Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tentara Barat dan Tentara Timur

Pemecatan 150-an tentara Timor Leste adalah salah satu masalah warisan. Mereka kecewa, marah, tapi tak ada kegentingan seperti diberitakan sebelumnya.

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gastao Salsinha kapok menja-di- tentara. Pria 32 tahun asli Er-mera yang hanya lulusan SMP ini berencana banting setir be-ker-ja- di proyek-proyek pemba-ngunan di Timor Leste. Gastao anggo-ta Pasuk-an Pertahanan Timor Leste (FDTL), berpangkat letnan dan bergaji rutin US$ 136 per bulan (sekitar Rp 1,2 juta). Dan tanggungannya banyak: tiga orang anak, plus seorang istri yang sedang hamil. Tapi ia keluar dari tentara dan memilih memburu kerja dan masa depan yang tidak pasti di Timor Leste.

”Di tentara terjadi diskriminasi,” ka-ta-nya kepada Tempo me-lalui hubung-an te-le-pon.- Pertengahan Februari- lalu, Gastao memimpin sekitar 150 anggota FDTL berunjuk rasa di depan Palacio das Cinzas atau Istana Debu, kantor Presi-den Republik Demokratik Timor Leste. Para demonstran berbaris, berseragam ten-tara—tanpa senjata—menuntut agar Presiden Xanana Gus-mao menghapus diskriminasi dalam tubuh angkatan ber-senjata. Mereka menyerahkan petisi- yang berisi bebera-pa tuntutan. Hingga akhir- pekan lalu, Gastao dan kawan-ka-wan masih menunggu keputusan Xanana.

Sang Presiden pun berjanji menyelesai-kan masa-lah itu dan meminta peng-unjuk rasa kembali ke markas. Tapi me-reka menolak. Mereka yakin Pangli-ma FDTL, Brigadir Jenderal Taur Ma-tan Ruak, tidak akan menyelesaikan persoal-an. Xanana sendiri menyesalkan keputusan itu, apalagi mereka juga menyerahkan surat protes ke berbagai perwakilan diplomatik di Dili.

Untuk itulah, di hadapan perwakilan diplomatik negara-nega-ra donor, Xana-na mengakui: se-dang terjadi krisis da-lam kemiliteran Timor Leste. Menurut mantan pemimpin tentara perla-wanan Falintil ini, ada ketidak-mampuan dalam me-nangani per-soalan da-lam FDTL secara tepat. ”Tapi saya mo-hon- setiap orang tidak- panik jika saya katakan bahwa persoalan ini memang ada,” kata Xanana seperti dikutip sa-luran televisi Australia, ABC.

Maklum, presiden negara termuda di dunia ini khawatir dengan pemberita-an- beberapa media massa yang menya-takan telah terjadi krisis berupa per-pecahan dan pembang-kangan di tubuh FDTL. Bahkan konflik tersebut memicu- ke-rusuh-an yang menebar kengerian pada penduduk.

Beberapa pihak di Ti-mor Leste ikut mem-ban-tah berita tersebut. Menteri Luar Negeri Ramos Hor-ta marah. ”Ini jurnal-is-me terburuk, reporta-se tidak jujur dan tidak etis, yang merendahkan kebebasan pers,” katanya, ak-hir Maret lalu. Beberapa pekerja lem-baga swadaya masyarakat yang dihubungi Tempo juga menyatakan hal sama. ”Rakyat di sini telah menanggung tekanan fisik bertahun-tahun, tolong jangan menambah tekanan dan meng-ungkit rasa panik di dalam keadaan yang sulit ini,” demikian ditulis Charlie Scheiner, pekerja di La’o Hamutuk (Berjalan Bersama), lembaga non-profit yang bertugas mengkaji setiap proyek dan kebijakan Timor Leste.

Memang benar, berita ketegangan dan kerusuhan itu dibesar-besarkan. Gastao pun mengakui. Menurut dia, yang mela-kukan protes hingga sempat rusuh itu adalah warga Timor Leste bagian barat. Mereka tidak rela jika saudara-saudara- mereka di ketentaraan ”dipecat” dan di-perlakukan tidak adil. Tapi, tak satu pun temannya sesama pemrotes di depan Istana Debu terlibat tindakan vandal tersebut.

Tak ada suasana genting, tapi itu tak berarti tak ada persoalan di FDTL. Gas-tao menunjuk, ada ketidakadilan antara tentara yang berasal dari wilayah barat atau Loromono dan yang dari timur, Lorosae.

Jika tentara dari barat sakit dan terpaksa istirahat di rumah—bukan di ba-rak—dan kembali masuk dengan membawa surat dokter, komandannya tidak percaya dan dia dianggap meninggalkan tugas. Sedangkan jika tentara dari bagi-an timur sakit, sang komandan akan mem-bantu mencarikan obat. ”Kami se-per-ti anak tiri,” katanya dalam baha-sa- Indonesia dengan logat khas Timor Leste.

Yang lain adalah syarat rekrutmen- pa-sukan baru, pasukan perempuan. Per-atur-annya: selama tiga tahun, se-orang ten-tara perempuan dilarang menikah- dan hamil. Nah, jika pelanggar-an itu dilakukan prajurit perempuan da-ri barat, niscaya dia dipecat. ”Kalau di-lakukan- orang timur, tidak masalah,” kata Gastao.

Yang paling mengganggu adalah so-al kepangkatan dan promosi. Menurut- Gastao, jauh lebih banyak officer—de-mikian istilah Gastao untuk menyebut perwira dari ti-mur. ”Meskipun tentara barat mendapat pendidikan di luar nege-ri pun mereka tidak mendapat promosi, tapi yang dari timur tanpa sekolah ke luar negeri sudah naik pangkat,” ujar Gastao, yang mengaku tidak tahu sebab diskriminasi tersebut.

Ada penjelasannya. Dalam surat yang di-serahkan para peng-unjuk rasa kepada Presiden Xanana, disebutkan pa-ra ko-mandan yang notabene orang timur suka me-ma-ki-maki anak buah mereka- yang, tentu saja, dari barat. ”Kalian da-ri Loromono tidak berperang, kami yang dari Lorosae berperang (melawan penduduk-an Indonesia). Kalian dari Loromono pengecut, tidak berani melawan milisi- (pro-Indonesia). Selama bergerilya, kami tidak pernah mendengar kalian dari Loromono merebut senjata TNI.” Demikian be-be-rapa makian yang di-tulis dalam surat kepada- Presi-den sebagai Comandante Supremo (Panglima Tertinggi) FDTL.

Xanana berusaha menyelesaikan persoalan, meminta 150-an tentara (bukan 591 seperti di berita dan jumlah tersebut adalah total desertir sejak FDTL dibentuk, Februari 2002) kembali ke barak. Tapi Brigjen Taur Matan menyatakan yang berlawanan. Di depan Parlemen Nasional, 16 Maret lalu, ia menjelaskan, status para pemrotes yang tidak kembali ke markas adalah sipil, bukan lagi militer. Perbedaan pendapat antara Xanana dan Taur Matan menegaskan ada-nya persoalan di tubuh FDTL.

Hal itu sebenarnya berakar sejak ma-sa perjuangan Fretilin, sebelum serang-an TNI ke wilayah Timor Timur, 7 Desember 1975. Mula-mula, perlawanan faksi militer Fretilin, Falintil (Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional Timor Leste), kuat. Tapi setelah TNI punya pe-sawat tempur OV-10 Bronco buatan Ame-rika Serikat, yang ampuh menjelajah medan pegunungan-, Falin-til kucar-kacir. Pada akhir 1978 dan awal 1979, me-reka meng-alihkan pusat perlawanan (zona libertadas) Fretilin ke kawasan pegunungan di timur, tengah, selatan. Sedangkan basis-basis di barat hancur. Sebagian besar pemimpinnya dan pasukan mati atau ditangkap.

Nah, yang tersisa kebanyakan adalah kelompok perlawanan ba-gian timur (Ponta Leste dan Centro Leste). Di bawah Xanana, yang saat itu pemimpin regional Ponta Leste, para anggota Falintil da-pat dipersatukan. Mereka membangun pusat perlawanan di wilayah timur dan secara klandestin di kawasan lainnya.

Jadi, tidak mengherankan jika sebagian besar komandan Falintil berasal- dari timur. Contohnya, Konis Santana- adalah pengganti Xanana setelah di-tang-kap pada 1992 di Desa Tutuala, Lospalos, distrik di ujung timur. Lalu, Taur yang kini jadi Panglima FDTL adalah pengganti Konis setelah dia meninggal pada 1998. Taur Matan berasal dari Baguia, Viqueque, yang juga timur. Sedangkan wakil Taur, Lere Anan Ti-mor, adalah asli Iliomar, Lospalos. Cornelio Gama, yang punya julukan Comandante L-7, terkenal punya pengikut banyak anak muda, berasal dari Baucau, juga sisi timur Timor Leste. Mungkin hanya satu dari komandan-komandan penting 1990-an berasal dari barat, yaitu orang dengan nama perjuangan Samba 9 (nama aslinya tidak diketahui) yang dari Liquisa, distrik di barat Dili.

Kemudian UNTAET (Pemerintah Tran-sisi Perserikatan Bangsa-Bangsa) membentuk FDTL dari Falintil. Otomatis semua komandan berasal dari timur—Samba 9 mundur dari FDTL pada 2002. Sialnya, para komandan tentara itu memang punya hobi memaki-maki.

Negara termiskin di Asia Tenggara ini punya banyak persoalan warisan yang menjadi potensi konflik pada masa mendatang. Soal kejahatan perang adalah salah satu yang besar. Besar tuntutan da-ri bawah agar dibentuk pengadilan internasional, tapi malah Xanana menolaknya dan memilih berdamai dengan masa lalu.

Bina Bektiati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus