Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Internasional

Tsai Ing-wen Presiden Perempuan Pertama Taiwan

Tsai Ing-wen meminta Cina menghormati demokrasi di Taiwan dan menjamin tidak akan ada lagi provokasi.

17 Januari 2016 | 01.36 WIB

Ketua dan calon presiden dari Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan, Tsai Ing-wen menyapa pendukungnya saat kampanye terakhir menjelang pemilu di Taipei, Taiwan, 16 Januari 2016. Tsai Ing Wen akan menjadi presiden setelah partai berkuasa, Kuomintang (K
Perbesar
Ketua dan calon presiden dari Partai Progresif Demokratik (DPP) Taiwan, Tsai Ing-wen menyapa pendukungnya saat kampanye terakhir menjelang pemilu di Taipei, Taiwan, 16 Januari 2016. Tsai Ing Wen akan menjadi presiden setelah partai berkuasa, Kuomintang (K

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tsai Ing-wen terpilih menjadi presiden wanita pertama Taiwan. Rivalnya dari Partai Nasionalis, Eric Chu, telah mengakui kekalahan dalam pemilihan umum pada Sabtu, 16 Januari 2016. Chu juga sudah memberi selamat atas kemenangan Tsai.

Tsai, 59 tahun, adalah pemimpin Partai Progresif Demokrat (DPP)--partai yang menginginkan kemerdekaan dari Cina.

Dalam kampanyenya, Tsai berjanji akan mempertahankan status quo dalam menjalin hubungan dengan Cina. Tapi dia juga meminta Beijing menghormati demokrasi di Taiwan dan menjamin tidak akan ada lagi provokasi.

Cina melihat Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri. Mereka pernah mengancam akan mengambil kembali provinsi itu secara paksa jika diperlukan.   

Dalam pidatonya, Tsai menyerukan 'era baru' bagi Taiwan. Dia berjanji akan bekerja sama dengan partai politik lainnya dalam menangani isu-isu besar. Tsai juga mengatakan bahwa keinginan rakyat Taiwan akan menjadi dasar hubungan negara itu dengan Cina.

"Kita harus menjamin bahwa tidak ada provokasi atau insiden yang akan terjadi," kata Tsai. "Segala bentuk tekanan akan menghancurkan stabilitas hubungan antar negara."

Tsai juga berterima kasih pada Amerika Serikat dan Jepang atas dukungan mereka dan berjanji bahwa Taiwan akan berkontribusi dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah itu.

Tsai akan dihadapkan pada salah satu pekerjaan yang paling berat dan paling berbahaya di Asia, yaitu menghadapi Cina yang menyasar ratusan rudal ke pulau tersebut.

Di luar markas DPP, pendukung menangis karena gembira. Seorang dokter mata, David Chen, mengatakan ia ingin Tsai berjuang agar Taiwan lepas dari Cina.

"Kami bukan bagian dari Cina. Dengan tegas kami harus diakui sebagai dua negara yang berbeda," kata Chen. "Jika memungkinkan bagi Tsai, saya ingin Tsai mendorong kemerdekaan. Inilah yang diinginkan rakyat Taiwan."

BBC | REUTERS | LARISSA HUDA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gadi Makitan

Gadi Makitan

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus