Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

<font size=2 color=brown>Azhari Aiyub*</font><br />Raib Kata, Kembali Kata

Penghapusan kata Aceh tidak terlepas dari terbatasnya pengetahuan elite politik Jakarta tentang Aceh. Kembalinya kata Aceh haruslah dilihat dalam kerangka berubahnya wawasan politik tersebut.

23 Mei 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata Nanggroe Aceh Darussalam telah berubah kembali menjadi Aceh.

Pada 2009, Irwandi Yusuf—tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang kini menjabat Gubernur Aceh—lewat keputusan gubernur, menyingkirkan kata Nanggroe Aceh Darussalam dan mengembalikan kata Aceh yang sempat raib selama delapan tahun di dalam lembaran resmi negara. Kata Nanggroe Aceh Darussalam pertama sekali ditetapkan—juga melalui keputusan politik—pada 2001 oleh Presiden Megawati melalui Undang-Undang tentang Otonomi Khusus, sekaligus penetapan atas pemberlakuan Syariat Islam di Aceh.

Penghapusan kata Aceh tidak terlepas dari terbatasnya pengetahuan elite politik Jakarta tentang Aceh. Kembalinya kata Aceh haruslah dilihat dalam kerangka berubahnya wawasan politik tersebut. Kata Nanggroe Aceh Darussalam mulanya ber­ambisi memberikan tekanan tentang suatu tempat yang damai-sentosa sesuai dengan kata Darussalam, sementara Syariat Islam adalah bingkai yang memungkinkan seluruh harapan tersebut terlaksana. Namun kehendak ini menjadi tidak selaras bila dibandingkan dengan tindakan pembunuhan, penculikan, dan kekerasan yang berlangsung pada masa tersebut. Kata Nanggroe, yang berarti negara, adalah usaha yang sia-sia untuk membujuk rakyat Aceh yang telah lebih dahulu disihir oleh propaganda politik GAM untuk membentuk negara sendiri yang terpisah dari Indonesia.

Dari mana lahirnya gagasan Jakarta menghapus kata Aceh dan menggantikannya dengan Nanggroe Aceh Darussalam mungkin dapat diperiksa pada meluasnya makna kata teungku. Teungku adalah sebutan orang Aceh untuk orang alim yang paham wawasan agama. Seorang pemberani, ahli siasat perang, dan pembangkang kelas wahid seperti Teuku Umar belum tentu akan disapa dengan Teungku Umar. Tapi pada zaman pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka lahir banyak teungku di Aceh.

Awalnya, teungku digunakan oleh sesama anggota GAM sebagai bentuk sapaan hangat dan bersahabat. Dalam perkembangannya, laki-laki di Aceh yang tidak terlibat langsung dengan GAM, tapi mendukung gagasan kemerdekaan, menyambut meluasnya makna kata teungku untuk tujuan serupa. Sapaan tengku pada masa itu sama bertenaganya dengan sebutan bung pada masa revolusi fisik Indonesia, atau sama kesannya dengan panggilan kamerad di kalangan orang-orang kiri. Dengan lain kata GAM telah mencipta makna baru untuk kata teungku, yaitu bukan hanya mengacu pada ketaatan dari segi agama, tapi politik sekaligus. Jadi, dapat teungku bayangkan, berapa jumlah orang Aceh yang telah menjadi alim dalam hal ilmu agama dan politik pada masa itu? Sementara Syariat Islam adalah ide yang lahir dari pihak tertentu akibat terancam wawasan mutakhir para teungku tersebut.

Pada masa Operasi Jaring Merah di Aceh, ada banyak teungku diculik orang tidak dikenal. Teungku-teungku itu belum kembali hingga kini. Di lain pihak, pada saat penculikan berlangsung, ada satu kata yang telah lama bersembunyi pulang kembali ke Aceh. Kata yang bersembunyi itu ialah cuak. Cuak adalah seorang pelapor atau mata-mata yang di­rekrut militer untuk menunjukkan keberadaan sang musuh. Lebih lanjut, cuak menjadi kata yang sangat intim untuk menjelaskan siapa gerangan di balik setiap penculikan ataupun pembunuhan.

Besar kemungkinan kata cuak pertama sekali terdengar tahun 1970-an di kegelapan hutan-hutan Aceh tempat kaum gerilyawan berlindung dari kejaran militer Indonesia. Didorong oleh pertanyaan seorang teungku putih dari Universitas Cornell tentang apa arti kata cuak kepada saya, lalu saya bertanya kepada teungku-teungku di kedai-kedai kopi di Aceh, kapan pertama sekali mereka mendengar istilah cuak. Semua teungku tahu artinya dan sekali peristiwa bahkan pernah hidup dengan sosok yang mengerikan ini, akan tetapi tidak seorang pun pernah mendengar kata ini sebelum zaman penculikan berlangsung.

 *) Sastrawan, tinggal di Banda Aceh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus