Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ide Wakaf dalam Mengatasi Krisis Agraria

Gagasan wakaf untuk mengatasi krisis agraria disampaikan oleh Mohamad Shohibuddin melalui bukunya

17 Juli 2019 | 00.00 WIB

tempo/imam yunni
Perbesar
tempo/imam yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Gutomo Bayu Aji
Pendiri Perkumpulan Partnership for Agriculture and Sustainable Livelihoods

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Gagasan wakaf untuk mengatasi krisis agraria disampaikan oleh Mohamad Shohibuddin melalui bukunya, Wakaf Agraria: Signifikansi Wakaf bagi Agenda Reforma Agraria, yang diterbitkan atas kerja sama Baitul Hikmah, Sajogyo Institute, dan Magnum Pustaka Utama pada April 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dalam sejarah pemikiran agraria, wakaf hampir tidak pernah diangkat sebagai alternatif upaya untuk mengatasi masalah agraria, kecuali perbuatan-perbuatan terpaksa yang dilakukan oleh para tuan tanah dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Saat itu, konstelasi politik memanas akibat tekanan Barisan Tani Indonesia.

Setelah tragedi 1965, tuan-tuan tanah tidak mewakafkan tanah lagi untuk mematuhi undang-undang itu, bahkan pembaruan agraria "diharamkan". Wakaf tanah kini dilakukan lazimnya untuk kepentingan pembangunan masjid, madrasah, rumah sakit Islam, atau kesejahteraan sosial lainnya.

Munculnya gagasan wakaf untuk mengatasi krisis agraria itu bukannya tanpa signifikansi kontekstual. Ada dua konteks politik yang melahirkan gagasan itu. Pertama, kebijakan reforma agraria dipandang masih belum mengatasi krisis agraria. Dua sumber masalah, yaitu pengaruh fundamentalisme pasar atas tanah dan sumber daya alam serta ketimpangan penguasaan lahan yang sangat lebar, belum tersentuh kebijakan.

Kedua, Nahdlatul Ulama (NU), sebagai afiliasi keagamaan Shohibuddin, telah membuat rekomendasi reforma agraria dalam Musyawarah Nasional NU di Nusa Tenggara Barat pada 2017. Rekomendasi ini menunjukkan perubahan sikap NU terhadap pembaruan agraria, dari diam selama lebih dari 50 tahun menjadi mendukung. Sikap ini membuka arena baru bagi modal keagamaan seperti wakaf untuk dikoneksikan ke kebijakan reforma agraria.

Sejauh mana gagasan itu penting dalam amanah pembaruan agraria? Apa sumbangan dan keterbatasan gagasan itu muncul di tengah rasa frustrasi yang menghinggapi sebagian kalangan dalam upaya menangani krisis agraria yang belum menyentuh akar masalah?

Sangat sulit untuk dihindari bahwa setelah hampir 60 tahun Undang-Undang Pokok Agraria dipetieskan, kebijakan reforma agraria sekarang tidak terpengaruh oleh fundamentalisme pasar. Kekuatan ekonomi global, dengan Indonesia berada di dalamnya, sedang bergerak ke arah sana.

Beberapa pengaruh yang paling kuat adalah pengakuan kepemilikan perseorangan, terutama dalam kebijakan redistribusi tanah obyek reforma agraria (TORA), program sertifikasi pertanahan, dan mekanisme pasar tanah yang mengatur tanah sebagai komoditas pasar. Pasar yang tidak seimbang memungkinkan obyek tanah itu lepas kepemilikan dan terakumulasi di orang-orang tertentu sehingga tujuan reforma agraria tidak tercapai.

Dalam pengaruh fundamentalisme pasar itu, wakaf menawarkan sifat-sifat sebaliknya. Pertama, wakaf tanah bersifat kekal karena tanah diberikan ke jalan Allah. Tanah tidak akan berubah penguasaan, berpindah tangan, atau diperjualbelikan, serta terfragmentasi sebagaimana terjadi di pasar tanah.

Kedua, wakaf tanah mengajarkan bahwa tanah memiliki nilai untuk kepentingan umum yang tidak harus selalu disertifikatkan untuk kepentingan perseorangan. Hal ini selaras dengan wakaf sebagai jalan Allah untuk kemaslahatan umat sebanyak-banyaknya.

Ketiga, wakaf tanah dapat mengungkit rasa solidaritas sosial yang merupakan landasan sosial bagi perkembangan institusi ekonomi baru di kalangan masyarakat. Institusi sosial, seperti masjid, madrasah, dan rumah sakit, telah menjadi bukti nyata.

Walaupun menawarkan nilai-nilai solidaritas sosial, wakaf memiliki keterbatasan untuk mengatasi krisis agraria. Ada tiga keterbatasan yang melekat di dalam wakaf. Pertama, hukum yang mengatur wakaf sebagaimana Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dimaksudkan hanya untuk umat Islam berdasarkan syariah.

Kedua, hukum wakaf bersifat tidak wajib, sehingga Badan Wakaf Indonesia tidak bisa memaksa setiap muslim yang menguasai tanah lebih mewakafkannya kepada petani miskin. Ketiga, aturan wakaf ditujukan kepada perseorangan atau institusi non-pemerintah, sehingga terbatas pada tanah-tanah di luar tanah negara. Padahal ketimpangan penguasaan lahan terjadi antara tanah negara, tanah negara yang dikuasai institusi bisnis swasta, dan tanah rakyat. Adapun tanah yang negara kuasai hampir 70 persen dalam bentuk kawasan hutan negara.

Dengan kata lain, gagasan wakaf menyumbang nilai, tapi memiliki keterbatasan yang tidak bisa dikembangkan sebagai kebijakan reforma agraria. Selain itu, apabila ditawarkan sebagai alternatif kebijakan reforma agraria, wakaf tidak akan memberi kekuatan paksa kepada semua warga negara yang memiliki orientasi keagamaan beragam. Persentuhan gagasan tersebut dengan kebijakan reforma agraria saat ini dikhawatirkan membangkitkan fundamentalisme keagamaan di dalam agenda pembaruan agraria.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus