Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi: Kami Harus Bekerja dalam Senyap

Para pemimpin ASEAN akhirnya menyepakati sejumlah konsensus, seperti mencari solusi damai lewat dialog dan pengiriman utusan khusus ke Myanmar. Masih perlu langkah lanjutannya.

1 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perundingan para menteri luar negeri lebih mudah mengerucut pada masalah utusan khusus dan bantuan kemanusiaan.

  • Banyak pihak menilai, dengan mengundang Tatmadaw, berarti ASEAN mengakui mereka.

  • Pandemi menjadi tantangan dalam kecepatan upaya membantu Myanmar.

ENAM kepala negara dari Brunei Darussalam, Indonesia, Kamboja, Malaysia, Singapura, dan Vietnam berkumpul di Jakarta pada Sabtu, 24 April lalu. Pertemuan di Sekretariat Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) itu juga dihadiri Menteri Luar Negeri Thailand, Filipina, dan Laos. Digelar di tengah pandemi Covid-19, ini pertemuan tatap muka pertama para pemimpin ASEAN untuk membahas krisis Myanmar. Panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga hadir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemimpin ASEAN menyepakati sejumlah konsensus, seperti mencari solusi damai lewat dialog serta pengiriman utusan khusus dan bantuan kemanusiaan ke Myanmar. “Awalnya banyak yang pesimistis, tapi akhirnya kemarin kita bisa melihat hasilnya seperti itu,” kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dalam wawancara daring dengan Tempo pada Kamis, 29 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada wartawan Tempo Purwani Diyah Prabandari, Mahardika Satria Hadi, Gabriel Wahyu Titiyoga, dan Istman Musaharun Pramadiba, Retno menceritakan proses persiapan pertemuan dan konsensus hingga rencana selanjutnya untuk membantu menyelesaikan konflik di Myanmar. “Yang terpenting adalah penghentian penggunaan kekerasan. Kalau itu tidak terjadi, korban akan berjatuhan terus,” ujarnya.

Bagaimana pertemuan para pemimpin ASEAN ini bisa digelar?

Ini proses yang panjang, memakan energi, dan membutuhkan diplomasi yang tidak memakai megafon. Dalam kondisi seperti itu, kami harus bekerja dalam senyap karena banyak sekali hal sensitif.

Semua dimulai pada 1 Februari ketika militer mengambil alih kekuasaan di Myanmar. Pada 5 Februari, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin berkunjung ke Indonesia. Presiden Joko Widodo dan Muhyiddin menugasi menteri luar negeri mereka melakukan pertemuan. Pada 2 Maret, para menteri luar negeri ASEAN melakukan pertemuan informal. Pesan utamanya adalah menghentikan kekerasan dan mengembalikan demokrasi di Myanmar melalui dialog.

Bagaimana perkembangannya?

Dari 2 Maret itu tidak ada langkah maju. Pada 23 Maret, Presiden (Jokowi) menelepon Sultan Brunei, yang juga Ketua ASEAN, dan menyampaikan bahwa sudah saatnya para pemimpin ASEAN bertemu untuk membahas krisis politik di Myanmar.

Bagaimana persiapan menjelang pertemuan pemimpin ASEAN?

Pada 23 April, saya mengundang para menteri luar negeri negara anggota ASEAN untuk working dinner. Situasinya sangat cair. Kami tidak ingin saat pemimpin bertemu belum punya bayangan akan melakukan apa. Selama dua setengah jam kami bicara terbuka, berdebat, dan sebagainya. Pada akhirnya kami bisa mengerucutkan ide.

Bagaimana akhirnya lima poin konsensus itu muncul?

Berkisar pada apa yang dibahas dalam working dinner. Yang lebih mudah mengerucut saat itu masalah utusan khusus dan bantuan kemanusiaan. Tapi saya juga sampaikan hal yang lebih penting adalah penghentian kekerasan. Kalau itu tidak terjadi, korban akan jatuh terus. Buat Indonesia, itu red line, harus ada. Kami kemudian berdebat lagi dan akhirnya mengerucut seperti itu, tidak jauh dari lima poin konsensus.

Konsensus itu tidak menyinggung pembebasan tahanan politik.

Soal pembebasan tahanan politik ada di pernyataan Ketua ASEAN. Kalau bicara sikap Indonesia, itu sangat jelas. Presiden mengatakan pentingnya pembebasan tahanan politik. Tidak mungkin terwujud dialog inklusif kalau tahanan politik tidak dibebaskan.

Dalam pertemuan itu, bagaimana sikap Jenderal Min Aung Hlaing terhadap hasil konsensus?

Responsif.

Bagaimana posisi ASEAN sebenarnya dalam menyikapi Myanmar?

Banyak pihak mengatakan, dengan mengundang Tatmadaw—sebutan bagi militer Myanmar—berarti ASEAN mengakui Tatmadaw. Sebenarnya tidak. Kami melakukan engagement, iya. Kami bisa menyuarakan apa yang diinginkan dan Tatmadaw adalah salah satu pihak yang dapat mengubah situasi. Mereka militer, bersenjata. Kami ingin Tatmadaw menjadi bagian dari solusi masalah ini. Tapi sama pentingnya juga melakukan engagement dengan pihak lain dan Indonesia sudah melakukan itu. Jadi, sekali lagi, kami tidak berbicara mengenai masalah pengakuan, melainkan mengenai engagement agar proses ini bisa berjalan.

Di situs Kepresidenan RI, Min Aung Hlaing hanya disebut sebagai panglima militer Myanmar. Apakah akan tetap menyebutnya seperti itu?

Kami berusaha untuk correct saja.

Konflik di Myanmar masih berlangsung dan memburuk. Apakah perkembangan ini dibahas di ASEAN?

Lima poin konsensus itu bukan simsalabim kemudian semuanya berhenti. Tantangan masih banyak. Kami sudah mengambil satu langkah penting dan patut bersyukur hasilnya bagus. Tapi bukan berarti kemudian tugas selesai atau tantangan menjadi makin sedikit.

Komunikasi di antara para menteri luar negeri ASEAN harus kembali dirapatkan untuk mulai memetakan mau apa selanjutnya. Kalau tidak, saya khawatir momentum ini hilang dan situasi memburuk. Kalau situasi sudah sangat buruk, akan lebih sulit membantu mereka (rakyat Myanmar).

Bagaimana soal komunikasi dengan Pemerintah Nasional Bersatu (NUG), yang menjadi oposisi junta militer?

ASEAN saya kira belum, tapi akan segera. Kalau Indonesia sudah melakukan komunikasi. Kami berusaha berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan di Myanmar, termasuk pada saat itu dengan CRPH (Komite Perwakilan Parlemen Myanmar), kemudian dengan NUG.

Indonesia menyampaikan hasil komunikasi itu dalam pertemuan pemimpin ASEAN?

NUG mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal (ASEAN). Jadi NUG resmi ada kontak via surat kepada Sekjen.

Apakah utusan khusus memang diperlukan?

Sebelum proses dialog dan bantuan kemanusiaan berjalan, harus ada kunjungan dulu ke Myanmar. Jalannya harus dibuka. Saat berbicara soal dialog inklusif, apakah sudah ada komunikasi dengan pihak selain Tatmadaw, misalnya dengan NUG, pada tingkat resmi ASEAN? Kan, belum.

Bantuan kemanusiaan juga tidak bisa begitu saja dikirim. Kami memerlukan tim untuk melihat apa yang diperlukan dan mekanismenya seperti apa. Ini titik penting karena kami ingin bantuan itu mencapai target dan adil.

Apa pertimbangan Indonesia membantu penyelesaian krisis Myanmar?

Kami merasa bertanggung jawab menjadikan kawasan ini damai dan stabil. Sekarang kita sudah berjuang mengatasi Covid-19. Kalau isu Myanmar ini tidak ditangani dengan cepat, pengaruhnya ke instabilitas, pasti akan berdampak ke ekonomi, sosial, dan lain-lain.

Langkah apa yang harus diambil agar situasinya tidak memburuk?

Dalam jangka pendek, komunikasi ASEAN harus jalan dulu. Bayangan saya, komunikasi virtual dulu, mengumpulkan masukan-masukan. Kalau kunjungan dalam situasi seperti ini, ada yang akan dikarantina, tidak efektif. Pandemi menjadi tantangan dalam kecepatan upaya membantu Myanmar. Yang terpenting jangan sampai hilang momentum, terus jalin komunikasi, sehingga ASEAN dapat masukan yang lengkap untuk menentukan langkah selanjutnya.

Tim Pencari Fakta Rohingya yang dipimpin Marzuki Darusman kesulitan masuk Myanmar. Anda yakin situasi sekarang bisa berbeda?

Saya orang yang optimistis. Pada 24 April pun semua orang pesimistis, bahkan untuk pertemuan ini sendiri. Jangankan (pertemuan) secara pribadi, pertemuan virtual saja ada yang beranggapan macam-macam. Tapi pada akhirnya tetap bisa optimal. Pertemuan langsung tingkat pemimpin ada hasilnya. Kami belum bisa menarik napas lega, pekerjaan dan tantangan masih banyak.

Bagaimana kondisi warga negara Indonesia di Myanmar?

Kami terus berkomunikasi dengan duta besar dan timnya, juga dengan WNI. Kami juga kontak dengan sektor swasta yang punya bisnis cukup bagus dengan Myanmar. Saat ini ada 276 WNI di Myanmar. WNI yang sebelumnya berada di tempat penampungan di KBRI Yangon sekarang sudah bisa kembali ke kediaman masing-masing. WNI yang kembali dengan repatriasi mandiri itu ada 210-220 orang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus