Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Presiden Joko Widodo kini punya pilihan: menjadi penyelamat atau ikut membunuh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia akan menyelamatkan produk terbaik reformasi itu jika tak mengirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai prasyarat pembahasan revisi undang-undang. Sebaliknya, ia akan dicatat ikut membunuh komisi antikorupsi jika melakukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Seperti mengejar setoran sebelum periode 2014-2019 berakhir, Dewan mengajukan hak inisiatif perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Rancangan revisi ini berusaha melumpuhkan independensi dan kekuatan utama KPK. Jika pembahasan mulus dan undang-undang berlaku, komisi antikorupsi akan menjadi lembaga biasa-yang sama sekali tidak akan ditakuti pejabat-pejabat korup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Hak inisiatif itu menerabas beberapa aturan program legislasi nasional. Langkah para politikus itu bahkan menabrak aturan yang mereka susun sendiri. Aturan menyebutkan Badan Legislasi bertugas menyiapkan dan menyusun rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas. Pengajuan revisi undang-undang komisi antikorupsi tak melalui proses itu alias cacat hukum. Jokowi semestinya memperhatikan kesalahan prosedur ini, dan kemudian tidak perlu mengirim surat presiden ke Dewan.
Agar rancangan itu bisa dibahas, DPR harus mendapatkan surat presiden. Pasal 20 Undang-Undang Dasar menyebutkan setiap rancangan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Persetujuan presiden diwujudkan dalam bentuk surat, untuk kemudian menunjuk kementerian yang relevan. Dengan dasar hukum itu pula Presiden punya hak menolak membahas rancangan undang-undang.
Sayangnya, publik melihat Jokowi menunjukkan sikap konservatif dalam perang melawan korupsi. Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus lalu, ia menyebutkan ukuran keberhasilan pemberantasan korupsi bukanlah pada jumlah koruptor yang dipenjarakan. Ia menyatakan usaha pencegahan korupsi lebih penting daripada penindakan. Presiden barangkali lupa bahwa tugas pencegahan bukan semata kewajiban komisi antikorupsi, tapi juga pemerintahan yang ia pimpin.
Presiden pun terlihat normatif dalam mengambil keputusan soal calon pemimpin KPK. Ia meneruskan saja hasil panitia seleksi, yang ternyata masih mencantumkan sejumlah calon bermasalah dalam daftar 10 orang yang diajukan ke DPR. Ia mengabaikan kritik masyarakat antikorupsi, yang terus mempersoalkan sejarah hitam para calon bermasalah itu.
Alih-alih memberi jawaban tegas, Jokowi berkelit ketika ditanya sikapnya atas revisi Undang-Undang KPK. Ia mengatakan belum mempelajari isinya. Padahal pro dan kontra soal ini sudah terpampang di media massa. Presiden tak bisa lepas tangan dan semestinya segera menentukan sikap.
Ia perlu diingatkan bahwa KPK merupakan perwujudan agenda reformasi. Lembaga ini selalu menempati urutan teratas dalam tingkat kepercayaan publik. Pengakuan atas kinerja KPK juga datang dari dunia internasional. Jokowi pun perlu diingatkan soal berbagai janji pada masa kampanye pemilihan presiden, yang antara lain janji memperkuat KPK. Sungguh terlalu jika ia telah melupakannya, sementara ia bahkan belum dilantik untuk periode kedua pemerintahannya.