Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hong wilaheng tikus dan kucing

Para tikus dari seluruh dunia, bersidang membahas kucing makhluk ankara, di kota ankara, turki. disepakati untuk mengacungkan kelintingan pada kucing, tapi tidak ditentukan siapa yang akan mengacungkan.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA punya teman, Amin namanya. Orangnya gemuk, banyak ceritanya. Amin rajin dan sederhana cara berpikirnya. Emoh berbelit, tak suka yang sulit-sulit. Slogan dan semboyan ia tak doyan. Kerja nyata dan hasil guna yang ia utamakan. Bila Amin diminta pandangan soal pembangunan dan kemasyarakatan, hanya satu yang ia pesan. Jangan terlalu banyak ngobral omongan, utamakan kesempumaan yang dapat secara nyata kita kerjakan. Kadangkala Amin suka juga merenung perkara rakyat jelata. Menurut Amin mereka mesti tetap diperkenankan berpikir wajar, berbicara sederhana dan boleh berbuat apa yang nyata bisa dilakukan. Amin kurang suka mereka diajak berpikir di langit, berbicara di angin dan bas bus mengikrarkan busa. Pendidikan politik menurut Amin perlu, asal politik yang menyentuhkan kaki rakyat di bumi kenyataan. Tidak meninabobokan lamunan mereka di negeri dongeng di atas kayangan. Melihat kanan kiri Amin suka risau. Banyak orang suka sekali berpidato. Semua kepingin meniru Bung Karno, gayanya saja. Semua ingin menjadi Bung Tomo, lagaknya saja. Padahal tantangan masalah sejak kita merdeka belum jauh beranjak. Juru ketik tetap banyak yang tidak pintar mengetik. Nelayan tetap banyak dililit utang. Petani banyak yang tak punya tanah. Peneliti banyak yang hanya omong soal penelitian, tetapi tak pemah meneliti. Amin, sampai jauh mengamati di desa-desa. Pendidikan politik, bila tidak bUaksana, membikin tiap orang merasa pantas jadi Gatutkaca. Tak ada yang berminat jadi Ponikem, Ponco atau Guno. Tak ada yang merasa pantas jadi Paidi, Dimin atau Supinah. Akibatnya, taman makin miskin keaneka-ragaman cita-cita. Masyarakat langka kebhinekaan. Wayang sekotak Gatutkaca semua. Lakon tak bisa dimainkan. Yang ada panggung gegap gempita tanpa cerita, karena hanya satu warna, satu kata, satu lagu, satu irama. Hong Wilaheng Karena Amin cucu dalang, ia pun berandai-andai dari centa wayang. Karena Amin dibesarkan oleh pekik Merdeka, ia tak sabar berupacara. Karena Amin pemah ikut gerilya, ia lebih menikmati irama Sampak yang gegap gempita, daripada ketenangan pangkur gending pernbuka. Karena Amin patriot pembela bangsa hatinya lebih menempel pada si Kromo longso daripada Ngabehi Suromenggolo. lmpiannya mengukir pacul, luku, garu dan palu. Usahanya memahat kayu, menggali bumi atau menanam ubi. Amin senang, bila wayang segera berperang. Amin suka bila Goro-Goro Petruk dan Gareng segera dibuka. Patet enam segera dibalik ke patet sembilan. Barisan raksasa dibabat oleh Harjuna dan Gatutkaca. Lakon segera mengungkapkan jalan centa. Percakapan segera kongkrit dan tidak berputarputar sekitar hias rias dan kiasan kata-kata. Ditempa dan didewasakan oleh kerja, Amin menjadi makhluk lugas dan prasaja. Katanya ia capek dengan hong wilaheng, mantera pembuka, bila raja dewata mau bicara. Ungkapannya sulit, lebih sulit lagi untuk mengartikannya. Tetapidalang dan penonton tidak peduli. Karena kata itu sudah ada sejak zaman dahulu kala, apa kata nenek moyang itu pula yang harus diwariskan untuk dihafal cucu yang malang. Hong Wileheng mengungkap negara jaya, rakyat makmur sentosa, raja berbudi, berwibawa, keluarga bahagia sejahtera. Hong Wilaheng selalu diungkap nomor satu. Penuh sakral, penuh bual. Biarpun kosong makna, hampa pesan, tetapi menanyakan lagu wajib yang mesti didendangkan. Mantera itu peltanda upacara baru saja dibuka. Ungkapan itu masih jauh dari kerja. Hong Wilaheng baru mengungkap keagungan kerajaan, keelokan busana, kebesaran budaya, keluhuran nilainorma serta bla bla bla. Belum kerja, belum berbuat nyata. Masih jauh dari hasil yang dapat diraba, dilihat mata. Tikus dan Kucing Alkisah, waktu bercerita pada saya, Amin baru pulang dari manca negara ia berkeluh-kesah setelah ber-hong wilaheng bersama tikus-tikus di bangsal kencana negeri dongeng Turki, di kota Ankara. Para tikus. dari seantero dunia, telah bersidang membahas soal kucing si makhluk angkara. Kucing yang tampak manis tetapi sesungguhnya ganas itu dibahas dari segala sudut pandangan. Sorot matanya memancarkan maut menyimpan misteri penuh berhala. Rintihnya mengalun, memancarkan budaya agung yang berbahaya. Binatang cantik jelita itu perwujudan nilai-nilai yang tak pelak diwariskan pada keturunannya. Setelah ludes diungkap rahasia alam yang terkandung di wadag sang kucing, ditafsirkan makna dan arti tingkah lakunya, disusunlah pedoman pemberantasannya. Karena binatang manis namun sesungguhnya ganas memangsa tikustikus, perundingan pun berlangsung tiga hari tiga malam terus menerus. Akhirnya satu rumusan ditelurkan. Ungkapannya jitu disambut tepuk tangan. Kesimpulan sidang sederhana saja. Kucing yang aniaya itu bukan untuk dibantai, bukan untuk disiksa. Karena semua tikus tunduk pada nilai luhur sapta darma. Biar musuh, mesti diperlakukan dengan tepo seliro. Rumusan itu tertuang dalam Deklarasi Ankara. Mengingat bla bla bla, menimbang bli bli bli, memutuskan kucing mesti dikalungi kelintingan cukup sebiji. Maksudnya, agar bila kucing datang mengendapendap mengintai, setiap ekor tikus dapat mendengar peringatan bunyi, alu bisa lari, atau bersembunyi. Deklarasi Ankara manis, tiada keji. Kucing dan tikus dapat berkoeksistensi damai. Lingkungan hidup pun barangkali bisa tetap lestari. Cuma si Amin yang cerdik itu, terlalu jeli. Seusai sidang ia merenung dan gegetun setengah mati. Kenapa dalam rumusan Deklarasi Ankara, tidak tercantum tikus yang mana yang bertugas mengalungkan kelintingan mungil di leher kucing, si angkara murka ini? Dalam perjalanan pulang, si Amin termenung di kapal terbang. Bistik ayam yang disuguhkan pramugari Thai International TG 413 itu, serasa daging tikus yang habis konperensi. Disuguhkan oleh kucing manis yang terkena Deklarasi Ankara di Turki.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus