Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ringkasan Berita
PENGUNGKAPAN kasus suap izin ekspor benih bening lobster alias benur tak cukup selesai setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Aroma tak sedap kebijakan ekspor benur ini sejatinya sudah terendus sejak Edhy mengeluarkan peraturan itu pada Mei 2020.
Penangkapan Edhy sejatinya menjadi momentum untuk memperbaiki praktek berburu rente ekonomi tanpa kendali dan berlindung di balik peraturan.
Jika diibaratkan ikan, kebijakan ekspor benih lobster sudah busuk dari kepalanya. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo membuka kembali pintu ekspor benur pada Mei lalu merupakan pangkal terjadinya persekongkolan. Penangkapan Edhy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya menjadi pintu masuk untuk mengusut tuntas praktik curang itu.
Semestinya bukan hal sulit bagi KPK menelusuri siapa saja yang terlibat. Investigasi majalah Tempo pada Juli lalu menemukan bau tak sedap dari kebijakan itu. Indikasinya, antara lain, masuknya nama sejumlah orang dekat Menteri Edhy dalam daftar perusahaan eksportir benur. Sebagian eksportir itu juga berjejaring dengan pengurus Partai Gerindra dan partai politik lainnya.
Sejauh ini, hanya para eksportir itu yang diuntungkan oleh pencabutan larangan ekspor benur. Membeli seekor benur dari nelayan seharga Rp 5.000-15.000, mereka lalu menjualnya Rp 65 ribu ke luar negeri. Tak puas atas keuntungan besar itu, mereka juga memonopoli perusahaan kargo pengiriman bayi lobster dengan membentuk Perkumpulan Pengusaha Lobster Indonesia (Pelobi).
KPK telah menetapkan Edhy dan enam orang lainnya sebagai tersangka kasus suap jual-beli kuota ekspor benur dan monopoli pengangkutannya. Namun komisi antikorupsi seharusnya tak berpuas diri dengan menangkap Edhy dan orang-orang dekatnya. KPK perlu mengusut semua perusahaan—termasuk yang terafiliasi dengan politikus dari partai selain Gerindra—yang menikmati keuntungan tak wajar dari ekspor benur. Bila tidak, KPK akan mudah dianggap tebang pilih.
Penangkapan Edhy juga selayaknya menjadi momentum untuk membenahi kebijakan di sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan yang mengandalkan kegiatan ekstraktif, seperti mengekspor benur, jelas banyak mudaratnya, baik bagi kelestarian alam maupun bagi keuangan negara. Ketika ekspor benur dilarang oleh Menteri Susi Pudjiastuti, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume ekspor lobster siap konsumsi meningkat dari 1.017 ton (senilai US$ 11,3 juta) pada 2016 menjadi 1.286 ton (US$ 16 juta) pada 2017.
Presiden Joko Widodo sudah saatnya mengambil langkah konkret untuk mengakhiri perburuan rente yang semakin tak terkendali di banyak lembaga pemerintah. Presiden semestinya segera menganulir pencabutan larangan ekspor benur—juga kebijakan lain yang mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan ekonomi jangka pendek.
Jokowi juga seharusnya memilih orang yang tepat untuk menggantikan Edhy. Ironisnya, Jokowi malah menunjuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan untuk mengisi sementara posisi yang ditinggalkan Edhy. Sejak awal, Luhut mendukung pencabutan larangan ekspor benur. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo