin akan menjadi perang yang sangat terbatas.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Arah Angin Amerika di Gaza"

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus