Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Habib Hadrami di Zaman BlackBerry

13 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TREN ber-"habib-habib" belakangan ini dapatlah kita pandang sebagai dinamika sosial belaka. Kita menyaksikan kecintaan masyarakat kepada habaib (bentuk jamak dari habib) tumbuh seiring dengan meningkatnya kesadaran beragama. Di negeri berpenduduk mayoritas Islam ini, habaib tak sulit merebut hati masyarakat berkat faktor genealogis sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Menguasai ilmu dan bahasa Arab yang baik-sebagian melengkapinya dengan teknik "pemasaran" yang menarik di televisi atau panggung dakwah-mereka meroket menjadi figur yang dibicarakan luas. Bila ada yang bisa dibilang baru dari fenomena habaib belakangan ini, itu adalah munculnya tokoh-tokoh muda yang berusia 30-40-an tahun.

Mereka merupakan lulusan sekolah agama di Yaman, Arab Saudi, atau negara Timur Tengah lain. Sebagian berpakaian mengikuti mode masa kini, akrab dengan BlackBerry dan laptop. Tapi sebagian lain memakai atribut seperti yang dikenakan kakek moyangnya di Hadramaut-tempat di selatan Jazirah Arab yang kini masuk wilayah Republik Yaman.

Habib masa kini itu memang sudah mengganti kain penutup bagian bawah tubuh, futah, dengan sarung. Tapi mereka mempertahankan jubbah panjang yang menutup mata kaki dengan tiga kancing (qals) dan menutup kepala dengan amamah putih yang melingkari kufiyah.

Penegasan identitas Arab Hadramaut itu memang bukan gejala kontemporer, melainkan bisa dipandang sebagai arus balik proses asimilasi-bila diingat di akhir abad ke-19 peleburan kaum Hadrami di sini sudah begitu jauh. Pelukis terkenal Raden Saleh, misalnya, sebenarnya bernama Sayid Salih bin Husain bin Yahya. Kakeknya orang Hadramaut yang mengawini putri Bupati Lasem. Seorang anggota keluarga Ba'abud di Pekalongan bahkan mengganti namanya menjadi Raden Suroatmojo. Mereka menanggalkan semua atribut dan tradisi Arab.

Meskipun habib zaman sekarang seperti menentang arus peleburan itu, tak ada gunanya mempertanyakan "privilese" habaib sebagai ahli waris Nabi. Pencantuman gelar habib-yang ditolak sebagian masyarakat lantaran dianggap bentuk "feodalisme" dalam beragama-tak bermanfaat diperdebatkan berkepanjangan. Satu hal yang sulit dibantah, fenomena habaib ini merupakan realitas keragaman Indonesia. Orang bisa memandang gelar habib lebih-kurang sama dengan "kiai" atau "ajengan".

Tentang gelar habib ini pun tak ada keseragaman pendapat. Ada pendapat bahwa setiap orang yang berasal dari garis keturunan Nabi, baik yang asal-muasalnya dari Hadramaut maupun dari tempat lain di Jazirah Arab, berhak menyandang gelar habib. Pendapat kedua: gelar itu hanya layak diberikan kepada anak-cucu Nabi yang mengabdikan hidupnya untuk kepentingan pengembangan agama dan berakhlak mulia. "Syarat" akhlak mulia itu jelas menunjuk kepada pentingnya berperilaku terpuji dalam menyebarkan agama Islam. Agar tak terjadi "inflasi habib", juga untuk menghindari pemakaian gelar terhormat itu oleh yang tak berhak, kita boleh bersetuju dengan pendapat kedua.

Yang penting ditegaskan adalah kedudukan habaib sebagai warga negara. Mereka yang berasal dari golongan "sayid" (keturunan Nabi dari garis Husein) dan yang mempunyai asal-usul golongan "syarif" (keturunan dari jalur Hasan) tidak mempunyai keistimewaan apa pun di mata hukum negara kita. Sorban dan jubah tak bisa dijadikan legitimasi untuk melanggar hukum.

Keinginan menjalankan ajaran agama untuk melenyapkan kebatilan mestilah dicapai melalui cara yang "beradab". Sama sekali tak tersedia alasan pembenar untuk bertindak sendiri menghakimi rumah hiburan, diskotek, dan toko tempat berjualan minuman keras, bahkan merusak bangunan yang dianggap menyebarkan maksiat seperti "warung remang-remang". Kalangan habaib mesti memastikan para pengikutnya mematuhi semua aturan di negara ini.

Ajakan mematuhi aturan ini penting, mengingat pengajian yang diadakan habaib kerap dihadiri ribuan orang. Begitulah keadaannya sejak Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah al-Habsyi, atau lebih dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang, membuka pengajian pertama di Batavia, pada 1910. Jemaah datang dari Depok, Bogor, dan Sukabumi. Bedanya, dulu jemaah datang dengan sepeda dan andong, kini sebagian besar datang dengan sepeda motor.

Konsentrasi jemaah dalam jumlah besar dipertontonkan, misalnya, oleh kelompok yang menyebut diri "Majelis Rasulullah". Pada malam-malam tertentu, mereka merajai jalan-jalan di Jakarta dengan mengendarai motor, berseragam, dan mengibarkan bendera perkumpulan. Tanpa helm pengaman dan tanpa memilih jalur, kelompok ini gampang dituduh tak mengindahkan ketentuan pemakaian jalan. Mestinya toleransi tak bisa diberikan oleh penegak hukum. Dan habib yang membina kelompok ini mestinya juga ikut turun tangan. Nabi Muhammad tidak boleh dihormati dengan cara yang keliru.

Fenomena habaib akan menjadi dinamika sosial yang menarik bila semua yang terlibat berinteraksi secara sehat-tidak melanggar hukum, apalagi menganjurkan kekerasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus