Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pernahkah kalian mendengar istilah Prepper? Istilah ini memang masih asing di Indonesia. Namun, di luar negeri, istilah tersebut makin populer di tengah epidemi virus Corona (COVID-19).
Mengutip CNN, Sabtu, 7 Maret 2020, Prepper adalah istilah untuk mereka yang terlatih dan selalu siaga untuk menghadapi situasi darurat seperti bencana alam, krisis finansial, atau bahkan wabah seperti virus Corona. Umumnya, mereka dikenali dari kebiasaan mereka menimbun berbagai makanan tahan lama, obat-obatan, perlengkapan medis, serta alat bertahan hidup, jauh sebelum bencana terjadi, di dalam ruang khusus.
Virus Corona mempopulerkan Prepper di luar negeri karena mereka yang lebih dulu siap menghadapinya. Ketika warga berjibaku melakukan panic buying, mereka sudah memiliki semua hal yang dibutuhkan untuk bertahan hidup berbulan-bulan.
Nander Knobben, salah seorang Prepper asal Belanda, mengaku banyak dicari warga begitu wabah virus Corona merebak. Mengutip CNN, Knobben berkata dirinya banyak dimintai bantuan untuk menyediakan supplai perlengkapan bertahan hidup yang mulai langka di pasaran. Beberapa di antaranya seperti makanan siap saji, radio, hingga filter air.
"Pesanan terus berdatangan. Sepanjang Februari, saya berhasil menjual lebih banyak masker, makanan siap saji, radio, dan filter air dibandingkan hasil jualan selama enam bulan di tahun 2019," ujar Knobben.
Di rumahnya sendiri, Knobben mengaku menyimpan makanan siap saji, air bersih, selimut, lilin, bensin, obat-obatan, batere, dan unggas yang cukup untuk bertahan selama 3-4 bulan. "Jika kamu menyiapkannya sekarang, meski bukan untuk virus Corona, suatu saat nanti kamu pasti membutuhkannya. Tidak ada salahnya untuk selalu siaga. Simpan saja dan hidup seperti biasa (hingga situasi darurat datang)," ujar Knobben.
Hal senada dilakukan Lincoln Miles, Prepper asal Inggris. Ia menyebut 3 bulan terakhir sebagai periode tergila yang pernah ia alami. Sebab, ia tidak pernah menyangka akan dicari orang-orang untuk menyediakan peralatan dan tips untuk bertahan hidup. Penjualan perlengkapan bertahan hidup sendiri, kata Miles, meningkat 20 kali lipat dibandingkan biasanya.
"Barang yang paling banyak dicari adalah masker gas, baju hazmat, serta makanan siap saji. Pekan lalu, dalam lima jam, saya berhasil menjual 6000 makanan cepat saji untuk kebutuhan 20 hari," ujar Miles.
Pada tahun 2019, Journal of Marketing Management menyebut Prepper sebagai tren yang tengah tumbuh seiring terus bergeraknya Jam Kiamat (Doomsday Clock). Doomsday Clock adalah jam simbolis yang menandakan kapan 'kiamat' akan datang karena ulah manusia sendiri mulai dari perang hingga perubahan iklim.
Prepper, dalam jurnal tersebut, tidak disebut sebagai sub kultur yang termarginalkan. Sebaliknya, melainkan kultur yang mulai menjadi mainstream karena orang semakin sadar bahwa bahaya bisa datang sewaktu-waktu. Epidemi virus Corona (COVID-19), oleh salah satu penulis jurnal yaitu Sarah Browne, diyakini menjadi salah satu pemicunya.
"Prepper selalu merasa dipandang sebagai orang paranoid dan berlebihan. Mereka sekarang berupaya menunjukkan bahwa merekalah yang secara logis dan praktis paling siap dalam menghadapi bencana," ujar Browne, yang bekerja di Trinity College Dublin, sebagaimana dikutip dari CNN.
ISTMAN MP | CNN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini