Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Sejarah di Balik Hak Veto Dewan Keamanan PBB

Hak veto biasanya ditemukan pada suatu lembaga tinggi negara. Selain itu, hak veto juga terdapat dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

27 Februari 2022 | 17.46 WIB

Sutan Sjahrir bersama Agus Salim, Charles Tambu, Sumitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 1947. Renungan dan Perjuangan Bianglala
Perbesar
Sutan Sjahrir bersama Agus Salim, Charles Tambu, Sumitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 1947. Renungan dan Perjuangan Bianglala

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, New York -Hak veto adalah suatu hak yang bisa dipakai untuk membatalkan suatu keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi.

Hak veto biasanya ditemukan pada suatu lembaga tinggi negara. Selain itu, hak veto juga terdapat dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).

Dalam Dewan Keamanan PBB, hak veto hanya dimiliki oleh lima negara yang berposisi sebagai anggota teap DK PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Republik Rakyat China, Prancis, dan Inggris.

Adanya hak veto ini memungkinkan 5 negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB tersebut menolak suatu keputusan atau resolusi yang akan dikeluarkan jika keputusan atau resolusi tersebut dirasa merugikan salah satu dari kelima negara tersebut.

Adanya hak veto yang dimiliki oleh negara-negara tersebut, tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya PBB dan berkaitan juga dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).

Lalu, bagaimana sejarah di balik hak veto tersebut?

Sejatinya, hak veto yang melekat pada organisasi internasional sudah ada sebelum berdirinya PBB, yaitu pada masa LBB. Saat itu, para anggota LBB memiliki hak veto terhadap keputusan-keputusan nonprosedural. Namun, LBB tidak berumur panjang karena pecahnya Perang Dunia II dan LBB bubar.

Bubarnya LBB berakibat pada kekosongan suatu organisasi internasional yang mewadahi negara-negara di seluruh dunia dan karenanya Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet memprakarsai berdirinya PBB.

Di tahun 1945, China bergabung ke dalam PBB dam menyepakati adanya prinsip konsensus. Adanya prinsip konsesus memiliki arti bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan harus didasari oleh persetujuan semua pihak.

Dalam suatu artikel yang ada di The American Political Science Review Volume 39 Nomor 5 disebutkan bahwa hak veto yang melekat pada lima anggota PBB sempat menuai perdebatan dalam pembentukan PBB.

Dalam Konferensi San Fransisco, delegasi Amerika Serikat menegaskan bahwa prinsip konsensus harus dicantumkan dalam Piagam PBB dan negara-negara kecil memprotes hak veto yang dimiliki oleh lima negara tersebut.

Protes tersebut membuat Senator Amerika Serikat Conally merobek salinan Piagam PBB dan menyatakan kepada perwakilan delegasi negara-negara kecil jika tak ada hak veto, PBB tidak akan berdiri.

Pada akhirnya, hak veto memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Piagam PBB, tetapi dalam Pasal 27 piagam PBB disebutkan bahwa semua urusan prosedural Dewan Kemanan harus diputuskan besama-sama oleh lima anggota tetap.

Hingga saat ini, penggunaan hak veto yang dimiliki oleh 5 negara tersebut banyak menuai kritik karena dianggap tak demokratis dan menjadi faktor penghambat bagi perdamaian dunia.

EIBEN HEIZIER
Baca juga: Profil Antonio Guterres, Sekjen PBB Jadi Sibuk karena Invasi Rusia ke Ukraina

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu. 

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus