Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERNYATA ketika mendekam di bui, Gayus H.P. Tambunan tak hanya pernah pelesir ke Bali, tapi juga mengadakan tur keliling Singapura, Kuala Lumpur, dan Makau. Artinya, terdakwa mafia pajak ini sudah mendemonstrasikan betapa banyak aparat hukum yang gampang disogok. Dengan akal busuk, nyali gede, dan duit besarnya, Gayus menyuap petugas penjara, petugas imigrasi untuk membuat paspor asli tapi palsu atas nama Sony Laksono, dan sangat mungkin lebih banyak petugas hukum yang lain. Hukum seperti tak mempan untuk Gayus—dan pasti sejumlah pemilik duit besar yang lain.
Secuil informasi yang kami terima dari seorang petinggi kepolisian rasanya perlu dicermati. Di tiga kota metropolitan itu, sang terdakwa sederet kasus pidana ini mengaku bermain judi di Pulau Sentosa, Genting Highland, dan Makau. Hebat nian kalau ternyata bekas pegawai rendahan di Direktorat Jenderal Pajak yang dipecat ini bisa berjudi.
Jika pengakuan ini benar, cocok sudah cerita bahwa ia mendapatkan ”modal” untuk bermain kasino dari uang jasa yang diberikan sejumlah perusahaan yang terbelit kasus pajak. Tidak perlu pembuktian terlalu pelik tentang duit yang digembol Gayus, ia sudah terang-terangan mengakui sumbernya, antara lain dari tiga perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie. Yang menarik sekarang mencari tahu, dengan siapa Gayus berada selama tur kelilingnya itu.
Kalau polisi serius hendak membongkar otak di balik pelariannya selama ini, informasi ihwal siapa pendamping Gayus di ruang kasino tentu penting diketahui. Barangkali pendamping Gayus di sana adalah cukong salah satu atau beberapa perusahaan yang dia bantu untuk meringankan perkara pajak. Polisi rasanya perlu mengupayakan rekaman kamera pengintai di meja tempat Gayus berjudi.
Skandal Gayus masih belum berakhir walau episode di rumah kasino itu akhirnya terbongkar. Kisah bagaimana dia mendapatkan paspor ”aspal” juga menunjukkan buruknya kinerja imigrasi. Pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bahwa Direktorat Jenderal Imigrasi tak perlu dibenahi rasanya diucapkan terlalu dini. Sulit mengatakan kebetulan belaka bila paspor atas nama bocah Margaretha—yang entah kenapa batal diambil—tak dimusnahkan dan dipakai untuk ”Sony Laksono”. Aneh juga ”Sony” boleh berfoto tanpa melepas kacamata—yang sebelumnya dilarang.
Skandal ini jelas menunjukkan bahwa Gayus tak bergerak seorang diri. Dalam melakukan kejahatan, dia bekerja sama dengan kolega dan atasannya di kantor pajak, polisi, jaksa, bahkan hakim. Semua peristiwa sarat dengan bau amis korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang untuk memanipulasi tuntutan, juga vonis perkara. Ini tak cuma menampar, tapi sekaligus menjadi pertanda bobroknya proses penegakan hukum kita.
Yang menyedihkan, semua aksi Gayus ini terang-benderang, bahkan diakui dalam persidangan. Tapi aparat hukum kita berpikir berputar-putar, membuat kasus terang ini seolah-olah gelap, entah demi melindungi diri sendiri, kolega, entah orang kuat di balik skandal pajak Gayus Tambunan. Rada aneh juga bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi juga seakan alergi untuk mengambil oper kasus ini.
Sudahlah, kita tak usah repot-repot mengukur indikasi tegaknya hukum di negeri ini. Cukuplah skandal Gayus dijadikan barometer. Jika kelak skandal ini terbongkar dan semua pelakunya tak lepas dari jerat hukum, masih ada harapan bagi masa depan keadilan. Bila tidak, ini pertanda hukum telah bersujud kepada Gayus dan para mafia yang bergentayangan di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo