Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pencanangan Kampanye Nasional Pencegahan Stunting, di Monumen Nasional, Jakarta, Ahad lalu, sungguh penting. Gerakan ini perlu disokong demi menekan jumlah anak usia di bawah lima tahun yang mengalami gangguan pertumbuhan atau yang lazim disebut stunting. Penderita stunting memiliki badan lebih pendek dibanding balita normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kita tidak boleh puas atas turunnya prevalensi stunting dari 37,2 pada 2013 menjadi 29,6 persen pada 2017. Angka ini masih cukup tinggi karena standar yang dipatok Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah di bawah 20 persen dari populasi balita. WHO menyebutkan jumlah balita di Indonesia yang bertubuh pendek mencapai 8,8 juta anak pada tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Prevalensi balita bertubuh kurus juga masih tinggi, yakni 9,5 persen pada tahun lalu, menurun dari angka 12,1 persen pada 2013. Persentase itu masih jauh dari standar WHO, yang mematok prevalensi yang normal adalah di bawah 5 persen. Anak-anak balita kurang gizi itu perlu diselamatkan karena rentan terhadap penyakit dan kecerdasannya pun akan sulit berkembang.
Secara umum, besarnya angka stunting berbanding lurus dengan tingginya angka kemiskinan di suatu negara. Di Indonesia pun, kecenderungan ini berlaku. Prevalensi stunting yang cukup tinggi terjadi di sejumlah provinsi di luar Jawa yang memiliki banyak penduduk miskin. Nusa Tenggara Timur memiliki prevalensi balita kerdil tertinggi, yakni 40,3 persen, disusul Sulawesi Barat yang mempunyai angka 40 persen.
Hanya, angka-angka balita kerdil di beberapa provinsi di Jawa pun masih di atas 20 persen. Angka stunting di DKI Jakarta, misalnya, sebesar 22,7 persen. Prevalensi stunting terendah terdapat di Jakarta Selatan, yakni 17,8 persen. Adapun prevalensi tertinggi terjadi di Jakarta Pusat, yakni 29,2 persen.
Pemerintah mesti mengerahkan segala daya dan biaya untuk mengurangi jumlah balita kerdil dengan program perbaikan gizi bagi anak balita dan ibu di kalangan masyarakat miskin. Penyuluhan mengenai cara menjaga kesehatan ibu dan bayi juga perlu dilakukan. Banyak orang tua kurang menyadari pentingnya memberikan gizi yang cukup bagi bayi hingga usia 1.000 hari.
Memberikan air susu ibu merupakan cara paling mudah dan murah agar balita tumbuh normal, hal yang justru sering diabaikan. Data menunjukkan 60 persen bayi berusia 0-6 bulan di Indonesia tidak mendapat ASI secara rutin. Dua dari tiga bayi usia 0-24 bulan juga tidak menerima makanan pendamping di luar air susu ibu.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bergandengan tangan untuk mengurangi prevalensi stunting di Indonesia. Pemerintah perlu merekrut banyak pegawai ataupun relawan di bidang kesehatan. Mereka bisa menggerakkan masyarakat untuk menghidupkan lagi pos-pos pelayanan terpadu. Jangan biarkan republik ini memiliki generasi kerdil dan tidak cerdas akibat kurang gizi.