Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah pengadilan Nikaragua menghukum Uskup Rolando Alvarez lebih dari 26 tahun penjara, Jumat, 10 Februari 2023, sehari setelah pemuka agama dan pengkritik Presiden Daniel Ortega itu menolak diusir ke Amerika Serikat sebagai bagian dari pembebasan tahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Alvarez, uskup dari keuskupan Matagalpa, dihukum karena pengkhianatan, merusak integritas nasional dan menyebarkan berita palsu, di antara dakwaan lainnya. Dalam sidang Jumat, diumumkan juga bahwa ia akan didenda dan kewarganegaraan Nikaragua-nya dicabut. Semula dijadwalkan akhir Maret, hukuman terhadap sang uskup dipercepat tanpa penjelasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Kebencian diktator Nikaragua terhadap Monsinyur Rolando Alvarez tidak rasional dan di luar kendali,” tulis Silvio Baez, seorang uskup senior Nikaragua yang diasingkan di Miami, pada Twitter setelah pembacaan hukuman itu. Memuji “landasan moral yang tinggi” Alvarez, Baez memperkirakan uskup itu akhirnya akan dibebaskan.
Alvarez termasuk dalam pembebasan tahanan politik kejutan yang mencakup lebih dari 200 orang yang diumumkan pemerintahan Ortega, Kamis, tetapi Alvarez tidak naik ke pesawat yang ditujukan ke bandara Washington DC.
Dalam pernyataan yang disiarkan televisi Kamis malam, Ortega mencemooh para tahanan yang dibebaskan sebagai tentara bayaran kriminal untuk kekuatan-kekuatan asing yang berusaha merusak kedaulatan nasional, dan mengatakan Alvarez telah kembali ke penjara.
Agustus lalu, polisi Ortega menahan Alvarez setelah mengusirnya dari properti gereja di mana ia, empat pastor lain dan dua siswa seminari dari keuskupannya mengurung diri. Seorang kameramen untuk sebuah saluran televisi Katolik juga ditahan bersama mereka.
Bulan ini, tujuh pria dijatuhi hukuman 10 tahun penjara untuk dakwaan pengkhianatan dan penyebaran berita palsu. Tetapi semuanya dinaikkan ke penerbangan menuju Washington, Kamis. Ortega telah menuduh para pemimpin Katolik berusaha untuk menggulingkannya ketika beberapa dari mereka bertindak sebagai mediator dengan kelompok-kelompok protes setelah aksi-aksi protes yang menewaskan 300 orang meletus pada 2018.
Sejak saat itu, pemerintahan mantan pemberontak Marxis era Perang Dingin telah mengusir para biarawati dan misionaris serta menutup radio dan stasiun-stasiun televisi Katolik.
Setelah penahanan Alvarez, Agustus, Paus Fransiskus menyerukan dialog “terbuka dan jujur” untuk memecahkan konflik di Nikaragua. Paus mengatakan dia mengikuti situasi "dengan kekhawatiran dan rasa sakit."
Komentar-komentar itu menandai satu-satunya pernyataan Paus Fransiskus setelah protes 2018, dan dia tidak secara khusus menyebut nama Alvarez.
REUTERS
Pilihan Editor: Walikota Toronto Tiba-tiba Mundur karena Selingkuh dengan Staf