Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIM Jones di Jonestown tempo hari, tiba-tiba membukakan sebagian
mata kita. Koq ya ada pikiran seperti itu di zaman yang katanya
begini mutakhir. 3 juta dolar, yang dikeluarkan untuk mengangkut
mayat mubazir itu, kan lebih dari cukup untuk mendirikan sebuah
sekolah teknik yang modern sekali pun.
Hanya People's Temple? Wow, jangan takut. Di Amerika saja
minimal
masih ada tiga perkumpulan yang derajat kegilaannya samasekali
tidak di bawah Jones tadi. Semuanya memiliki ciri yang kira-kira
sama. Mengaku berakar pada salah satu aliran agama. Mengaku
sebagai pembaharu paling nomor satu. Tertutup dalam pandangan,
dan sangat dogmatis-doktriner. Dan semuanya merasa perlu
menciptakan'musuh' yang harus dibasmi di luar kelompok mereka.
Tidak kurang dari Newsweek (4 Desember 1978) cerita tentang
tingkahlaku Children of God COG) di Amerika sana.
Cara mereka memperoleh pengikut sangat spesifik. Datangi kampus,
dan talent scoutter mereka bukan main pandamya bersandiwara.
Tunjukkan muka manis, gitaran sedikit bicara dengan 'bahasa'
mahasiswa. Kaiau ada calon korban, biasanya mereka mencari di
kantin-kantin dan memilih mahasiswa yang pandai tetapi tampak
sedang labil. Kalau ditanya apa dari perkumpulan keagamaan,
segera dijawab: 'Ooo . . . bukan . . . Kami tidak mengkhususkan
diri pada salah satu agama . . . kita bertolak dari cinta kasih
dan akal sehat semata .... '
Mereka tidak pernah berani terbuka -- tidak punya keberanian
untuk itu. Kalau si calon korban sudah mulai tertarik, mulailah
mereka mengajak diskuSi, mengundang makan dengan 'brother &
sister' yang lain. Dan sekali si korban masuk dalam perkumpulan
mereka, jangan harap dapat keluar dengan manis dan mudah. Bukan
karena mereka menjadi yakin. Tapi karena mereka dipenuhi
indoktrinasi yang bahkan jauh lebih jahat dari cara Empat
Sekawan Cina sekalipun. Mereka yang mengslogankan kebebasan
individu dan hak untuk eksist sepenuhnya bagi setiap manusia,
justru orang yang paling pertama merebut kebebasan itu dari
anggotanya. Menghalalkan cara untuk mencapai tujuan? Jelas.
Charles Manson toh masih hidup untuk diminta
pertanggungjawabannya atas pembunuhan yang luarbiasa sadis.
Dan mereka tidak hanya di Amerika atau di Guyana COC mengaku,
dan sangat boleh jadi benar, bahwa pengikutnya tersebar di
seluruh dunia. Indonesia? Terus terang saya tidak tahu pasti
apakah wabah ini sudah ada atau belum di tengah kita. Seorang
teman bercerita bahwa kenalannya ada yang sudah terkena wabah
impor ini. Dan saya, mungkin juga anda, rasanya- pernah ketemu
orang dengan ciri Newsweek tadi. Tampang sok hippies, muka
setengah fly setengah lugu, bawa-bawa gitar, dan mencoba
mendiskusikan hal-hal yang mulanya terkesan seperti "kecintaan
luar biasa pada kemanusiaan". Kalau kita netral saja mereka
mulai menawarkan barang buatan mereka. Entah kalung, entah
manik-manik yang kesannya ngepop. Pokoknya saya yakin pernah
ketemu orang semacam ini.
Kita sudah memiliki Lembaga Konsumen, yang bagaimanapun hasilnya
dapat saya golongkan luar biasa. Kesadaran kita bangkit: bahwa
apa yang datang dari luar negeri tidak selalu baik. Bahkan
sering barang yang tidak boleh dipakai di Amerika dibuang
rame-rame ke negeri 'berkembang' ini. Lalu mengapa kita juga
tidak bertindak selektif terhadap barang-barang yang tidak jelas
bungkusnya ini. Dan demi apa deh, penolakan ini tidak ada
hubungannya sama sekali dengan toleransi. Sungguh! Kita kan
tidak harus makan ulat yang nongkron di mangga, semata karena
takut dianggap tidak suka mangga. Dan memang sebaiknya, anda
yang punya perkebunan mangga menyingkirkan ulat-ulat tadi. Atau,
kalau orang lain yang menjentik ulat tadi, kita semua jangan
lalu bilang mangga makanan jelek.
Dan di atas visi inilah saya melihat manfaat SK Menteri Agama
(nomornya lupa) yang mengatur penyebaran agama di Indonesia.
Kita toh bukan Amerika atau Guyana, dan kita tidak usah jadi
mereka.
SARTONO MUKADIS
F. Psikologi UI
Kompleks Rawamangun,
Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo