Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terminal minyak di pelabuhan Zueitina, Libya timur, tampak lengang pada Selasa dua pekan lalu. Sejauh mata memandang, hanya dua kapal penarik yang tertambat di tepi dermaga. Tak ada tanker bersandar di pelabuhan yang terletak di Distrik Al-Wahat, Provinsi Barqa, yang dikenal juga sebagai Provinsi Cyrenaica, sekitar 180 kilometer barat daya Benghazi itu.
Seperti dilansir situs Petroleum Economist, dalam kondisi normal, terminal itu dapat melayani ekspor minyak 150 ribu barel per hari. Tapi, dalam beberapa bulan terakhir, tak setetes pun minyak keluar dari pipa-pipa di pelabuhan itu sejak terminal Zueitina dikuasai kelompok bersenjata pimpinan Ibrihim Jathran pada Juli lalu.
Aksi itu berlangsung hampir satu bulan setelah Dewan Transisi Barqa, yang dipimpin Ahmed Zubair al-Sanusi, menyatakan membentuk pemerintahan sendiri terpisah dari pemerintah pusat pada 1 Juni lalu. Setelah itu, pasukan Jathran menguasai beberapa ladang minyak dan terminal di sejumlah pelabuhan di Barqa, seperti Zueitina, Sidra (350 ribu barel per hari), Ras Lanuf (200 ribu barel), dan Hariga (140 ribu barel). Total nilai ekspor dari pelabuhan-pelabuhan ini US$ 85 juta atau sekitar Rp 927 miliar per hari.
Jathran, 33 tahun, adalah penentang rezim Muammar Qadhafi yang diangkat sebagai komandan Penjaga Fasilitas Minyak (PFG). Lembaga itu dibentuk untuk melindungi fasilitas minyak Libya setelah QadÂhafi jatuh pada Oktober 2011. Namun, pada Juli lalu, ia memerintahkan anak buahnya merebut kendali pelabuhan dan ladang minyak di Barqa yang seharusnya mereka jaga.
Pemblokadean infrastruktur minyak membuat perekonomian negara berpenduduk 6,4 juta jiwa itu goyah karena Libya sangat bergantung pada ekspor minyak. "Produksi minyak kini hanya sekitar 100 ribu barel per hari," kata Saad Ben Shrada, anggota komisi energi parlemen Libya, seperti dikutip Al-Monitor. Sebelumnya, produksi minyak Libya rata-rata 1,4 juta barel per hari. Jika produksi minyak tak kunjung normal, Libya bakal kesulitan membayar subsidi dan gaji puluhan ribu anggota pasukan yang menggulingkan rezim Qadhafi pada 2011.
Kelompok yang dipimpin Jathran, Cyrenaica Political Office, merupakan aliansi dari sejumlah faksi dan milisi yang menganggap pemerintah bertindak seperti QadÂhafi dengan mengabaikan Barqa. Tuntutan utama mereka otonomi atas Barqa yang kaya minyak, selain pekerjaan lebih baik, adalah penyelidikan korupsi di perusahaan minyak negara, National Oil Corporation, dan pengakuan kelompok minoritas dalam konstitusi baru yang sedang disusun. "Otonomi adalah satu-satunya jalan mendapatkan hak-hak kami dan menghapus tekanan ini. Secara finansial, kami sudah merdeka," ucap Jathran di kantornya di Kota Ajdabiya.
Jathran menyusun kekuatan dengan membentuk angkatan bersenjata bernama Pasukan Pertahanan Barqa, yang beranggotakan milisi dan serdadu pemerintah yang membelot. Awal Oktober lalu, ia mengangkat Kolonel Najeeb Alhassi, bekas komandan pasukan pemerintah, menjadi komandan Pasukan Pertahanan Barqa. Jathran lebih tampak seperti politikus ketimbang komandan pasukan pembangkang. Ia sering mengenakan setelan daripada seragam tentara. Sesekali ia menerima pejabat dari Tripoli yang datang bernegosiasi. "Sejauh ini tidak ada pembicaraan yang layak. Mereka tidak menangani masalah kami dengan serius," ujarnya.
Libya merupakan negara penghasil minyak terbesar di Afrika dan terbesar kelima di dunia dengan produksi rata-rata 46 miliar barel per tahun. Delapan puluh persen produksi minyak negara itu dihasilkan dua sumur minyak di Barqa, yakni Mesala dan Saraya. Cadangan minyak Libya ditaksir mencapai 76,4 miliar barel dan baru akan kering bila dikuras terus-menerus selama 77 tahun.
Dengan potensi keuntungan dari ekspor minyak, Jathran dan sekutunya berniat menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Barqa untuk mengekspor minyak tanpa melalui pemerintah pusat. Mereka jalan terus meski pemerintah Perdana Menteri Ali Zeidan mengancam mengebom kapal yang berani mengangkut minyak Jathran. Jathran berani membangkang karena mengklaim memimpin lebih dari 17 ribu orang dan 100 kepala suku yang loyal kepadanya. "Kami sudah mendapat akses ke kapal dan siap mengawal mereka," katanya.
Rencana itu dikhawatirkan memicu kekerasan antara kelompok milisi dan pasukan pemerintah. Sebab, "Satu transaksi yang berhasil akan menjadi simbol kelemahan pemerintah," ujar Richard Mallinson dari Energy Aspects, lembaga konsultan yang berbasis di London, Inggris.
Meski pemerintah menyatakan penjualan minyak oleh para pemberontak itu tak sah, sejumlah pakar energi mengatakan tindakan Jathran masih sesuai dengan undang-undang. Menurut Petroleum Economist, ada preseden ketika kelompok milisi menjual minyak secara independen selama pemberontakan 2011, yang dibantu Qatar, Inggris, dan Amerika Serikat. "Ini wilayah abu-abu. Ada preseden, dan Libya belum punya konstitusi," ucap John Hamilton, direktur perusahaan konsultan bisnis di Inggris, Cross-border Information. Jika pemberontak mengeksploitasi situasi ini dan membentuk pemerintahan regional yang kuat, kata dia, tak ada alasan yang dapat menghalanginya menjual minyak secara mandiri.
Perebutan atas hak ekspor minyak telah memanaskan suhu Libya, meski belum membakar. Sebab, menurut Kepala Penjaga Fasilitas Minyak Brigadir Jenderal Idris Bukhamada, pemerintah pusat belum berencana merebut kembali pelabuhan-pelabuhan itu. Ia mengatakan pasukan pemerintah dapat dengan mudah mengalahkan pasukan Jathran. "Tapi secara politik situasinya sangat sulit. Jika pasukan dikirim dari barat, suku-suku di timur akan makin erat bersatu melawan pemerintah."
Di wilayah timur bercokol sejumlah kelompok bersenjata yang memiliki pengaruh, seperti Para Martir Brigade 17 Februari, yang beranggotakan hingga 3.500 orang; Para Martir Brigade Abu-Salim, yang menjadi pelopor penentang Qadhafi; Martir Batalion Rafallah Shahati; dan Pasukan Pelindung Libya. Yang mengkhawatirkan, pertengahan Agustus lalu, sebagian besar kelompok bersenjata di wilayah timur mendukung Gerakan Pemuda Barqa untuk memisahkan diri dari Libya. Gerakan ini didukung oleh sebagian besar pemimpin kelompok milisi, termasuk Al-Saddiq al-Ghaithi, bekas Wakil Sekretaris Menteri Pertahanan Libya yang bertanggung jawab atas pengamanan perbatasan dan instalasi minyak.
Beberapa tahun lalu, Al-Ghaithi, yang pernah dibui pada era Qadhafi, memproklamasikan diri sebagai mujahid. Ia dikenal dekat dengan Abdul Hakim Belhadj, pemimpin Brigade Mujahidin, yang berafiliasi dengan Al-Jama'a al-Islamiyyah al-Muqatilah bi-Libya untuk menggulingkan Qadhafi.
Gerakan pemisahan ini berkembang karena lemahnya kontrol pemerintah pusat dan merajalelanya korupsi. Penculikan Perdana Menteri Ali Zeidan dua pekan lalu membuktikan betapa lemahnya pemerintah Libya. Kondisi inilah yang dimanfaatkan kelompok pemberontak untuk menyusun kekuatan. "Jika mereka tak memenuhi permintaan kami, akan ada perang, dan itu perang di antara dua negara," ucap Moussa al-Jazwy, anggota organisasi federal yang berafiliasi dengan Pasukan Pertahanan Barqa.
Pembangkangan di Barqa telah merugikan negara sekitar US$ 5 miliar. Seperti dikutip Reuters, Menteri Keuangan Libya Alkilani Abdelkarim al-Jazi mengatakan bulan ini anggaran negara sudah menipis sehingga perlu menggunakan sumber selain anggaran tahunan. Anggaran pendapatan dan belanja Libya tahun ini mencapai US$ 54 miliar, sebagian besar disumbang ekspor minyak. Libya masih memiliki simpanÂan, surat utang, dan aset di luar negeri senilai US$ 160 miliar. Tapi, kata Al-Jazi, semua itu cukup hanya sampai akhir tahun.
Sapto Yunus (Petroleum Economist, Reuters, BBC, Foreign Policy)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo