Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI Demokrat diterpa isu kudeta setelah Agus Harimurti Yudhoyono mengatakan pada Senin, 1 Februari 2020, ada upaya mendongkelnya dari posisi ketua umum partai berlambang mirip Mercy itu oleh segelintir kader dan eks kader partai. Bahkan Agus menyebut ada pejabat pemerintah di balik gerakan kudeta terhadap dirinya tersebut. Belakangan nama Moeldoko santer disebut-sebut sebagai pejabat yang dimaksud Agus, meski Kepala Staf Kepresiden itu membantahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada era Soeharto, hanya orang pilihan pemerintah yang bisa menduduki kursi ketua partai. Kursi Ketua Partai Demokrasi Indonesia, misalnya, kerap berpindah tangan jika tak sejalan dengan pemerintah. Majalah Tempo edisi 3 Desember 1993 berjudul Kisah Ketua Akomodatif menceritakan bagaimana pemerintah campur tangan dalam pemilihan Ketua PDI. Berikut ini kisahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiada kongres tanpa konflik. Itulah istilah yang sering dipakai untuk PDI. Sebab, dalam setiap kongres atau penetapan pengurus puncak partai itu, selalu saja pertikaian datang. Ini terjadi sejak dilakukannya fusi lima partai (PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba) menjadi PDI pada 1973.
Ujung-ujungnya hal ini tentu mengundang campur tangan pemerintah untuk menengahi konflik mereka, baik di kongres maupun di luar forum itu. Dan ketua terpilih biasanya mereka yang bersikap akomodatif terhadap pemerintah, setidaknya untuk jangka waktu tertentu.
Sebut saja Sanusi Hardjadinata. Kepemimpinannya di PDI saat itu dianggap terlalu konfrontatif dengan pemerintah. Hingga beberapa pimpinan partai itu berusaha menyingkirkannya dalam pergolakan pucuk pimpinan pada akhir 1970-an.
Sanusi akhirnya memang bisa dipaksa mundur, kemudian Mh. Isnaeni diakui oleh pemerintah sebagai Ketua Umum PDI. Namun kepemimpinan Isnaeni pun tak luput dari kemelut. Dalam kongres di Istora Senayan pada 1981, gerakan untuk menggusurnya sangat keras. Utusan kongres tak berhasil mencapai kata sepakat dalam memilih ketua partai. Pimpinan PDI pun meminta bantuan pemerintah.
Ketika itu, mereka mendatangi rumah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo di Jalan Borobudur, Jakarta. Dari tangan Sudomo itu muncullah nama ketua umum yang direstui pemerintah, yakni Hardjantho. Setelah restu itu didapat, nama Hardjantho pun lantas dilempar ke arena kongres dan disetujui.
Sejarah Hardjantho memimpin PDI juga tak luput dari keributan. Dalam kongres 1981 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, ia tak lagi dikehendaki untuk tampil sebagai ketua partai. Memang dalam kongres itu sempat terjadi keributan. Bentrokan antarkelompok seperti dalam kongres sebelumnya kian meruncing. Setiap kelompok memperjuangkan jagoannya.
Beberapa kali pimpinan bersidang dan tak ada hasilnya. Kongres yang diwarnai keributan itu akhirnya macet. Panitia lantas meminta pemerintah turun tangan. Tentu pemerintah meminta beberapa syarat. Misalnya kepengurusan baru harus dipegang oleh kelompok yang tak terlibat langsung dengan konflik berkepanjangan sebelumnya.
Soerjadi, menantu tokoh Partai Nasional Indonesia Hadi Soebeno dari Jawa Tengah, ditunjuk sebagai ketua umum. Tugas pokok yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri adalah mengkonsolidasi partai dan mengeliminasi unsur-unsur partai yang selama ini menjadi biang perpecahan. Memang konflik sempat reda sebentar.
Toh, kemudian kepengurusan Soerjadi, yang berhasil mengatrol perolehan suara dalam pemilihan umum, tak luput dari kemelut. Ia menjadi bulan-bulanan, “diganggu” oleh kelompok yang disingkirkannya, seperti Dudi Singadilaga atau Marsoesi.
Soerjadi ditunjuk pemerintah memimpin partai itu pada 1986 dan perolehan suara PDI naik dari 24 kursi menjadi 40 kursi pada Pemilu 1987. Pernyataaan Soerjadi yang keras semasa kampanye, konsolidasi partai, dan kenaikan perolehan suara itu membuat pemerintah mengambil sikap dengan menekan Soerjadi. Dalam kongres di Medan, walau didukung sebagian besar utusan kongres, ia gagal naik.
Sudah ada “putra mahkota” yang disiapkan pemerintah, yakni Budi Hardjono. Maka kongres pun dinyatakan tak berhasil dan segala keputusannya, termasuk terpilihnya Soerjadi, dibatalkan. Dan kini calon ketua yang dijagokan pemerintah itu memang sudah ada di tangan.
Bakal berhasilkah Budi? Kalau mengikuti sejarah PDI, bahwa setiap tokoh yang didukung pemerintah pasti “jadi”, besar kemungkinan Budi akan terpilih. Tapi kisahnya akan lain bila pemerintah ternyata tak menentukan nama calonnya. Sebab, di samping Budi, ada pula calon lain, Megawati.
https://majalah.tempo.co/edisi/1176/1993-12-04
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo