Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERPILIHNYA CTCorp Infrastruktur Indonesia sebagai calon tunggal operator Pelabuhan Patimban memantik kecurigaan bahwa manfaat terbesar dari megaproyek Rp 43 triliun ini hanya bakal dinikmati mereka yang berada di sekitar kekuasaan. Sejak sebelum tahap prakualifikasi lelang, sudah ada beberapa indikasi bahwa Kementerian Perhubungan menginginkan konsorsium yang dipimpin konglomerat Chairul Tanjung ini menjadi pemenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Permainan sudah terasa dari aturan tender yang terus berubah. Beberapa peserta lelang mengaku tak bisa ikut tender karena banyak peraturan yang seolah-olah mengarahkan pemenang ke perusahaan tertentu. Konsorsium PT Pelayaran Tempuran Emas (Temas) Tbk, misalnya, gugur karena di tengah jalan muncul syarat minimal aset Rp 16 triliun, yang tidak dapat mereka penuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peserta lelang lain, konsorsium PT Samudera Indonesia Tbk dan PT Jababeka Tbk (Persero), sebenarnya bisa memenuhi ketentuan jumlah aset. Nilai aset gabungan mereka mencapai Rp 20 triliun. Namun mereka dihadang ketentuan perizinan. Konsorsium ini mendaftarkan izin badan usaha pelabuhan milik anak usaha PT Samudera, yakni PT Pelabuhan Samudera Palaran. Hal ini ditolak karena panitia lelang Kementerian Perhubungan berkeras izin wajib dimiliki perusahaan pendaftar lelang, bukan anak perusahaannya.
Yang paling membuat kening berkerut adalah kisah di balik gagalnya PT Pelindo II (Persero). Sejatinya, badan usaha milik negara ini memenuhi semua ketentuan untuk menjadi pemenang, tapi mereka urung mendaftar setelah didesak Kementerian Perhubungan. Ada kabar, Direktur Utama Pelindo II (ketika itu) Elvyn G. Masassya sampai dicopot gara-gara berkeras ikut tender calon operator Patimban.
Di Patimban, CT Corp berkongsi dengan PT Indika Logistic & Support Services, PT U Connectivity Services, dan PT Terminal Petikemas Surabaya. Banyak orang tak tahu bahwa U Connectivity adalah anak perusahaan TRG Investama milik Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono. Pengusaha ini dikenal sebagai penyokong utama Presiden Joko Widodo. Sementara itu, Indika juga dikenal sebagai grup konglomerasi yang dekat dengan pemerintah.
Indikasi bagi-bagi rezeki di Patimban makin santer karena pembangunan pelabuhan ini memang bermasalah sejak awal. Dirancang sebagai proyek strategis nasional, pelabuhan ini semula didesain berlokasi di Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Lokasi ini sekitar 55 kilometer di utara kawasan industri Karawang sehingga pelabuhan baru diharapkan bisa mengurangi kepadatan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, yang dikelola Pelindo II.
Dengan alasan laut dekat Cilamaya terlalu dekat dengan jaringan pipa dan rig milik Pertamina, area pembangunan malah menjauh dari kawasan industri: bergeser 50 kilometer ke timur ke arah Patimban. Ini wilayah yang sama sekali baru, bahkan belum punya akses transportasi yang memadai. Walhasil, sebelum jalan tol dibangun, banyak perusahaan bakal berpikir panjang memakai Pelabuhan Patimban.
Kebijakan pemerintah membangun pelabuhan baru yang jaraknya berdekatan dengan Tanjung Priok juga menimbulkan tanda tanya. Priok adalah pelabuhan besar dengan sarana pelabuhan ekspor otomotif yang prima. Tanpa penambahan pasar pengguna, Priok dan Patimban pasti akan berebut klien. Jika perusahaan pengguna Priok pindah ke Patimban, pemerintah bisa merugi karena profit BUMN itu melorot. Sementara itu, jika Patimban sepi, pemerintah bisa kesulitan melunasi utang pembangunannya. Ketakjelasan strategi pembangunan Patimban inilah yang membuat khalayak curiga: jangan-jangan proyek ini memang sekadar ajang berbagi cuan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo