Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI terlambat, pernyataan Presiden Joko Widodo tentang perlunya pemerintah membuka data Covid-19 cukup melegakan. Statemen ini mengoreksi sikap pemerintah yang sebelumnya terkesan menutup-nutupi jumlah pasien positif dan orang yang ditengarai terinfeksi. Awalnya, Jokowi beranggapan transparansi bisa membuat orang cemas. Ia lupa, tanpa sikap terbuka, bahkan karantina wilayah pun tidak akan efektif menyelesaikan pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menutupi statistik Covid-19 memang tidak ada gunanya—malah membuat kisruh suasana. Alih-alih membuat tenang publik, data yang dikorting malah membuat pemerintah salah mengambil keputusan. Pejabat yang mengutip informasi yang keliru akan menggampangkan persoalan dan membuat banyak orang kehilangan sense of crisis. Ketika belakangan informasi sebenarnya terungkap, pemerintah akan kehilangan kredibilitas—modal dasar dalam penggerakan solidaritas sosial di era krisis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapapun kekhilafan Presiden sudah dinyatakan secara terbuka, kesimpang-siuran data masih terus terjadi. Tengoklah apa yang terjadi di DKI Jakarta. Pemerintah daerah Ibu Kota belum lama ini mengumumkan jumlah orang yang dimakamkan di Jakarta yang jauh di atas rata-rata angka sebelum pandemi. Umumnya jenazah dimakamkan dengan prosedur penderita Covid-19—indikasi awal bahwa jumlah kematian akibat pandemi jauh lebih tinggi dibanding angka yang diklaim pemerintah pusat.
Tidak ada bukti bahwa semuanya meninggal karena Covid-19. Boleh jadi protokol pemakaman itu diambil untuk menjaga keamanan petugas medis, keluarga, dan petugas pemakaman. Tapi bukan tidak mungkin hal sebaliknya yang terjadi: para mendiang terinfeksi corona, tapi belum dinyatakan positif. Penyebabnya macam-macam. Bisa jadi mereka memang belum sempat dites atau hasil tes belum keluar ketika ajal menjemput.
Dibumbui sentimen politik dan ketegangan antara Jokowi dan Gubernur DKI Anies Baswedan, perbedaan data itu kemudian melahirkan wasangka. Yang satu menuduh pemerintah pusat mengecil-ngecilkan jumlah korban, yang lain menuding pemerintah DKI mencari sensasi semata. Terhadap perbedaan ini, Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 harus mengkonsolidasikan data—mengecek perbedaan, mengklarifikasi, lalu melaporkannya kepada publik.
Menjernihkan data yang keruh memang bukan persoalan mudah. Di umumnya provinsi, selain belum dipraktikkannya sistem pelaporan korban corona, sentralisasi laboratorium pengujian tes usap ditengarai menjadi penyebab. Persoalan yang terakhir semestinya segera dapat diatasi. Pemerintah telah menambah laboratorium uji tes usap dari 3 menjadi 29, untuk kemudian dikembangkan menjadi 78. Uji laboratorium bisa dilakukan di banyak tempat di luar Ibu Kota.
Bersikap terbuka bukan berarti mensentralisasi data. Keterbukaan pemerintah pusat hendaknya dilakukan dengan menghargai informasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, lembaga swasta, atau badan independen lain. Gugus Tugas hendaknya tidak menjadikan data Kementerian Kesehatan sebagai satu-satunya patokan.
Jangan pula sungkan mengoreksi data yang salah. Apa yang dilakukan New York, Amerika Serikat, bisa menjadi pelajaran. Pekan lalu, gubernur negara bagian itu, Andrew Cuomo, mengumumkan 3.778 kematian tambahan akibat corona karena sebelumnya orang yang meninggal dengan gejala Covid-19 tapi belum dites tidak dihitung. Perubahan itu dipicu oleh adanya pedoman baru dari Centers for Disease Control and Prevention di sana.
Pendeknya, buang jauh-jauh motif politik dalam persoalan statistik pandemi ini. Menyembunyikan korban sama bahayanya dengan melebih-lebihkan jumlah korban.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo