Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI mana datangnya kekejaman? Saya punya tiga buah cerita. Pertamaa dari novel Karamazov Bersaudara Dostoyewski: Sepasukan serdadu asing menduduki sebuah desa, dan seo-rang anak bayi ditembak mati. Para serdadu itu mengang-kat bayi itu, membopongnya, dan menepuk-nepuknya agar ketawa. Salah seorang prajurit menodongkan pistolnya empat inci dari wajah si orok. Si orok ketawa, mengulurkan tangannya yang kecil ke arah revolver itu, dan di saat itu si serdadu menarik picu. Senjata api itu meletus. Wajah si bayi hancur, otaknya terberai.
''Aku pikir jika Setan tidak ada, manusia telah menciptakannya," kata Ivan Karamazov kepada saudara kandungnya, Alyosha.
Cerita kedua: Hampir tiga milenia yang lampau, Ashurnasirpal II, raja Asiria, setiap ia menaklukkan sebuah kota musuh, ia memerintahkan prajuritnya agar menghimpun seluruh penduduk yang kalah. Tentara itu pun memotong kaki dan tangan orang-orang taklukan itu, hingga tinggal batang tubuh. Kemudian mereka pun ditinggalkan terhimpun di lapangan kota dengan darah yang mengalir terus sampai mati.
Cerita ketiga: Di tahun 1968, sorang tentara bercerita kepada saya bagaimana ia membunuh seorang anggota PKI di desanya. Ia ikat orang itu dengan kabel, dan kabel itu ia sambungkan ke sebuah mesin diesel. Lalu strom ia jalankan. Beberapa belas menit orang itu kesakitan, lalu mati.
Horor -- bisik seorang tokoh di tengah rimba Vietnam dalam film Apocalypse Now. Horor tak bisa menjadi konsep. Horor melahirkan imajinasi. Dalam bahasa Inggris ada sebuah kata yang tidak persis batasannya, yaitu evil, yang bisa berarti ''kejahatan", bisa berarti ''kekejian". Dalam bahasa Indonesia, ''kejahatan" bisa hanya berarti tindakan kriminal, sementara ''kekejaman" lebih mirip dengan ''kebrutalan". Tapi, dengan atau tanpa kata, horor itu berlangsung. Sebuah metafor pun lahir.
Iblis adalah kiasan itu. Ia jadi sosok yang mengonkretkan apa yang buas, bengis, dan keji—kekejaman yang dibenarkan untuk dilakukan dengan atau tanpa dalil. Ia pun hidup dalam cerita-cerita agama, diucapkan dalam khotbah, dilukiskan dalam arca. Ia muncul dalam khayal sebagian makhluk dengan sayap besar, tanduk melengkung, mulut yang menyeringai.
Namun personifikasi bisa menimbulkan jarak. Di sini kejahatan seakan-akan berada di sebuah bawah-bumi yang lain, sebuah kekuatan gelap yang sekali-sekali datang mendekat. Seorang teman punya sebuah lelucon. Ada seorang yang bepergian sendiri, naik kuda, di padang pasir berbulan-bulan. Berminggu-minggu ia berhasil menahan nafsu syahwatnya. Tapi akhirnya ia gagal. Pada suatu pagi, karena tak tahan lagi, ia menyetubuhi kudanya. Tapi segera ia menyesal. Ia pun bersembahyang memohon ampun kepada Tuhan: ''Ya, Allah, ampunilah hamba-Mu. Hamba telah terbawa oleh bujukan Iblis". Tidak jauh dari situ, Iblis sedang duduk dan mendengar. Ia kesal: ''Dia yang enak, kok, saya yang disalahkan".
Jika Setan tidak ada, manusia menciptakannya, kata Ivan Karamazov. ''Menciptakan" Iblis bukan hanya muncul sebagai pelaku kekejaman yang mengerikan. ''Menciptakan" Iblis juga berarti memisahkan dunia yang jahat dari manusia, dan terbentanglah batas antara yang jahat dan yang baik di dalam kesadaran. Tapi bisakah? Benarkah itu?
Orang seperti Ivan Karamazov tahu bahwa batas itu sebenarnya hanya sesuatu yang khayali. Pandangan ini bukan saja meletakkan manusia sebagai sesuatu yang ambivalen. Lebih penting dari itu, di sini manusia tidak bisa cuci tangan. Ketika para serdadu menembak wajah bayi itu dari jarak dekat, horor yang menghantui kita ialah karena saat itu kita tahu bahwa para algojo itu sama dengan yang kita kenal dalam cermin.
Dalam keadaan terbatas-bata, kita bersua dengan mitos. Mitos melindungi manusia dari kesalahan menafsirkan hidup. Ia bagian yang dekat dengan bawah-sadar kita—ada harapan, ada kengerian—yang meluncur ke publik, tumbuh, berkembang biak. Ia menyajikan ambiguitas. Dengan itu manusia pun bisa menemukan ambiguitas hidup, yang dimulai dari ambiguitas Tuhan atau dewa-dewa, ketika kejahatan hadir. Dalam teks Hindu lama, dewa dan setan-setan keduanya berbicara kebenaran dan keduanya berbicara ketidak-benaran.
Memang, kemudian di Iran kuno orang merumuskan bahwa dalam hidup ada asas yang baik, yang membawakan cahaya, dan ada asas yang jahat, yang membawakan kegelapan. Keduanya tak tergantung satu sama lain. Dualisme ini kemudian kita temukan dalam pemikiran Yudaisme akhir, dalam agama Kristen dan Islam. Meskipun dengan catatan: bagi agama-agama ini, Iblis juga adalah ciptaan Tuhan, dan dengan demikian yang terjadi bukanlah ''pertandingan" yang seimbang. Tuhan pada akhirnya juga Sang Hakim. Manusia tidak berada sebagai campuran antara keduanya. Ia diciptakan menurut citra Tuhan dan kemudian menjadi wakil-Nya di bumi.
Manusia di sebelah sini dan Iblis di sebelah sana—barangkali inilah cara untuk menandaskan kebaikan anak cucu Adam. Kata-kata Anne Frank yang menyentuh ialah ketika gadis kecil Yahudi itu—yang hidup di bawah kebencian yang menguasai Eropa—menulis dalam catatan hariannya bahwa ''manusia pada dasarnya baik". Tapi benarkah Hitler benda asing yang tak akan kekal?
Mungkin manusia tak pernah bisa ditentukan dari pada dasarnya. Dalam diri setiap kita tersembunyi seorang algojo, tapi manusia bisa merasa bersalah. Juga manusia bisa merasa malu. Ia bisa berbicara tentang kekejamannya sendiri, karena "malu", lebih dari "rasa bersalah" adalah masalah publik. Mungkin itu sebabnya Ben Anderson menyerukan, ''Hiduplah Rasa Malu!", ketika ia mengimbau kita untuk tak duduk pasif terhadap kekejaman tahun 1965, ketika beberapa ratus ribu orang ''komunis" dibantai.
Tak cuma pasif, sebab yang terjadi di tahun 1965 itu bagian dari ruang hidup kita sekarang. Solzhenitsyn berkata dari pengalamannya di bawah Stalin: ''Dengan berdiam tentang kejahatan yang keji, dengan menguburkannya jauh di dalam diri kita..., kita menanamnya". Kelak kejahatan yang ditanam itu pun akan ''tumbuh beribu-ribu lipat". Tumbuh, dari 1965 ke Tanjungpriok, Lampung, Timor Timur, Aceh, Irian...
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo