Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Staf Kepresidenan Moeldoko tak sepatutnya terlibat dalam penggalangan kongres luar biasa Partai Demokrat. Langkah politik itu bisa ditafsirkan sebagai usaha pemerintah Joko Widodo membentuk kartel politik. Jika berhasil, kontrol terhadap kekuasaan pemerintah akan makin rumpang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrat bersama Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional merupakan kekuatan yang masih tersisa di luar pemerintah Jokowi. Proporsi kursi mereka di Dewan Perwakilan Rakyat minoritas, hanya 26 persen. Jika 9 persen kekuatan Demokrat bisa diambil alih, kekuatan oposisi makin tak berarti. Di sinilah bahaya manuver Moeldoko untuk publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demokrasi Indonesia akan terancam jika tak ada lagi kekuatan pengimbang di luar pemerintah. Penguasa bisa dengan mudah mengeluarkan berbagai kebijakan yang merugikan publik. Atau, sebaliknya, menyingkirkan hal-hal penting yang seharusnya dilakukan. Kecenderungan itu sudah terlihat sekarang, ketika Demokrat masih berada di luar kekuasaan.
Pemerintah Jokowi membangun pemerintahannya dengan merangkul semua kekuatan politik. Ia membagi-bagi kekuasaannya demi alasan stabilitas. Ia bahkan memasukkan Prabowo Subianto, lawannya pada pemilihan presiden 2019, dan Partai Gerindra ke kabinet. Hasilnya, dua menteri terlibat kasus korupsi pada tahun pertama periode kedua pemerintahannya.
Kekuasaan Jokowi juga punya sejarah dalam memasuki permainan politik sejumlah partai, seperti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Kepemimpinan partai-partai itu pun dipegang mereka yang mendapat “restu” dari pemerintah. Kini usaha serupa terlihat hendak dilakukan guna menguasai Partai Demokrat melalui Moeldoko. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia itu memang menyatakan Jokowi tidak mengetahui langkah politiknya. Namun sejarah intervensi urusan partai lain membuat klaim Moeldoko ini susah diterima.
Sebagai pejabat publik, Moeldoko memasuki gelanggang perebutan kekuasaan internal Partai Demokrat. Kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono memang tidak memuaskan sebagian kelompok di partai itu. Tak mengherankan, muncul gerilya untuk menyingkirkannya. Moeldoko seolah-olah memanfaatkan kesempatan dengan mendatangi sejumlah pertemuan, yang kemudian dibuka ke publik oleh Agus Harimurti.
Moeldoko sebenarnya bisa menggunakan cara yang lebih bermartabat: masuk ke partai itu, lalu bersaing menjadi ketua umum. Kita tahu, Moeldoko menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Hubungan baiknya dengan pendiri Demokrat itu sebenarnya bisa memuluskan jalan. Sayang, ia lebih senang memilih pintu belakang.
Kepemimpinan Agus Harimurti pun kini diuji. Ia bukan lagi seorang mayor Angkatan Darat, pangkat terakhir yang ia tinggalkan ketika menjadi calon Gubernur DKI Jakarta pada 2017. Ia juga mesti membuktikan tak memimpin partai hanya karena memiliki garis keturunan dengan sang pendiri, Susilo Bambang Yudhoyono. Agar berguna bagi demokrasi, ia perlu mentransformasikan Demokrat dari “partai tokoh” menjadi “partai basis”.
Demokrat merupakan partai yang dibangun untuk mendukung tokoh. Tujuan itu sukses mengantarkan Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden pada 2004-2014. Partai Gerindra dan Partai NasDem masuk kelompok yang sama. Kelompok partai kader bisa dilihat pada Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, juga partai lama, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar.
Demokrasi yang kuat disokong oleh partai politik yang kuat dan bisa menjadi alat artikulasi massa, bukan partai yang mengempis seiring dengan hilangnya tokoh patron. Agus Harimurti memiliki kesempatan untuk memperkuat demokrasi itu. Langkah pertamanya, ia mesti menyelesaikan tanpa drama manuver internal pesaingnya yang melibatkan Moeldoko.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo