Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

internasional

Siti Tak Lagi Kembali

Seorang pembantu rumah tangga asal Indonesia menjadi korban bom Israel di Libanon. Bagaimana para tenaga kerja Indonesia bisa menyebar ke negeri berisiko tinggi?

31 Juli 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita itu meluncur begitu saja ke telinga Rohana dua pekan silam. Siti Maemunah, putrinya yang berusia 24 tahun, tewas diterjang rudal Israel di Libanon. ”Bagaimana bisa kena bom di Libanon? Kan, dia bekerja di Kuwait?” tanya Rohana kepada orang yang meneleponnya dari Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait. Pertanyaan ini kemudian menguak persoalan tenaga kerja di negeri orang.

Siti Maemunah, warga Sukaraja, Su-kabumi, itu meninggal hanya dua hari setelah Israel mulai membombardir Libanon. Menurut kantor berita Ku-wait, Kuna, tenaga kerja asal Jawa Barat itu ditemukan meregang nyawa bersama majikannya, Abdullah Ahmad bin Nikh dan Haidar Nikh asal Kuwait, setelah sebuah rumah di Kota Soor, Libanon Selatan, dihantam empat rudal Israel. Jenazah Siti Maemunah saat ini masih terbujur kaku di Rumah Sakit Al-Hokuma Tyre Nabatiyah, sekitar 80 kilometer selatan Ibu Kota Beirut, daerah tujuan bom dan serangan udara Israel. Jasad Maemunah dibawa pulang oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Luar Negeri melalui Damaskus, Suriah. Tim yang berangkat Jumat malam pekan lalu juga akan mendata tenaga kerja Indonesia (TKI) yang tersisa dan mengevakuasi apabila diperlukan.

Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, para majikan di Timur Tengah yang umumnya mencari nafkah sebagai pedagang memiliki mobilitas tinggi. Mereka sering kali berpindah tempat, termasuk ke kawasan konflik. ”Mereka juga mengajak pembantunya. Padahal untuk (tindakan) seperti itu, tak ada aturan yang jelas untuk melindungi buruh,” katanya. Ini juga kasus yang terjadi terhadap Rosidah dan Casingkem, dua pembantu asal Indonesia yang mengikuti majikannya pasangan suami-istri Bassem Matar Jumeir dari Irak, dan Raidah Kamil Ali, warga negara Yordania yang ditawan para penculik di Irak saat melewati Falujah, markas gerilyawan Sunni Irak.

Tenaga kerja asal Asia, termasuk Indonesia, memang rentan menjadi korban bila bekerja di daerah konflik karena mereka tak memiliki perlindungan.

Secara formal, tak ada tenaga kerja- -Indonesia yang dikirim ke daerah be-risiko tinggi. Dalam catatan resmi Departemen Tenaga Kerja, pada tahun 2001 ada lima pekerja Indonesia yang dikirim sebagai pembantu rumah tangga ke Libanon. Sedangkan menurut Anis Hidayah, ada 10 ribu orang yang bekerja di Libanon secara ilegal.

Para tenaga kerja yang berjumlah se-kitar 10 ribu orang itu adalah bagian da-ri 65 ribu orang yang dikirim secara ilegal ke Timur Tengah oleh PT Adi Santa Ken-cana Mas. Inilah sebuah perusaha-an yang sebetulnya surat izin berusaha-nya sudah dicabut pada November 2002 silam. Ternyata perusahaan ini tetap ber-operasi hingga tahun 2006 dan kini pim-pinannya, Jimmy Chandra, te-ngah di-adili.

Ada siasat yang dirancang agar para tenaga kerja ini tiba di negara-negara yang sebetulnya berisiko tinggi dan tidak masuk dalam daftar. Menurut Anis Hidayah dari Migrant Care, ada 45 ribu tenaga kerja yang ke Suriah, 10 ribu ke Libanon, sisanya ke Israel dan Irak. Para pekerja itu sampai ke negara-ne-gara tersebut setelah mampir dulu ke negara-negara tujuan yang diperboleh-kan Departemen Tenaga Kerja. ”Para tenaga kerja ini biasanya tak langsung ditempatkan ke negara tersebut, tapi ditransit sebagai TKI resmi di negara lain yang aman,” ujar Anis. Mereka kemudi-an disalurkan lagi oleh agen tenaga kerja ke para majikan baru di negara-ne-gara yang berisiko tinggi.

Direktur Jenderal Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Departemen Tenaga Kerja, I Made Arka, mengakui Libanon termasuk negara yang tidak termasuk dalam daftar negara tujuan tenaga kerja Indonesia. ”Peme-rintah tak akan menyetujui penempatan TKI di negara yang sedang diterpa konflik,” ujar I Made Arka. Mengapa begitu banyak yang bersedia menjalan-kan -sia-sat yang begitu membahayakan ini? I Ma-de Arka tak yakin dengan angka yang di-sebut Migrant Care. ”Mungkin 100 orang, karena yang melapor ke KBRI sekitar 60 orang,” ujarnya.

Lazimnya, para pekerja Indonesia lebih senang bekerja di luar negara-ne-gara Arab yang berbentuk kerajaan (emirat). Sebab, di negara-negara Timur Tengah yang bukan emirat, hak asasi mereka lebih terjamin. Mereka tak diperlakukan sebagai budak.

Yang lebih memprihatinkan lagi, me-nurut Anis Hidayah, adalah tenaga ker-ja Indonesia yang berada di negara-ne-gara berisiko tinggi itu tak terkoordinasi. Enam bulan silam, menurut Anis, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang pekerja asal Medan di sebuah toko suvenir di Beirut. Pekerja itu mengaku diki-rim dari sebuah agen di Yordania, enam bulan silam. Bayangkan, ada berapa orang pekerja Indonesia yang sebetulnya berserakan di daerah rawan perang seperti Beirut. Berbeda dengan tenaga kerja asal Filipina dan Sri Lanka yang ditemui Anis saat berkunjung ke Beirut tiga bulan silam. ”Saya kesulitan me-nemui tenaga kerja Indonesia di Libanon. Jadi, saat konflik tiba-tiba terjadi seperti ini, buruh migran dari Filipina dan Sri Lanka bisa segera dievakuasi,” kata Anis.

Itulah sebabnya, pemerintah sangat perlu bertindak agar kasus Siti Maemunah tak terulang lagi.

Ahmad Taufik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus