Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

'Cont agion'

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Tony Prasetiantono *) *) Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi UGM JUDUL kolom ini merupakan adopsi dari artikel Sebastian Edwards dari Universitas California Los Angeles (UCLA) yang dimuat dalam jurnal The World Economy edisi Juli 2000. Edwards, yang pernah menulis tentang dampak devaluasi mata uang di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memfokuskan kajiannya terhadap penularan krisis ekonomi yang diderita Meksiko dan Argentina. Contagion, yang berarti penularan atau pengaruh buruk, merupakan konsep yang relatif baru dalam ilmu ekonomi. Menurut penelusuran Edwards, istilah ini kurang begitu dikenal sebelum 1990-an. Di kalangan ekonom, perhatian terhadap isu contagion baru tumbuh setelah terjadi insiden krisis finansial yang merembet ke mana-mana, terutama di negara-negara yang perekonomiannya berakselerasi cepat (emerging economies), pada paruh kedua 1990-an. Di Indonesia, kita baru mulai mengenal dan menggunakan istilah contagious effect (efek penularan), atau sering pula disebut domino effect, ketika perekonomian Indonesia mulai berantakan diterjang krisis, karena tertular Thailand dan Korea Selatan, Juli 1997. Selain dari satu negara ke negara lain yang masih berada di kawasan yang sama, transmisi atau penularan krisis ternyata bisa terjadi antarbenua. Krisis yang melanda perekonomian Rusia pada Agustus 1998, misalnya, ternyata bisa menular sampai ke Meksiko dan negara Amerika Latin lainnya. Berdasarkan banyak pengamatan yang dilakukan terhadap isu ini, dapat disimpulkan dua hal. Pertama, efek penularan ini kian menjadi-jadi seiring dengan tingginya mobilitas modal (capital mobility) di negara-negara yang perekonomiannya berekspansi cepat tersebut (Stiglitz, 1999). Semakin tinggi mobilitas modal, semakin mudah proses penularan. Kedua, negara-negara yang lebih menderita karena penularan ini adalah yang sistem nilai tukar (exchange rate system)-nya mempunyai kredibilitas rendah (Calvo, 2000). Semakin rendah kredibilitas sistem kursnya, semakin parah terkena contagious effect. Kedua karakteristik tersebut ternyata melekat pada perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu negara yang sedang berakselerasi, Indonesia jelas berada di tengah-tengah lalu-lintas modal internasional yang berderajat mobilitas tinggi. Modal bisa masuk ke Indonesia kapan saja, tapi juga bisa keluar sewaktu-waktu, tanpa bisa kita cegah. Ini merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Sayangnya, di tengah situasi demikian, perekonomian kita tidak didukung fondasi kredibilitas sektor moneter yang baik, sehingga krisis menjadi berlarut-larut. Contagious Effect' dari AS Kini, ketika krisis belum berlalu dari perekonomian Indonesia, kita dihadapkan pada kemungkinan terjadinya contagious effect yang lain, yang ironisnya berasal dari Amerika Serikat, yang tengah terancam resesi. Di AS, kini berkembang perdebatan mengenai kemungkinan resesi, yang selanjutnya bisa menyebar ke mana-mana. Pendapat yang paling pesimistis mengatakan, sudah ada sinyal perekonomian AS sedang bergerak menuju ke arah resesi. Kebijakan The Fed (bank sentral AS) menurunkan suku bunga sampai 0,5 persen juga dinilai sebagai tindakan panik yang mendukung sinyal itu. Pihak yang masih optimistis mengatakan, memang benar bahwa perekonomian AS mengalami "jeda" alias slow down, tapi hanya bersifat sementara. Tingkat pengangguran memang naik, dari 3,9 persen (Oktober 2000) menjadi 4 persen (November-Desember 2000), dan kini 4,1 persen (Januari 2001). Tapi angka itu masih jauh lebih baik daripada sebelumnya, yang rata-rata 7 persen. Polemik juga timbul mengenai istilah resesi. Meski masih banyak yang belum sepakat soal definisi resesi, konsep yang paling sering digunakan adalah "perekonomian mengalami kontraksi selama dua kuartal berturut-turut." Terlepas dari perekonomian AS mau tercebur ke jurang resesi atau tidak, Indonesia harus mengantisipasi segala kemungkinan tersebut. Terlebih, andalan utama kinerja perekonomian kita tahun 2000 pada dasarnya bertumpu pada prestasi ekspor atau terkait dengan faktor luar negeri. Ekspor kita pada periode Januari-November 2000 mencapai rekor tertinggi US$ 56,65 miliar. Kinerja yang impresif ini ditentukan oleh dua hal. Pertama, ekspor nonmigas yang tinggi yang disebabkan oleh kuatnya pasar, terutama Jepang dan AS. Ketika perekonomian kedua negara itu sedang sangat sehat, permintaan terhadap ekspor nonmigas Indonesia juga menjadi sangat kuat. Kedua, ekspor migas yang jauh di luar dugaan karena harga minyak internasional meroket sampai di atas US$ 30 per barel selama berbulan-bulan. Pasar minyak internasional sebenarnya sudah sedemikian sempurna (perfect competition)?kesenjangan di antara penjual dan pembeli sudah menyempit. Perbedaan informasi mengenai penawaran-permintaan dan besarnya cadangan tambang, yang biasanya menjadi titik rawan terjadinya spekulasi dan kartel harga oleh produsen, tidak terjadi lagi. Kenyataannya, teori pembentukan harga di pasar minyak dunia itu pun kini terjungkir balik. Harga minyak bisa naik secara tidak proporsional dan tak terduga. Karena itu, harus disadari bahwa prestasi ekspor tahun 2000 tampaknya sangat sulit diulang. Sebab, faktor pendukungnya akan tampil berbeda. Harga minyak dunia memang masih akan cukup tinggi, tapi untuk mencapai di atas US$ 30 per barel lagi jelas tidak gampang. Ekspor nonmigas jelas akan sangat bergantung pada kinerja pasar kita, terutama Jepang dan AS. Jika perekonomian mereka terkena resesi, contagious effect merupakan konsekuensi yang sulit kita hindari. Karena itu, kita jelas sangat berkepentingan terhadap kinerja dan kebijakan ekonomi keduanya. Tindakan The Fed menurunkan suku bunga 0,5 persen adalah untuk menghindari resesi melalui soft landing. Sayangnya, kebijakan The Fed, yang biasanya ampuh, kali ini diragukan. Kebijakan ini semula memang direspons sesuai dengan rencana. Indeks harga saham di New York langsung naik dari 10.646 menjadi 10.945, yang berarti gairah pasar modal naik. Ini sudah sesuai dengan teori. Namun, yang mengherankan, ternyata pada hari-hari berikutnya, indeks harga meluncur turun ke level 10.573 atau justru lebih rendah dari level sebelumnya. Hal yang juga tidak sesuai dengan teori adalah perkembangan kurs. Sebelum The Fed menurunkan suku bunga, kurs dolar adalah 114 yen. Kurs ini dianggap terlalu tinggi (overvalued). Setelah suku bunga diturunkan, harapannya kurs dolar akan melemah. Nyatanya, dolar malah menguat ke posisi 116,6 yen. Kalau begitu, apakah teori ekonomi sudah tidak berlaku lagi? Apakah teori ekonomi sudah "bangkrut", seperti dulu dinyatakan Paul Ormerod: the death of economics? Tidak sesederhana itu untuk menyimpulkannya. Ada berbagai komplikasi yang menyebabkan sebuah teori tidak langsung berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Komplikasi itu terjadi pada sederet asumsi yang mendasarinya, yang bertabrakan antara satu asumsi dan asumsi yang lain. Realitas pasar pada dasarnya merupakan hasil akhir dari interaksi yang terjadi di antara sejumlah asumsi. Namun, realitas yang berbeda dengan harapan ini memang memperkuat dugaan bahwa Alan Greenspan sebenarnya terlambat menurunkan suku bunganya. Akibatnya, kebijakannya tidak langsung efektif. Karena itu, The Fed diduga masih akan menurunkan lagi suku bunganya pada pertengahan 2001 nanti. Hindari Depresi Lazimnya, jika AS memberlakukan suatu kebijakan moneter, secara otomatis itu akan diikuti oleh negara-negara lain. Pada awal 1980-an, misalnya, ketika AS menaikkan suku bunganya, negara-negara lain terpaksa serentak mengikutinya. Soalnya, jika tidak, suku bunga yang tinggi di AS akan menjadi magnet yang luar biasa besar, yang dapat menarik dana besar-besaran dari seluruh dunia (capital flight). Kalau ini dibiarkan, perekonomian negara-negara lain bisa kolaps karena dananya tersedot ke AS. Namun, ketentuan ini bukan harga mati. Meski AS kini menurunkan suku bunganya, Jepang tidak serta-merta mengikutinya. Alasannya, suku bunga di Jepang memang sudah rendah, sehingga langkah itu tidak diperlukan. Tanpa penurunan suku bunga pun, kini kurs yen masih melemah terhadap dolar. Kondisi serupa, tentu dengan dukungan angka-angka yang berbeda, terjadi dalam perekonomian Indonesia. Suku bunga kita sekarang sudah relatif rendah sehingga tidak perlu diturunkan lagi. Sementara itu, target rupiah yang kuat dan stabil masih terus menjadi obsesi yang belum bisa diwujudkan. Target Bank Indonesia yang lain, berupa inflasi rendah di bawah 5 persen, juga merupakan prioritas yang harus direalisasikan pada tahun 2001. Untuk mencapai kedua sasaran itu, penurunan suku bunga jelas bukan merupakan kebijakan yang mendukung. Bahwa AS menurunkan suku bunga, dan kemungkinan masih akan berlanjut menjadi lebih rendah lagi beberapa bulan mendatang, itu harus disadari sebagai upaya mereka untuk menghindari resesi. Kita semua tentunya juga tidak ingin menyaksikan resesi di AS itu akan ditransmisikan ke mana-mana ke seluruh dunia. Adagium sederhana yang kini masih dipegang adalah, kalaupun banyak negara mengalami resesi, hal ini bisa diatasi asalkan masih ada segelintir negara superpower yang perekonomiannya sehat. Mereka itulah yang diharapkan berperan sebagai lokomotif yang bisa menarik "gerbong-gerbong" yang mogok itu. Di kawasan Amerika, tatkala "gerbong" Meksiko, Brasil, dan Argentina mogok, AS berperan sebagai lokomotif yang menariknya. Sedangkan di kawasan Asia, ketika "gerbong-gerbong" Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia juga mogok, Jepanglah yang memainkan peran sebagai lokomotif, dengan cara menggulirkan paket program Miyazawa (Miyazawa plan), yakni investasi di bidang infrastruktur yang diharapkan dapat memancing kegairahan ekonomi. Namun, adagium ini bisa saja hancur berantakan jika dan hanya jika ternyata yang mogok kali ini justru lokomotifnya! Kalau lokomotifnya saja sampai mogok, siapa yang bisa menarik gerbong-gerbong itu? Jika ini terjadi, dunia akan mengalami depresi atau resesi dengan tingkat yang dalam (deep recession) dan meluas. Semoga kekhawatiran ini tidak terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus