Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GENAPLAH keganjilan Indonesia. Tiap hari rakyatnya mengeluhkan korupsi yang melumuri seantero negeri, tapi menemukan seorang saja pelakunya susahnya setengah mati. Inilah imperium kleptokrasi tanpa koruptor. Sebuah teater besar korupsi tanpa seorang pun aktor.
Indikasi kasus korupsi tak terhingga jumlahnya, diekspos riuh-rendah oleh media massa. Diseminarkan, dibikin talk-show di layar kaca, dikomentari para "pakar". Dibikin pansus ini dan pansus itu, komisi ini dan itu, watch ini dan watch itu. Diaudit dengan biaya mahal oleh auditor swasta independen?.
Tapi tak satu pun maling berdasi yang kunjung dikenali. Sebagian besar jejak perbuatan mereka hilang?sengaja dihilangkan, dilupakan, tertutup kasus berikutnya, atau "di-SP3-kan" (surat perintah penghentian penyidikan). Satu-dua koruptor yang cukup sial, dan diberi gelar "terdakwa" di pengadilan, pun akhirnya bisa cekikikan sesudah sejenak pingsan: lolos dari segala dakwaan.
Satu kasus mutakhir yang berujung vonis penjara hanyalah skandal tukar guling tanah Bulog dengan Goro. Ini pun seorang terpidananya lolos pula?dan makan ongkos poleksosbud yang tak kecil untuk memburunya. Para pejabat yang menurut logika sederhana mestinya terlibat cukup hadir sebagai saksi.
Jalan korupsi tak ada ujung. Rakyat seperti masuk lorong, yang kian lama makin panjang, makin gelap, kian pengap.
Yang ganjil, yang muskil
Kasus-kasus perbankan luar biasa vulgarnya. Para konglomerat ramai-ramai bikin bank dan menyedot dana masyarakat untuk disalurkan ke puluhan anak perusahaan dalam grup bisnis masing-masing. Ada yang bikin mal, pabrik ini dan itu di dalam dan luar negeri, bahkan ada yang bukan sekadar membangun perumahan melainkan kota baru. Fakta ini saja sudah luar biasa mengherankan: kok, bisa terjadi.
Lebih ganjil lagi, ketika bank-bank itu oleng, mereka malah dilimpahi bantuan dana murah oleh bank sentral, bukan segera dilikuidasi seperti 16 bank sebelumnya. Dan kemudian: 48 bank penerima BLBI menyelewengkan pula bantuan hampir Rp 85 triliun.
Dana-dana itu dipakai bukan untuk menyehatkan bank mereka, tapi buat pembiayaan lanjutan proyek-proyek yang tertunda akibat krisis moneter. Mungkin pula dipakai membeli ranch, rumah mewah, dan berinvestasi di luar negeri, dan sebagainya. Siapa yang sanggup, dan punya kekuatan moral, untuk mengawasi rimba soft state Indonesia?
Para pembobol tentu tertawa terbahak-bahak: Republik Indonesia yang dibangga-banggakan 200 juta rakyatnya ini, yang dikelola oleh para pejabat yang tampak angker dan penuh wibawa, begitu gampangnya dibodohi oleh sekumpulan pedagang kelontong. Harga suap para pejabat itu pun sangat murah, diukur dari jarahan yang diraup.
Pengusutan kasus ini merayap sangat lambat. Ada debat panjang antara BPK dan pejabat BI ihwal hasil audit yang menyebutkan penyelewengan BLBI Rp 138,4 triliun (97 persen dari total dana BLBI yang disalurkan).
Adakah pejabat BI yang merasa bersalah? Tak seorang pun. Mereka mengumandangkan kor, berdalih bahwa kebijakan itu akibat intervensi mantan presiden Soeharto. Mereka memang punya kewenangan yang sah atas penyaluran, bertanggung jawab atas pengawasan, mereka pula yang teken berbagai perizinan dan proses administrasinya. Yang tak mereka miliki adalah nurani?dan martabat sebagai pejabat negara.
Berdasar audit BPK maupun BPKP, duduk perkara penyimpangan, penyelewengan?atau apa pun istilahnya yang mengindikasikan kerugian negara?terlihat jelas. Sebelum mengaudit, lembaga-lembaga itu menetapkan obyek pemeriksaan secara spesifik. Lalu semua transaksi dan akun yang ada diperiksa untuk menentukan kesesuaiannya dengan standar akuntansi yang berlaku.
Dalam kasus BLBI, BPK bertolak dari pertanyaan sederhana: apakah dana BLBI telah disalurkan dan digunakan menurut ketentuan? Jawabannya, "Tidak." Dari sini muncul berbagai temuan, termasuk latar belakang pengucuran dana, proses pengucuran, dan pengawasannya. Dalam proses ini tentu ada manusia-manusia yang terlibat, seberapa pun kecilnya keterlibatan mereka.
BPK mendata ratusan nama pejabat BI, dari puncak hingga ke bawah, yang diduga tersangkut. Disebut pula sekitar 150 bankir dari 48 bank penerima. Semuanya terang-benderang. Yang gelap-gulita adalah hasil pengusutan hukumnya?kalaupun dilakukan.
Kasus Bank Bali lebih menggelikan. Dua terdakwa yang diadili bebas dari segala dakwaan. Pejabat lainnya yang kala itu berwenang memutuskan tak tersentuh hukum. Nama-nama lain yang dikabarkan turut memperlancar proses cairnya dana terus menikmati kebebasan yang nyaman.
Dalam kasus ini pemilik Bank Bali yang menagih piutang Rp 904,6 miliar hanya menerima Rp 358,4 miliar. Selebihnya masuk kantong si tukang tagih, yang kemudian menyebar ke 20-an rekening. Tapi, begitu diramaikan oleh media, dalam tiga hari Rp 546 miliar sudah terkumpul lagi, masuk ke rekening Bank Bali di BI.
Kasus Jamsostek pun dihentikan penyidikannya karena, menurut kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab, dana Rp 7,1 miliar yang dikeluarkan pada masa Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief sebagai biaya membahas undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR sudah dikembalikan ke kas Jamsostek.
Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Mahasiswa semester satu fakultas hukum pun tahu: perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibat-akibatnya telah dipulihkan.
BPK juga memeriksa yayasan Kostrad. Kas yayasan kesejahteraan anggota Kostrad ini bobol ratusan miliar rupiah. Modusnya telanjang bulat: pejabat puncak berulang kali menarik dana dari kas yayasan dan beberapa perusahaan di bawah yayasan itu. Jumlah totalnya Rp 135 miliar.
Inspektorat Jenderal AD (Irjenad) bukan mengusut temuan itu, malah sibuk mengeluarkan bantahan. Satu-dua pejabat keuangan di sana dikabarkan terkena "tindakan administratif". Lalu telinga masyarakat tak mendengar kabar lanjutannya.
Yang "Mujur"
Nurdin Halid bertakbir tujuh kali dan sujud syukur di ruang sidang Pengadilan Negeri Bantaeng, Sulawesi Selatan, ketika ia divonis bebas dalam kasus dugaan korupsi simpanan wajib khusus petani (SWKP) Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Hasanuddin. Direktur Utama Puskud ini memakai rekening pribadinya untuk menampung iuran simpanan wajib anggota koperasinya sebesar Rp 115,7 miliar.
Jaksa tak mampu membuktikan dakwaan, lalu hakim memutus bebas. Tiga puluh lima saksi diajukan, semuanya mengingkari kesaksian awal seperti tertuang di berita acara pemeriksaan. Salah satu saksi kunci, pegawai bank yang mengetahui arus transaksi rekening itu, tak hadir. Saksi "ahli" dari BPKP ditolak kompetensinya, karena baru mempelajari ihwal tata niaga cengkeh seminggu sebelum sidang.
Beddu Amang didakwa menyalahgunakan kewenangannya dalam penunjukan PT Goro Bathara Sakti untuk melaksanakan tukar guling gudang Bulog di Kelapagading, Jakarta. Toko Goro selesai dibangun, tapi Goro tak mampu mewujudkan janji menyediakan tanah pengganti. Lalu Goro bikin goro-goro: meminjam Rp 20 miliar dari bank. Jaminannya: deposito Bulog sendiri.
Melalui makelar Hokiarto, tanah 150 hektare dibeli Rp 16,25 miliar. Rupanya, sisa Rp 3,75 miliar dibagi-bagi di antara para pejabat Bulog. Kasus yang diindikasikan merugikan Bulog Rp 95 miliar ini dihentikan, lalu dibuka lagi dan memvonis Ricardo Gelael dan Tommy Soeharto masing-masing 18 bulan penjara. Persidangan Beddu Amang sendiri dinyatakan ditutup, gara-gara kejaksaan tak melampirkan surat izin dari Presiden atas penyidangan Beddu Amang yang anggota MPR itu.
Semua itu hanyalah kasus mutakhir. Masih banyak lakon lainnya, termasuk soal kontrak karya Freeport yang berbelok menjadi kasus pencemaran nama baik Ginandjar Kartasasmita. Juga penghentian persidangan terhadap mantan presiden Soeharto.
Gunung Es
Semua kasus di atas hanyalah puncak gunung es yang kebetulan agak mencolok dan terjadi di puncak pusat kekuasaan, sehingga terekspos oleh pers. Kita belum bicara tentang kasus di tingkat lebih rendah, tak masuk ke pengadilan, tapi jelas "bocor" seperti diungkapkan oleh BPK dan BPKP sejak dulu, termasuk di daerah tingkat satu dan dua.
Sempurnalah imperium kleptokrasi Indonesia. Mayoritas rakyatnya terus berkhidmat, menghormat-hormat, dan selalu damba "menghadap" para kleptokrat yang menyamar sebagai administrator negara.
Mereka tak sadar bahwa sambil bersalaman dengan tangan kanan, tangan kiri sang birokrat-kleptokrat merogoh saku celana masyarakat. Lalu, cepat dan pasti, kantong masyarakat terkuras: segala jenis pajak dan aneka biaya terus naik (pendidikan, kesehatan, rekening listrik, telepon, PAM, BBM, izin ini dan itu), sementara mutu pelayanan publik terus menurun.
Kalau Anda baca di media massa tentang terjadinya korupsi, Saudara-saudara, itu bukan berlangsung "jauh di seberang dan di atas sana". Semua pencurian itu terjadi di rumah tangga dan kantor Anda. Sebab, Andalah sebagai warga negara yang langsung menomboki "uang negara" yang dicuri.
(Ines Handayani, Hamid Basyaib)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo