Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau benar ada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang duduk di Senayan berbekal surat amar putusan Mahkamah Konstitusi yang dipalsukan, tentu ini perkara serius yang tak boleh didiamkan. Mereka bukan saja tidak sah menduduki kursi terhormat itu, tapi juga harus dihukum lantaran melakukan perbuatan pidana terencana.
Cara mengusutnya mudah belaka. Ketimbang adu mulut di media massa, mending Dewan, yang bisa diwakili Komisi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, dan Aparatur Negara, segera mengambil langkah konkret. Rapat dengar pendapat dengan Badan Pengawas Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum belum lama ini, yang lantas mencuatkan isu ”kursi haram” itu, sebaiknya dilanjutkan dengan memanggil kembali petinggi kedua lembaga.
Rapat lanjutan harus dipersiapkan lebih matang dan terfokus pada dugaan terjadinya tindak pidana tadi. Pernyataan ”lupa-lupa ingat” tentang surat Mahkamah Konstitusi yang dipalsukan di dua daerah pemilihan, sebagaimana diucapkan seorang pejabat Badan Pengawas, kudu dikejar akurasinya. Mereka harus dimintai pertanggungjawaban atas pernyataan yang bisa berdampak serius ini. Kopi surat ”aspal” tadi berikut dokumen pendukung lain yang masih tersimpan di Badan Pengawas harus ditunjukkan dan diserahkan di depan rapat terbuka Dewan.
Rada aneh jika Badan Pengawas sejauh ini tak terdengar menindaklanjuti temuan gawat itu. Padahal bukan perkara susah untuk sekadar mengklarifikasi surat palsu itu kepada Komisi Pemilihan Umum dan terutama ke Mahkamah Konstitusi, pihak yang namanya dicatut melalui surat abal-abal itu. Ketika surat palsu itu ditemukan, seharusnyalah Badan Pengawas melaporkan perbuatan kriminal ini kepada polisi. Tentu lain ceritanya jika mereka melaporkan perkara kriminal ini ketika sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, pada 2009.
Temuan penting ini perlu segera dikonfirmasi Komisi Hukum Dewan dengan mengundang Mahkamah Konstitusi. Ketua Mahkamah, Mahfud Md., bisa ditanya ihwal dua surat ”aspal” temuan Badan Pengawas itu, sekaligus perihal laporannya yang bakal membuka tabir baru: dugaan pemalsuan surat amar putusan Mahkamah yang melibatkan Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat Andi Nurpati ketika menjadi Komisioner KPU. Dugaan pemalsuan ini sudah dilaporkan ke Markas Besar Kepolisian pada 14 Februari tahun lalu, tapi baru diusut ketika Mahfud berkeluh-kesah secara terbuka.
Laporan Mahfud ini belum kedaluwarsa. Dasarnya juga kuat, yakni hasil investigasi yang dipimpin hakim konstitusi Abdul Mukthie Fadjar. Investigasi menyimpulkan bahwa kejahatan ini melibatkan pegawai Mahkamah dan seorang mantan hakim. Dugaan keterlibatan Andi Nurpati itu lantaran dia membiarkan Dewie Yasin Limpo, kader Partai Hanura, mendapat kursi legislatif dengan menggunakan surat ”aspal” tertanggal 14 Agustus 2009. Meski penetapan itu akhirnya dibatalkan, Andi setidaknya diduga menyembunyikan surat yang asli, tertanggal 17 Agustus tahun yang sama.
Bola panas kasus ini kini berada di Kepolisian. Ketika rapat bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, Komisi Hukum Dewan bisa mencecar pertanyaan seputar kelambanan polisi bertindak. Mereka baru bergerak, bayangkan, 15 bulan setelah tokoh sekaliber Mahfud melapor. Polisi bahkan mengaku sedang berupaya mendapatkan dua versi surat itu. Kelambanan ini wajar menimbulkan syak adanya wajah ganda polisi dalam penegakan hukum. Mereka tangkas mengusut perkara ”pesanan” penguasa—meski tak dilapori—tapi letoi manakala harus mengurus kasus petinggi partai berkuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo