Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Target Baru Pembunuhan di Filipina

Perang antinarkoba Duterte kini merambah ke rival politik hingga imam Katolik.

19 Juli 2018 | 00.00 WIB

Target Baru Pembunuhan di Filipina
Perbesar
Target Baru Pembunuhan di Filipina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MANILA – Filipina di­­ceng­keram gelombang pem­bunuhan baru yang me­­nar­­get­kan para imam Ka­­tolik dan pejabat se­­tem­pat. Pem­­bu­­nuhan ini di­­duga me­­ru­pakan per­luasan dari perang me­­matikan pemerintah ter­­ha­­dap bandar narkoba, dan memicu spekulasi se­­bagai pembunuhan yang di­­sponsori negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sedikitnya tiga imam dan 16 wali kota serta wa­­kil wali kota tewas sejak Pre­­siden Rodrigo Duterte ber­kuasa pada pertengahan 2016. Tiga wali kota dan satu wakil wali kota tewas hanya dalam kurun waktu sepekan pada awal bulan ini. Mereka adalah Wali Kota Tanauan Antonio Halili, Wali Kota General Tinio Ferdinand Bote, Wali Kota Trece Martires Alexan­der Lubigan, dan Al Rashid Mohammad Ali, Wakil Wali Kota Sapasapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Adapun perang anti­narkoba dilaporkan telah me­­reng­gut lebih dari 20 ribu jiwa, jauh melebihi jumlah pembunuhan di bawah re­­zim mantan diktator Fer­dinand Marcos. Hingga saat ini, belum ada satu pun investigasi menyeluruh terhadap para pelaku atau mo­­tivasi sebenarnya di balik serangan terhadap imam dan pejabat lokal dalam beberapa bulan ter­akhir.

Kelompok hak asasi ma­­nusia Filipina menuding Dutertemantan wali kota yang terpilih di plat­form antikejahatanmeng­gunakan perang nar­koba untuk menindak para lawan politik, baik po­­li­­tikus maupun pejabat gereja, yang gencar meng­kritik kebijakannya."Ke­­ma­­tian para wali kota me­­nim­bul­kan ketakutan bagi politikus, terutama di dae­­rah, sehingga terpaksa mengikuti garis Duterte," kata Carlos Conde, peneliti Filipina untuk divisi Human Rights Watch (HRW) Asia, kepada Time.

Filipina memiliki sejarah panjang pembunuhan po­­litik. Pembunuhan 1983 terhadap Benigno"Ninoy" Aquino Jrseorang po­­li­­tikus dan lawan vokal dari diktator Ferdinand Mar­cosadalah salah satu kekuatan di balik Revolusi Kekuatan Rakyat yang meng­gulingkan autokrat.

Pada 2009, di bawah ke­­pemimpinan Presiden Gloria Macapagal Arroyo, sejumlah orang bersenjata menewaskan sedikitnya 57 orang yang bepergian bersama pendukung po­­li­­tikus yang menantang klan kuat dalam pemilihan lokal di selatan Filipina.

“Serentetan pem­bu­nuh­an wali kota akhirakhir ini mencerminkan iklim im­punitas yang terusme­­nerus, yang diperparah oleh perang narkoba Du­­ter­te," kata penulis dan ana­lis Richard Heydarian ke­pada Time."Sampai saat ini, belum ada kasus pembunuhan di luar proses hukum yang diselesaikan. Ini menunjukkan aturan hukum Filipina telah digerogoti."

Pembunuhan empat pe­­jabat pemerintah lokal dalam rentang waktu satu pekan telah memicu kepanikan nasional. Liga Kota Filipina (LMP) pun meminta pertemuan lang­sung dengan Presiden untuk mengatasi masalah ini.

Mereka khususnya me­­nuntut penjelasan ihwal daftar"politikusnarkoba" yang dirilis Duterte. LMP me­­nuding daftar ini mem­buat banyak pe­­jabat lokal menjadi target pem­bunuhan di luar hukum oleh pasukan negara, mu­­suh pribadi, dan lawan politik.

Tidak ada yang tahu pasti bagaimana daftar Duterte dikompilasi dan be­­rapa banyak orang yang berada di dalamnya. Lem­baga pemerintah utama, yaitu Badan Penindakan Nar­koba Filipina (PDEA) dan Biro Investigasi Nasional (NBI), telah membantah terlibat dalam pembuatan daftar tersebut.

Apa yang lebih me­­nge­jutkan masyarakat Katolik konservatif Filipina ada­lah meningkatnya pem­bu­nuhan terhadap para imam. Bahkan ada yang ter­­bunuh ketika berada di dalam kapel dan selama prosesi.

Seperti yang di­­ke­mu­kakan oleh seorang so­­si­o­log Filipina terkemuka, Randy David, pembunuhan para imam"mewakili per­kembangan yang meng­kha­watirkan dalam kehidupan bangsa," yang"melintasi batas yang bahkan telah di­­hormati oleh generasi Fi­­li­pina selama masa revolusi."

Bukannya memberikan simpati, Duterte justru menuduh salah satu imam yang dibunuh, Pastor Mark Ventura, memiliki hu­­bungan di luar nikah."Para wanita ini adalah istri dan anak perempuan serta ke­­kasih para pengusaha besar, politikus," ujar Du­­terte mengutip laporan dan investigasi polisi.

Harry Roque, juru bicara Duterte, berusaha mengecilkan eskalasi kekerasan mematikan."Kami memiliki masalah pembunuhan di luar proses hukum sejak masa GMA (Gloria MacapagalArroyo), jadi pembunuhan di luar hukum tidak dapat disalahkan kepada perang (Duterte) terhadap narkoba," kata Roque, saat menggambarkan lonjakan baru dalam pembunuhan di seluruh negeri. ASIA TIMES | TIME | DAILY BEAST | SITA PLANASARI AQUADINI


Perang Duterte Melawan Gereja

Presiden Filipina Rodrigo Duterte sudah lama dikenal sebagai orang yang kerap berkata kasar dan sembarangan.

Namun, ketika dia menyebut Tuhan"bodoh" dan"bajingan" dalam pidato bulan lalu, ini adalah langkah yang terlalu jauh bagi banyak warga di negara Katolik yang taat."Siapa Tuhan bodoh ini?" kata Duterte, ketika mengkritik konsep dosa asal."Bajingan ini benarbenar bodoh."

Akar perseteruan Duterte dengan gereja dapat ditelusuri hingga masa kecilnya. Duterte mengaku dia dan beberapa teman sekelasnya pernah dilecehkan secara seksual oleh seorang imam Katolik saat masih anakanak di Kota Davao.

“Presiden secara terbuka mengatakan dia adalah korban pelecehan seksual dari setidaknya (satu) imam Katolik," kata Harry Roque, juru bicara Duterte, kepada Foreign Policy di Manila, akhir pekan lalu."Dari situlah amarah itu berasal. Itu sebabnya dia secara terbuka menuduh gereja munafik."

Namun yang mungkin paling penting bagi Duterte adalah peran yang dimainkan gereja dalam menjatuhkan pemimpin politik masa lalu. Selama rezim Ferdinand Marcos, Kardinal Jaime Sin, Uskup Agung Manila, dengan tegas menentang pemerintahan Marcos dan membantu menjatuhkan sang diktator. Sin, yang terkenal karena perannya yang luar biasa dalam politik, juga merupakan bagian dari upaya untuk menggulingkan Presiden Joseph Estrada pada 2001.

“Gereja merupakan penentu dalam politik Filipina," ujar Richard Heydarian, seorang akademikus dan penulis biografi Duterte yang berbasis di Manila."Jadi Presiden Duterte juga menegaskan kembali kekuasaan negara terhadap kekuatan gereja."FOREIGN POLICY | SITA PLANASARI AQUADINI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus