Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH mengikuti polemik mengenai hukum waris Islam seperti termuat di TEMPO, 31 Oktober, Agama dan Komentar di TEMPO, 21 November, saya lebih condong mendukung jalan pikiran Bapak Menteri Agama Munawir Sjadzali. Mengapa? Quran dan Hadis turun pada zaman jahiliyah, sehingga segala sesuatunya disesuaikan dengan keadaan pada masa itu. Haruskah kita mengikuti ketentuan-ketentuan sosial, yang berlaku 15 abad ying lalu? Sebab, sudah tentu ada hal-hal yang tidak relevan lagi di abad ke-20, yang serba canggih, ini baik kultur maupun struktur sosialnya. Pak Haji Effendi Yahya mengatakan bahwa kalam Allah itu absolut, tidak boleh dimodifikasi. Hal itu, saya kira, perlu dikaji kebenarannya. Sebab, Allah sendiri adakalanya bersikap moderat terhadap firman-Nya. Maka, mengapa manusia sendiri bersikap kaku, fundamentalis. Manusia diberi akal dan pikiran untuk menelaah dan mempertimbangkan segala masalah, baik atau buruk. Salah satu sikap Allah yang moderat tercantum dalam Surah Al-Baqarah ayat 173, yang antara lain memperkenankan manusia makan babi, bangkai darah, dan daging yang disembelih tanpa menyebui asma Allah, bila terpaksa. Sikap moderat lainnya tercantum juga dalam Surah Al-Baqarah ayat 286 yang, antara lain, menegaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Contoh yang paling aktual adalah sebagai berikut. Waktu Pangeran Sultan dari Arab Saudi mengikuti penerbangan ke angkasa luar sebagai astronaut, ia kebingungan bagaimana melakukan salat lima waktu. Sebab, di angkasa luar setiap 90 menit terjadi pergantian siang dan malam. Akhirnya, sang pangeran minta petunjuk bapaknya di bumi. Ayahnya menjawab, 'Wis to le', sembahyango sak kepenakmu, pokoke kowe sembahyang. (Sudahlah, Nak. Sembahyanglah seenakmu, pokoknya kamu sembahyang.)" Ini jelas menunjukkan bahwa modifikasi kalam Allah itu bisa ditoleransi sesuai dengan ayat-ayat tersebut. Juga, dalam hal waris. Andai kata saya mempunyai anak laki-laki yang kaya-raya, sehingga harta bendanya tidak habis untuk tujuh turunan, maka anak saya yang perempuan, yang hidupnya kesrakat, akan saya beri warisan lebih banyak dari anak laki-laki. Apalagi, bila anak perempuan itu setia, gati, dan open terhadap orangtua. Sebab, anak laki-laki, biasanya, cenderung berpolarisasi kepada keluarga istrinya, kurang mempedulikan orangtuanya sendiri. Itu namanya menggunakan nalar sehat, berbuat adil dan baik alias ma'ruf. Itu sesuai dengan ayat 180 Surah Al-Baqarah. MOECHAROR Jakarta (Alamat lengkap pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo