Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menanti fajar 1997

Bermula dari perang candu, hong kong kemudian berkembang menjadi kota paling kosmopolitan di dunia. tapi di kota tembok yang rawan, hukum tak pernah jelas.

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM dasawarsa lalu, seraya memandang teluk dan kota yang terhampar di hadapannya, Bapak Nasionalisme Cina Dr. Sun Yat Sen meninggalkan kata-kata yang direkam sejarah. "Aku kagum," katanya. "Dalam 70-80 tahun saja orang-orang Inggris itu telah mengubah pulau karang ini dengan ukuran yang tidak bisa dicapai Cina dalam 40 abad. Di sinilah aku memperoleh gagasan revolusionerku, ya, di Hong Kong." Kini, di bandar udara Kay Tak, bau bacin laut yang tercemar menyergap hidung para pelancong pada pertemuan pertama. Sebuah ironi, memang. Sebab Hong Kong tetap bernama Hong Kong -- Heung Gong dalam dialek Kanton -- yang berarti "Pelabuhan Semerbak". Pada 1839 dulu, ketika Istana Buckingham menerima kabar penyerahan pulau itu kepada Kapten Charles Elliot, Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston nyaris mencarut. Ia sebal pada "kepandiran" Elliot, yang sudi menerima "pulau tandus dengan tak sebiji rumah pun" itu sebagai tebusan kekalahan Kerajaan Manchu. Hanya seorang bangsawan, sesuai dengan catatan yang ditinggalkan Ratu Victoria, yang bersuka cita. Dan ia adalah Pangeran Albert, suami sang ratu. Ketika bendera Union Jack berkibar untuk pertama kalinya di tempat yang kemudian bernama Puncak Victoria, pulau itu hanya berpenghuni empat ribu manusia. Sebagian besar lanun, penyelundup, atau pedagang candu - pokoknya bajingan dari kelas yang paling tengik. Agaknya sudah nasib Hong Kong: sejak mula sejarah kawasan ini adalah sejarah pertentangan. Dan juga sejarah sebuah ironi. Kapal-kapal dagang Inggris sudah menyinggahi pelabuhan Cina sejak awal abad XIX. Dari negeri ini mereka mengangkut teh, sutra, dan ginseng kering yang sangat dipuja Ratu Victoria. Sebaliknya, Cina tidak membutuhkan apa-apa dari orang Inggris itu, kecuali uang pound mereka yang gemerlapan. Tapi kemudian para saudagar Inggris itu menemukan cara untuk memancing kembali pound mereka. Yaitu dengan memasukkan candu, yang dipetik dari ladang-ladang opium di India. Penyelundupan candu berkembang, justru setelah kekaisaran mengumumkan larangan resmi perdagangan obat bius itu. Pada 1836, paling tidak 30 ribu peti candu mendarat di Cina, terutama di Pulau Lintin, di dekat Kanton. Tahun berikutnya angka itu meningkat menjadi 40 ribu peti. Di London, hanya seorang William Gladstone yang mengimbau parlemen Inggris. "Bila candu sampai menimbulkan perang," kata Gladstone, "Inggris akan menanggung aib berkepanjangan." Dan perang itu benar-benar pecah -- tahun 1841. Bermula dari pejabat kekaisaran bernama Lin Zexu yang diutus ke Kanton untuk membabat rimba permadatan yang sudah hampir tak tertanggungkan. Lin bertindak dengan tangan besi. Ia menuntut para saudagar Inggris untuk menyerahkan candu mereka. Ketika itulah muncul Kapten Angkatan Laut Kerajaan Inggris, Charles Elliot. Ia, yang juga sangat anticandu, menyerahkan kepada Lin 20 ribu peti madat untuk dibakar. Lin terpesona dan memuja Elliot -- yang oleh para saudagar sebangsanya dicap cecunguk. Tapi, kemudian, Lin melangkah terlalu jauh. Ia memaksa para pedagang Inggris menandatangani ikrar untuk tidak memasukkan candu selama-lamanya. Elliot, tersinggung, dan menolak permintaan itu. Ia lalu memindahkan para saudagar Inggris yang terancam itu ke Makao. Musim panas tahun itu, seorang pelaut Cina terbunuh dalam sebuah kerusuhan di Kowloon. Lin Zexu memaksa Elliot menyerahkan orang yang bertanggung jawab terhadap pembunuhan itu -- yang sampai kini tak pernah jelas. Buat Elliot, tuntutan ini sudah keterlaluan. Ia memimpin balatentaranya memudiki Sungai Mutiara, dan menghajar Kanton. Perang yang tidak seimbang berkobar tiga tahun. Pada 1842 ditandatangani Perjanjian Nanjing, yang mewajibkan Cina membayar ganti rugi, dan menyerahkan Pulau Hong Kong "untuk selamanya". Bagai ungkapan "Belanda minta tanah", Inggris pun kemudian tidak puas dengan hanya sekadar mendapat Pulau Hong Kong. Mereka mulai mencari gara-gara, antara lain, dengan melindungi penyelundupan candu di kawasan tenggara Cina. Dan Beijing terpancing. Pada 1856 mereka menangkap sejumlah kapal, dan menurunkan bendera Inggris. Perang Candu II pecah dengan akhir yang lebih parah. Cina kembali membayar ganti rugi, dan menyerahkan Semenanjung Kowloon kepada Inggris. Pada 1895, Kekaisaran Cina yang keropos itu kalah lagi dalam perang melawan Jepang. Kesempatan ini digunakan berbagai kekuasaan asing, terutama Barat, untuk berebut daerah konsesi. Tiga tahun kemudian, dengan cara setengah paksa Inggris menyewa New Territories (NT) untuk masa 99 tahun berakhir 30 Juni 1997 nanti. Secara harfiah, hanya NT yang harus dikembalikan Inggris kepada Cina, 14 tahun mendatang. Tapi dalam kenyataan, NT berarti segala-galanya. Kawasan seluas 960 km persegi itu sekaligus jantung dan-urat nadi Hong Kong. Di sana terletak pusat perdagangan, industri, pertanian, dan sumber tenaga. Dan di situ pula terletak Lowu, dusun sunyi di tepi sungai, yang berseberangan dengan Sumchun, stasiun RRC dengan yang penuh senapan mesin. Hong Kong bukan saja koloni Inggris paling luas saat ini, juga sering dianggap sebagai kota yang paling kosmopolitan di dunia. Ia, kota yang senantiasa bersolek, dengan setia menyantuni anak-anaknya. Dengan 5,5 juta penduduk, mulai dari para taipan (cukong) di kantor-kantor menjulang di Victoria sampai para shui jen (orang air) di Aberdeen, kota ini bernapas dalam irama yang tetap. Para perunding Inggris dan RRC boleh bersitegang di meja perundingan, sementara di loteng-loteng Kowloon permainan judi mahyong jalan terus dalam suasana riang gembira. Di dalam hati, para pemimpin RRC agaknya tidak pernah melupakan Hong Kong. Mereka menyebut perjanjian sewa kawasan itu "bu pingdeng tiaoyue" -- perjanjian yang tidak adil. Di depan mejelis PBB, 1971, wakil Cina mengatakan: "Hong Rong dan Makao merupakan bagian wilayah Cina yang diduduki... bukan koloni...." Tapi mereka juga tidak berani bertindak gegabah. Sejak pemerintah RRC berdiri, 1949, tidak sedikit keuntungan yang dikaut dari "Pelabuhan Semerbak" ini. Sekitar 30% transaksi perdagangan RRC ditandatangani di kawasan ini. Di Nathan Road, yang lapang dan terang benderang, terletak di Kowloon, bank dan toko serba ada RRC menyedot keuntungan yang tidak sedikit. Dan di lorong-lorong Wanchai, gang busuk di Kota Tembok yang kuno, para agen Beijing mengumpulkan keterangan dan mempertukarkan sendi. . . Hong Kong juga telah membuktikan dirinya sebagai persinggahan yang teduh. Ketika revolusi nasional pecah di daratan Cina, 1911, dan Dinasti Manchu ambruk, ribuan orang yang terusir mengungsi ke Hong Kong. Arus pengungsi tambah besar pada 1930-an, ketika pecah perang Cina-Jepang. Pada 1949, Partai Komunis Cina (PKC) menegakkan kekuasaannya. Hong Kong kembali menjadi tempat pelarian penduduk yang tidak berselera mengikuti "jalan sosialis". Di antara rombongan ini terdapat pengusaha-pengusaha besar dari Kanton dan Shanghai, yang sekalian memindahkan modal dan usahanya ke koloni Inggris itu. Pada 1962, RRC melonggarkan penjagaan di perbatasan. Kesempatan itu digunakan oleh sekitar 60 ribu penduduk untuk menyeberang ke Hong Kong. Arus yang lebih besar terjadi pada 1967, ketika di daratan sedang berkecamuk "Revolusi Kebudayaan" yang porak poranda itu. Agak sukar menebak hati penduduk kawasan ini. Pada setiap 1 Oktober, hari raya RRC, bendera bintang lima berkibar di mana-mana. Tetapi pada 10 Oktober double ten -- tak terbilang pula bendera bintang dua belas mengelu-elukan hari besar Kuomintang. Dan pemerintah Inggris terbukti lihai. Di antara kedua hari besar itu, 5 Oktober, mereka menetapkan Hari Hong Kong. Dan giliran Union Jack yang naik panggung. Karena itu dari tanggal 1 sampai 10 Oktober merupakan hari yang paling hingar di koloni ini. Mercon dibakar bersahut-sahutan, barongsai dan liong turun ke jalan. Jalan kekerasan tampaknya tak akan ditempuh Cina untuk mengembalikan Hong Kong. Kalau Beijing berniat demikian, bukankah sejak semula mereka bisa melakukan tindakan yang "sama mudahnya dengan membalik telapak tangan" itu? Bahkan di hari-hari Revolusi Kebudayaan, ketika demonstran di Hong Kong berteriak "Gulingkan Imperialis Inggris" dan "Ganyang Babi-babi Putih", Beijing bisa mengendalikan diri. Dalam era Demaoisasi dan pragmatisme a la Deng Xiaoping, Hong Kong memainkan peranan tersendiri. Pelarian kecil-kecilan dari daratan memang terus mengalir. Tapi Hong Kong juga menjadi terminal barang luks untuk sanak saudara di utara. "Barang luks" itu termasuk vulpen, arloji Jepang murahan, kaus oblong berwarna-warni, sampai pesawat televisi. Sementara itu di Kota Tembok (Kowloon Walled City) yang tua, hukum tetap tak jelas. Status hukum bagi "kota" seluas 2,5 hektar ini, sejak dulu, tidak menentu. Sebuah pasal dalam perjanjian 1898 menjamin penguasa Cina di Kota Tembok mengatur dirinya sendiri. Tapi, penguasa Cina yang mana? Inggris pernah mencabut pasal itu dan memaksakan hukumnya, 1963. Beijing lalu memperlihatkan taring, hingga Inggris terpaksa mundur tersipu-sipu. Kini, kota yang temboknya sudah runtuh itu menjadi sarang gelandangan, penipu, maling, tukang tadah, dokter dan tabib tanpa izin, tukang pukul, bandit, dan kutu kota. Lorong dan rumah-rumahnya bagaikan kota Cina dari abad yang silam. Tidak ada sistem distribusi air dan listrik di sana. Apalagi dinas kebersihan. Toh dengan segala "ancaman"nya, Hong Kong tetap dikunjungi enam juta pelancong setiap tahun. Banyak di antara mereka tidak menginjak Hong Kong yang sesungguhnya -- Pulau Hong Kong itu sendiri. Sebagian besar hanya berkeliaran di NT dan Kowloon. Pamor jung dan rickshaw sudah berangsur-angsur digantikan perahu bermotor dan taksi. Ferry yang romantis itu pun sudah kekurangan daya tarik dibandingkan jalan terowongan yang menghubungkan Kowloon dan Pulau Hong Kong. Namun koloni yang sesak ini tetap menitikkan liur para pembelanja. Di toko-tokonya yang berdesakan, pakaian tradisional Manchu dijual berdampingan dengan gaun Dior mutakhir. Film Amerika tahun terakhir bersaingan dengan opera Cina. Banyak julukan diberikan kepada Hong Kong, antara lain, "Mutiara di Timur". Kini "mutiara" itu seperti berada di ujung tanduk. Nasibnya sedang ditentukan, entah di Beijing, London, atau Hong Kong sendiri. Namun sebagian besar penduduknya tampak santai-santai saja. Siek Kiat Liang (bukan nama sebenarnya), misalnya, tidak berpikir terlalu panjang. Ia lahir di Semarang, dan pada 1960-an pulang ke RRC. Di sana ia tak tahan, lalu lari ke Hong Kong setelah menamatkan pelajaran di Universitas Hunan. Kini ia berjualan sate di kaki lima Kowloon. Ia pesimistis RRC bisa mempertahankan kemakmuran Hong Kong, bila negeri naga merah itu jadi mengambil alih kekuasaan. Mengapa? "Aparat birokrasi RRC itu korup," katanya kepada TEMPO, dua pekan lalu. "Selama mereka korup, kami bisa selamat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus