Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah DKI Jakarta mesti mempertimbangkan untuk membatalkan rencana pembatasan kendaraan dengan aturan pelat nomor ganjil-genap. Sistem itu sulit dipraktekkan dan kecil kemungkinan bisa menggebah kemacetan di Ibu Kota bila tak disertai pembenahan transportasi publik secara menyeluruh.
Di sejumlah kota dunia, pembatasan kendaraan model begini memang ada yang sukses. Beijing, contohnya, mulai menerapkan aturan ini saat menjadi tuan rumah Olimpiade 2008. Jika misalnya hari ini hanya kendaraan berpelat nomor genap yang boleh beroperasi, esok hari hanya kendaraan berpelat nomor ganjil yang diizinkan. Sukses aturan ganjil-genap di Beijing ini kemudian menular ke kota Guangzhou, Cina. Di kota industri itu, resep tersebut juga terbukti manjur.
Tak mengherankan bila kemudian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kesengsem dan berniat menerapkan aturan ini guna menggantikan sistem 3 in 1. Di Jakarta, kebijakan ganjil-genap direncanakan diterapkan di sepanjang Jalan M.H. Thamrin, Jalan HR. Rasuna Said, dan sebagian Jalan Gatot Subroto pada pukul 07.00-10.00 serta 16.30-19.30 WIB. Sebelum aturan diterapkan, pemerintah Jakarta berencana melakukan sosialisasi selama sebulan, dari 27 Juni sampai 27 Juli 2016.
Harus diingat, tak semua kota sukses menerapkan aturan ganjil-genap. Hal inilah yang semestinya dipelajari Basuki. Meksiko dan Athena, Yunani, gagal mempraktekkannya. Masyarakatnya tak siap, sistem transportasi publik juga tidak dibenahi. Akhirnya aturan itu tak berjalan. Hal serupa juga pernah diterapkan di Solo oleh Joko Widodo, yang saat itu menjabat wali kota. Nasib aturan ganjil-genap di Solo sami mawon dengan di Meksiko dan Athena: menguap begitu saja.
Kegagalan di Meksiko, Athena, dan Solo itu seharusnya menjadi pertimbangan serius Basuki. Apalagi Kepolisian Daerah Jakarta juga pesimistis ihwal aturan ini. Sistem ganjil-genap dinilai sulit dipraktekkan karena berbagai alasan. Misalnya, petugas mesti memelototi setiap mobil yang lalu-lalang. Aturan itu, menurut kepolisian, juga mudah diakali, di antaranya dengan memalsukan pelat nomor mobil. Dengan sistem transportasi publik yang masih buruk, kecurangan itu sangat mungkin terjadi.
Celah lainnya, sistem ini bakal meningkatkan pembelian kendaraan bagi kalangan tertentu. Dengan memiliki mobil lebih dari satu, seseorang bisa memesan agar pelat nomor kendaraannya yang satu ganjil dan yang lain genap. Akibatnya, jumlah mobil di Jakarta dan sekitarnya bakal semakin membengkak.
Sebelum kepalang gagal, lebih baik penerapan aturan tersebut ditunda lebih dulu. Basuki semestinya belajar bagaimana Beijing, Guangzhou, dan Bogota (Kolombia) berhasil menerapkan pembatasan ganjil-genap. Kota-kota tersebut melakukan persiapan matang. Ada sosialisasi dengan waktu cukup, sehingga masyarakat mau menerimanya. Mereka juga menyiapkan sistem transportasi publik yang bagus sehingga masyarakat mau beralih dari kendaraan pribadi ke bus, kereta, atau mass rapid transit (MRT) lainnya.
Ide bagus pembatasan kendaraan ini harus dipersiapkan secara matang agar tak layu sebelum berkembang. Belajar dari kota-kota dunia lainnya, Jakarta bisa menggunakan aturan ganjil-genap ini untuk mengusir kemacetan, bila tak diterapkan secara terburu-buru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini