Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keinginan Kementerian Badan Usaha Milik Negara agar Bank Mandiri mengakuisisi Bank Tabungan Negara memang harus disikapi dengan cermat. Akuisisi ini bisa menguntungkan Bank Mandiri dan BTN, tapi bisa pula berpotensi merugikan banyak pihak, terutama rakyat dari kelas menengah-bawah yang membutuhkan kredit pemilikan rumah bersubsidi. Akuisisi ini seharusnya tidak merugikan nasabah, karyawan BTN, dan mereka yang membutuhkan kredit bersubsidi.
Pekan lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan menargetkan akuisisi itu selesai dalam tiga bulan. Dalam pelaksanaannya, Kementerian BUMN akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa BTN. Rapat ini bertujuan melepaskan 60,14 persen saham pemerintah. Setelah pemerintah melepaskan saham mayoritasnya, Mandiri segera mengambil alih BTN. Meski berada di bawah Mandiri, BTN nantinya akan tetap menjadi bank sendiri dengan misi yang sama seperti sekarang ini, menyalurkan dana perumahan.
Penggabungan itu tentu akan menguntungkan secara bisnis. Dengan pengalihan saham BTN dari pemerintah ke Mandiri, aset Bank Mandiri akan menjadi Rp 850 triliun. Artinya, ada peningkatan hampir Rp 120 triliun dari aset pada kuartal terakhir tahun lalu. Penambahan aset yang besar ini diperlukan oleh Mandiri dalam persaingan dengan bank-bank asing. Terutama untuk menghadapi Pasar Terbuka ASEAN tahun depan. Penggabungan juga akan menyederhanakan bank-bank milik pemerintah, sehingga mudah berkonsolidasi dan menyatukan visi.
Akuisisi seharusnya juga bisa memberikan keuntungan kepada BTN—yang berdasarkan Surat Menteri Keuangan pada 1974 berkewajiban memberikan kredit pemilikan rumah. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, setiap tahun Indonesia membutuhkan 800 ribu rumah baru yang harus didanai BTN. Untuk membangun 800 ribu rumah, setiap tahun BTN memerlukan dana Rp 120 triliun.
Tahun lalu, bank itu hanya mampu memberikan kredit pada pembangunan sekitar 400 ribu rumah. Kekurangan yang besar ini bertambah tiap tahun sejak pertengahan 1990-an—kini mencapai 15 juta rumah. Untuk mengatasinya, BTN sempat meminta pemerintah menambah porsi modal dalam Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Dengan akuisisi, BTN bisa mendapat dana segar dari Mandiri dan tak perlu meminta suntikan dari pemerintah.
Meski banyak hal positifnya, hendaknya Menteri BUMN melakukan akuisisi itu dengan prosedur yang semestinya, yaitu meleÂwati Komite Privatisasi yang diketuai Menteri Koordinator Perekonomian dan bertemu dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Proses ini memang melelahkan dan butuh waktu dibanding hanya menggelar rapat umum pemegang saham luar biasa.
Dahlan yang juga pebisnis itu memang terkenal suka potong kompas demi efisiensi. Toh, ini hanya memindahkan uang pemerintah dari kantong kanan ke kantong kiri. Baik BTN maupun Mandiri adalah milik pemerintah. Tapi ada hal yang hilang dalam proses potong kompas itu: transparansi. Sampai saat ini, Dahlan belum melansir rencana pengembangan BTN setelah diakuisisi Mandiri. Rencana pengembangan ini perlu diketahui publik, untuk menjamin BTN tetap pada jalurnya, yaitu membiayai perumahan rakyat.
Sejumlah pihak khawatir, setelah berada di bawah Mandiri nanti, kredit perumahan BTN lebih menyasar pasar kelas menengah-atas, yang lebih menguntungkan, dan melupakan kredit perumahan bersubsidi. Kekhawatiran ini wajar karena hal itu pernah terjadi pada sejumlah bank yang dimerger. Peran bank seperti Bank Pembangunan Indonesia (mendukung pengembangan sektor perkebunan, industri, dan pertambangan) atau Bank Exim (mendanai ekspor-impor) menghilang saat dilebur ke Mandiri pada 1999. Anak usaha, mau tak mau, harus mengikuti kebijakan perusahaan induknya.
Hal seperti itulah yang tak boleh terjadi pada BTN.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo