Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Begitu pembunuhan massal terhadap rakyat dimulai di Rwanda, 1994, Safari Jean Bosco dan ibunya, saudara perempuan dan laki-laki mencari perlindungan di sebuah gereja Katolik bersama dengan lebih dari 2.000 orang lainnya yang memadati gedung itu. Beberapa berdoa saat ibu-ibu yang lapar berusaha keras untuk menyusui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 12 April 1994, enam hari setelah genosida terhadap suku Tutsi oleh rezim ekstremis Hutu dimulai, milisi mengepung gereja tersebut. Tak lama setelah itu, Bosco melihat inspektur polisi lokal Fulgence Kayishema dalam sebuah pertemuan dengan pastor paroki dan lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami pikir pertemuan itu ... membahas bagaimana menjaga keamanan kami," kata Bosco kepada Reuters. "Kemudian kami mengetahui bahwa mereka memiliki niat kejam untuk memusnahkan kami."
Milisi Hutu melemparkan granat ke Gereja Katolik Nyange di Prefektur Kibuye, lalu menyiramnya dengan bahan bakar untuk mengobarkan api. Ketika itu gagal, mereka merobohkan gereja dengan buldoser dan sebagian besar yang berlindung di dalam meninggal.
Rabu, setelah 21 tahun buron dari dakwaan genosida atas pembantaian gereja oleh pengadilan pidana perang Rwanda internasional, Kayishema ditangkap di Afrika Selatan, memberikan rasa puas yang telah lama disangkal kepada para penyintas.
"Penangkapan Kayishema telah lama dinantikan. Mudah-mudahan keadilan ditegakkan,” kata Bosco, kini berusia 67, yang selamat dari pembuldoseran dengan bersembunyi di bawah beberapa jasad dari 2000 korban.
Ia adalah tetangga Kayishema sebelum genosida Rwanda 1994, dan berbicara dengan Reuters di pintu depan rumahnya, sambil menatap kosong ke arah tanah milik Kayishema dulu.
Tetangga lainnya, Aloys Rwamasirabo, kehilangan lima dari sembilan anaknya di gereja tersebut. Sisanya dibunuh di tempat lain oleh milisi Hutu.
“Kami bersyukur kepada Tuhan dan pemerintah bahwa dia telah tertangkap,” kata Rwamasirabo, yang membantu membangun tugu peringatan di lokasi gereja tersebut. "Kami ingin dia (Kayishema) datang dan melihat bagaimana tempat itu terlihat sekarang terlepas dari apa yang telah dia lakukan."
Merencanakan Pembantaian
Jaksa pengadilan mengatakan Kayishema membantu merencanakan pembantaian gereja, memperoleh bahan untuk membantu melakukan pembunuhan dan mengawasi pembuangan mayat ke kuburan massal.
Baik Kayishema, yang muncul sebentar di pengadilan Afrika Selatan, Jumat, dan ditahan, maupun pengacaranya tidak mengomentari penangkapannya dan tuduhan terhadapnya.
Pastor paroki, seorang Hutu, dihukum sebagai kaki tangan oleh pengadilan Rwanda pada 2007 dan menjalani hukuman penjara seumur hidup.
Diperkirakan 800.000 etnis Tutsi dan Hutu moderat tewas selama genosida Rwanda, yang didalangi oleh rezim ekstremis Hutu dan dieksekusi dengan cermat oleh pejabat lokal dan warga biasa.
Penangkapan Kayishema berarti sekarang hanya ada tiga buronan yang didakwa oleh pengadilan yang keberadaannya masih belum diketahui, meski Rwanda menilai masih banyak pelaku genosida yang belum ditangkap.
"Penangkapannya memastikan bahwa dia akhirnya akan diadili atas dugaan kejahatannya," kata Serge Brammertz, jaksa dari Mekanisme Residual Internasional untuk Pengadilan Pidana, yang mengambil alih dari pengadilan Rwanda ketika ditutup pada 2008.
REUTERS
Pilihan Editor: Benarkah Adolf Hitler Mati di Indonesia?