Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tantangan Kenaikan Harga Rumah Bersubsidi

Kenaikan harga rumah bersubsidi dapat menekan pertumbuhan kredit properti. Perbankan perlu mengantisipasinya.

21 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri PUPR telah menaikkan harga jual rumah bersubsidi.

  • Kenaikan itu mengikuti kenaikan rata-rata biaya konstruksi per tahun.

  • Kenaikan itu dapat menekan pertumbuhan kredit properti, terutama KPR rumah bersubsidi.

Paul Sutaryono
Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basoeki Hadimoeljono telah menaikkan harga jual rumah bersubsidi yang berlaku efektif per 23 Juni 2023. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan (SBUM).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aturan itu menetapkan batasan harga jual rumah yang dibagi menjadi lima wilayah. Harga rumah bersubsidi terendah adalah Rp 162 juta pada 2023 dan Rp 166 juta mulai 2024 di wilayah Jawa, kecuali Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi; serta Sumatera, kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, dan Kepulauan Mentawai. Harga rumah bersubsidi tertinggi sebesar Rp 234 juta pada 2023 dan Rp 240 juta mulai 2024 di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, dan Papua Selatan.

Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia yang diterbitkan Bank Indonesia pada 18 Juli lalu menunjukkan bahwa kredit perumahan (rupiah dan valas) tumbuh 7,93 persen (year-on-year), dari Rp 1.141,23 triliun pada Mei 2022 menjadi Rp 1.231,68 triliun pada Mei 2023. Jumlah itu lebih rendah dibanding pada bulan sebelumnya, yang tumbuh 8 persen dari April 2022.

Rinciannya, kredit konstruksi tumbuh 4,25 persen, dari Rp 376,98 triliun menjadi Rp 393,02 triliun (31,91 persen dari total kredit). Kredit real estate tumbuh tertinggi 16,8 persen, dari Rp 173,61 triliun menjadi Rp 202,78 triliun (16,46 persen dari total kredit).

Sementara itu, kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) tumbuh 7,66 persen, dari Rp 590,64 triliun menjadi Rp 635,88 triliun (51,63 persen dari total kredit). Meskipun kalah subur dibanding kredit konstruksi dan real estate, pertumbuhan KPR dan KPA memiliki pangsa pasar (market share) terbesar (51,63 persen).

Kenaikan harga rumah bersubsidi itu ditetapkan Menteri PUPR untuk mengikuti kenaikan rata-rata biaya konstruksi sebesar 2,7 persen per tahun berdasarkan indeks harga perdagangan besar. Dapat dikatakan bahwa kenaikan harga ini untuk memenuhi “permintaan” pengembang.

Bagaimana aturan itu ditilik dari sisi (calon) nasabah? Kenaikan itu jelas dapat menekan pertumbuhan kredit properti, terutama KPR rumah bersubsidi. Ini lantaran daya beli calon pembeli belum sepenuhnya pulih dari tamparan pandemi Covid-19 selama tiga tahun terakhir. Bahkan mereka kemungkinan besar masih memburu pekerjaan baru setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai akibat lesunya bisnis di tengah pandemi.

Untuk itu, sebagai trendsetter, bank pemerintah, seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, dan terutama BTN yang berfokus pada kredit properti, hendaknya tidak menaikkan suku bunga KPR. Dengan begitu, nasabah tidak terbebani kenaikan harga rumah dan suku bunga KPR.

Untunglah, nasabah KPR bersubsidi bebas dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen dari harga jual rumah tapak atau antara Rp 16 juta dan Rp 24 juta. Batasan harga jual rumah tapak yang diberi pembebasan PPN menjadi antara Rp 162 juta dan Rp 234 juta pada 2023 serta Rp 166 juta dan Rp 240 juta pada 2024 untuk masing-masing wilayah.

Tentu saja, pembebasan PPN itu menjadi faktor pendorong laju pertumbuhan KPR bersubsidi. Walhasil, KPR bersubsidi, yakni KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), bisa menjadi jangkar pertumbuhan kredit properti secara agregat.

Dana FLPP kini dikelola Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera). Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.06/2021 tentang Mekanisme Pengalihan Dana FLPP dari Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) kepada BP Tapera dan Penarikan Kembali Dana FLPP oleh Pemerintah.

Meskipun uang muka KPR FLPP mulai 1 persen, hendaknya nasabah menyediakan uang muka setinggi mungkin. Sebab, formulanya menunjukkan, semakin tinggi uang muka, semakin rendah angsuran bulanannya. Dengan uang muka yang lebih besar, uang angsuran pun menjadi lebih terjangkau. KPR FLPP juga menawarkan tenor 20 tahun, suku bunga tetap 5 persen, bebas PPN, dan bebas premi asuransi.

BP Tapera pun menyediakan KPR Tapera untuk rumah pertama dengan tenor 30 tahun tanpa uang muka dan suku bunga tetap 5 persen. Tersedia pula kredit renovasi rumah (KRR) dengan tenor lima tahun, bisa tanpa uang muka, dan suku bunga tetap 5 persen. Ada pula kredit pembangunan rumah (KBR) pertama di atas tanah sendiri dengan tenor 15 tahun tanpa uang muka dan suku bunga tetap 5 persen. Ketiga jenis kredit itu berlaku bagi aparatur sipil negara (ASN) dan non-ASN dengan penghasilan maksimal Rp 8 juta atau Rp 10 juta, khusus Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Peserta Tapera meliputi tidak hanya pekerja formal, tapi juga pekerja informal (pekerja mandiri), yakni orang yang bekerja dengan tidak bergantung pada pemberi kerja untuk mendapatkan penghasilan.

Karena itu, BP Tapera wajib menggeber kepesertaan Tapera bagi pekerja swasta dan pekerja mandiri. Bagaimana kiatnya? BP Tapera perlu melakukan sosialisasi dan edukasi Tapera ke perusahaan swasta serta pekerja mandiri melalui asosiasi. Dengan begitu, makin banyak pekerja yang dapat memiliki rumah layak huni. KPR bersubsidi pun menjadi katalisator bagi kredit properti.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Paul Sutaryono

Paul Sutaryono

Assistant Vice President BNI (2005-2009)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus